ALTERNATIF KONSEP STUDENT GOVERNMENT
Sebuah Telaah Kritis Pasca PEMIRA 2007
Sistem pemerintahan dalam tataran mahasiswa mungkin sering salah diartikan. Menyamakan konsep pemerintahan student government dengan konsep pemerintahan di Indonesia adalah salah kaprah. Pertama, ketidaksamaan konsep demokrasi, dalam Student Government (SG) tidak adanya lembaga yudikatif sebagai pengimbang fungsi-fungsi eksekutif & legislatif. Kedua, belum dewasanya proses perpolitikan di dalam SG. Hal ini dapat dilihat, masih adanya interfensi organ pendiri partai & sistem koalisi antar partai yang masih amburadul, serta infrastruktur internal yang kurang mendukung terhadap optimalisasi SG, sebenarnya masih banyak hal yang harus dikaji ulang.
Ketiga, tumpang tindihnya distribusi kader, kader organisasi external, partai politik kampus, lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Jika hal ini masih dibiarkan dan tidaj dihiraukan, masa depan sebuah demokrasi yang kita inginkan tidak akan terwujud, sebab yang terjadi adalah apatisme dan penurunan partisipasi terhadap organisasi, partai politik, dan institusi SG. Belum lagi, manajemen konflik yang diperparah dengan metode premanisme & intimidasi. Memang konflik pasti ada di dalam sebuah organisasi besar seperti negara atau SG, tapi bagaimana atau yang mana model manajemen konflik yang kita pilih.
Sebuah teori yang bagus belum tentu bagus diterapkan dalam sebuah komunitas, karena terkadang teori-teori itu tidak sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berkembang. Maka diperlukan sebuah solusi yang cerdas, dengan kata lain sebuah solusi yang membutuhkan pemikiran besar guna mengakomodir seluruh kepentingan-kepentingan yang diinginkan oleh rakyat (mahasiswa). Solusi yang bagaimanakah yang kita inginkan?
Apakah selamanya SG akan dibiarkan seperti ini selamanya, atau membuat sebuah perubahan yang mendasar bukan sebuah perkembangan yang justru akan memperbesar wilayah konflik yang telah ada. Sebelum mengarah lebih jauh seharusnya partai politik yang ada segera berbenah di wilayah internal partai masing-masing terlebih dahulu. Khususnya, prosess kaderisasi partai diperjelas dan prosess seleksi calon yang diusung harus jelas, serta dapat memanage dimana wilayah organ pendiri partai bergerak dan partai itu sendiri bergerak, harus ada job discription yang jelas. Mungkin hal ini terlihat sepele dan gampang untuk dibicarakan, akan tetapi kalau dibenturkan pada wilayah sebenarnya akan terjadi tarik ulur yang signifikan, khususnya partai-partai yang besar.
Proses politik di Indonesia juga mengalami hal demikian, kenapa tarik ulur tentang legalitas calon independent lama dan berbelit-belit. Kalau dilihat dari perkembangan politik di Indonesia pasca PEMILU 2004, mulai dari uji coba penerapan DPD belum selesai, dibenturkan lagi dengan proses OTDA yang masih rawan konflik, khususnya PILKADA di beberapa daerah. Kemudian orang yang tidak mau ambil pusing lari ke calon independent. Padahal disetiap propinsi sudah ada DPD yang mewakili kepentingan daerah dan rakyat di wilayah propinsi. belum lagi kisruh di lembaga lebgislatifnya, MA, KY, MK & akhir-akhir ini bentrok dengan BPK.
Kalau kita mau belajar dari proses politik di Indonesia, pada intinya jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan (natijah) & tindakan dalam memenuhi kepentingan golongan atau individu.
Bersambung...
Sebuah Telaah Kritis Pasca PEMIRA 2007
Sistem pemerintahan dalam tataran mahasiswa mungkin sering salah diartikan. Menyamakan konsep pemerintahan student government dengan konsep pemerintahan di Indonesia adalah salah kaprah. Pertama, ketidaksamaan konsep demokrasi, dalam Student Government (SG) tidak adanya lembaga yudikatif sebagai pengimbang fungsi-fungsi eksekutif & legislatif. Kedua, belum dewasanya proses perpolitikan di dalam SG. Hal ini dapat dilihat, masih adanya interfensi organ pendiri partai & sistem koalisi antar partai yang masih amburadul, serta infrastruktur internal yang kurang mendukung terhadap optimalisasi SG, sebenarnya masih banyak hal yang harus dikaji ulang.
Ketiga, tumpang tindihnya distribusi kader, kader organisasi external, partai politik kampus, lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Jika hal ini masih dibiarkan dan tidaj dihiraukan, masa depan sebuah demokrasi yang kita inginkan tidak akan terwujud, sebab yang terjadi adalah apatisme dan penurunan partisipasi terhadap organisasi, partai politik, dan institusi SG. Belum lagi, manajemen konflik yang diperparah dengan metode premanisme & intimidasi. Memang konflik pasti ada di dalam sebuah organisasi besar seperti negara atau SG, tapi bagaimana atau yang mana model manajemen konflik yang kita pilih.
Sebuah teori yang bagus belum tentu bagus diterapkan dalam sebuah komunitas, karena terkadang teori-teori itu tidak sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berkembang. Maka diperlukan sebuah solusi yang cerdas, dengan kata lain sebuah solusi yang membutuhkan pemikiran besar guna mengakomodir seluruh kepentingan-kepentingan yang diinginkan oleh rakyat (mahasiswa). Solusi yang bagaimanakah yang kita inginkan?
Apakah selamanya SG akan dibiarkan seperti ini selamanya, atau membuat sebuah perubahan yang mendasar bukan sebuah perkembangan yang justru akan memperbesar wilayah konflik yang telah ada. Sebelum mengarah lebih jauh seharusnya partai politik yang ada segera berbenah di wilayah internal partai masing-masing terlebih dahulu. Khususnya, prosess kaderisasi partai diperjelas dan prosess seleksi calon yang diusung harus jelas, serta dapat memanage dimana wilayah organ pendiri partai bergerak dan partai itu sendