Dimintai fatwa oleh BPK, MK mengaku tidak suka mengobral fatwa.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membikin fatwa alias pendapat hukum terkait polemik uang perkara antara BPK dan Mahkamah Agung (MA). “Suratnya sudah masuk,” ujar Ketua MA Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, Kamis (20/9).
Agaknya lembaga pengawal konstitusi itu ingin berada pada posisi tengah. Jimly menegaskan, MK tidak mau mengobral fatwa. Sebab, alasan Jimly, “Karena fatwa itu ‘kan sifatnya tidak mengikat secara hukum, kalau mau menyelesaikan persoalan secara formal kan ada jalur SKLN.”
Menurut Jimly, meski Undang-Undang membolehkan MK menelorkan fatwa, namun lantaran cuma bisa mengikat bagi lembaga peminta fatwa, MK sebisa mungkin membatasi mengeluarkan fatwa. “Itu sebisa mungkin kami batasi, sebab ia hanya mengikat bagi lemabga yang meminta saja,” ujarnya.
Ini wajar saja. Terlebih fatwa itu berhubungan dengan sengketa kewenangan lembaga negara. Sebab, jika MK membikinkan fatwa buat BPK, nantinya imparsialitas MK saat menengahi BPK-MA sewaktu mereka berperkara SKLN menjadi dipertanyakan. Lagi-lagi, Jimly menyatakan kesediaan menjadi mediator kedua lembaga itu sebelum keduanya memutuskan jalur berperkara di MK.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko justru balas bertanya, “Yang mau dimediasi itu apanya? Ini kan hanya perbedaan persepsi antara MA dan BPK dalam memandang uang perkara.”
Menurutnya persoalan uang perkara ini sudah mencuat setahun lalu dan selama itu MA sudah bersabar menangggapi perbedaan persepsi yang berujung pada perdebatan itu. ”Sejak Mei 2006, BPK mengatakan kami melakukan pungli. Kami diam saja,” ujarnya.
Sekarang ini, lanjut Djoko, lantaran MA dilaporkan ke polisi, tentunya benteng terakhir keadilan itu tidak akan tinggal diam. ”Tapi MA ini kan puncak kearifan, oleh sebab itu kita pertimbangkan apakah akan melaporkan balik atau tidak. Kita tunggu saja setelah lebaran,”ujarnya.
Sedangkan Jimly mengatakan, sebisa mungkin semua prosedur jalur komunikasi ditempuh sehingga terbangun mekanisme komunikasi lembaga secara sehat. “Itu menurut saya penting daripada mengandalkan komunikasi melalui media massa,” lanjutnya.
Menurut Jimly, jika memang pembahasan kedua lembaga itu nantinya butuh regulasi baru setingkat UU, maka DPR perlu dilibatkan di situ. Dan jika hanya aturan semacam Peraturan Pemerintah, maka cukup pemerintah dilibatkan di situ. “Sebenarnya semuanya bisa diselesaikan kalau mau menempuh jalur rasional dan bukannya emosional,” ujar Jimly.
Jimly juga menyayangkan Anwar yang sudah keburu angkat senjata di media massa. “Sebaiknya mengadakan pertemuan dulu (BPK-MA-red), baru nantinya hasil dari pertemuan itu disebarkan melalui media massa. Sebab media massa itu kan milik rakyat, punya publik. Kalau komunikasinya sejak awal sudah lewat media massa, nantinya publik jadi bingung melihat pejabat saling berselisih,” pungkasnya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M. Zen mengatakan bahwa surat ’penolakan’ MA untuk diaudit BPK sedikit banyaknya menunjukkan ada yang ditutup-tutupi. ”Sikap MA itu justru mencurigakan,” ujarnya. Kalau memang tidak ada masalah, mengapa MA meminta pemeriksaan atau audit ditunda.
Ia justru meminta peran MK untuk menyelesaikan sengketa kedua lembaga. Jika tidak, persoalan biaya perkara di institusi pengadilan akan terus menjadi rumit. Apalagi tidak didukung keterbukaan informasi berapa biaya berperkara di setiap pengadilan.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membikin fatwa alias pendapat hukum terkait polemik uang perkara antara BPK dan Mahkamah Agung (MA). “Suratnya sudah masuk,” ujar Ketua MA Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, Kamis (20/9).
Agaknya lembaga pengawal konstitusi itu ingin berada pada posisi tengah. Jimly menegaskan, MK tidak mau mengobral fatwa. Sebab, alasan Jimly, “Karena fatwa itu ‘kan sifatnya tidak mengikat secara hukum, kalau mau menyelesaikan persoalan secara formal kan ada jalur SKLN.”
Menurut Jimly, meski Undang-Undang membolehkan MK menelorkan fatwa, namun lantaran cuma bisa mengikat bagi lembaga peminta fatwa, MK sebisa mungkin membatasi mengeluarkan fatwa. “Itu sebisa mungkin kami batasi, sebab ia hanya mengikat bagi lemabga yang meminta saja,” ujarnya.
Ini wajar saja. Terlebih fatwa itu berhubungan dengan sengketa kewenangan lembaga negara. Sebab, jika MK membikinkan fatwa buat BPK, nantinya imparsialitas MK saat menengahi BPK-MA sewaktu mereka berperkara SKLN menjadi dipertanyakan. Lagi-lagi, Jimly menyatakan kesediaan menjadi mediator kedua lembaga itu sebelum keduanya memutuskan jalur berperkara di MK.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko justru balas bertanya, “Yang mau dimediasi itu apanya? Ini kan hanya perbedaan persepsi antara MA dan BPK dalam memandang uang perkara.”
Menurutnya persoalan uang perkara ini sudah mencuat setahun lalu dan selama itu MA sudah bersabar menangggapi perbedaan persepsi yang berujung pada perdebatan itu. ”Sejak Mei 2006, BPK mengatakan kami melakukan pungli. Kami diam saja,” ujarnya.
Sekarang ini, lanjut Djoko, lantaran MA dilaporkan ke polisi, tentunya benteng terakhir keadilan itu tidak akan tinggal diam. ”Tapi MA ini kan puncak kearifan, oleh sebab itu kita pertimbangkan apakah akan melaporkan balik atau tidak. Kita tunggu saja setelah lebaran,”ujarnya.
Sedangkan Jimly mengatakan, sebisa mungkin semua prosedur jalur komunikasi ditempuh sehingga terbangun mekanisme komunikasi lembaga secara sehat. “Itu menurut saya penting daripada mengandalkan komunikasi melalui media massa,” lanjutnya.
Menurut Jimly, jika memang pembahasan kedua lembaga itu nantinya butuh regulasi baru setingkat UU, maka DPR perlu dilibatkan di situ. Dan jika hanya aturan semacam Peraturan Pemerintah, maka cukup pemerintah dilibatkan di situ. “Sebenarnya semuanya bisa diselesaikan kalau mau menempuh jalur rasional dan bukannya emosional,” ujar Jimly.
Jimly juga menyayangkan Anwar yang sudah keburu angkat senjata di media massa. “Sebaiknya mengadakan pertemuan dulu (BPK-MA-red), baru nantinya hasil dari pertemuan itu disebarkan melalui media massa. Sebab media massa itu kan milik rakyat, punya publik. Kalau komunikasinya sejak awal sudah lewat media massa, nantinya publik jadi bingung melihat pejabat saling berselisih,” pungkasnya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M. Zen mengatakan bahwa surat ’penolakan’ MA untuk diaudit BPK sedikit banyaknya menunjukkan ada yang ditutup-tutupi. ”Sikap MA itu justru mencurigakan,” ujarnya. Kalau memang tidak ada masalah, mengapa MA meminta pemeriksaan atau audit ditunda.
Ia justru meminta peran MK untuk menyelesaikan sengketa kedua lembaga. Jika tidak, persoalan biaya perkara di institusi pengadilan akan terus menjadi rumit. Apalagi tidak didukung keterbukaan informasi berapa biaya berperkara di setiap pengadilan.
Comments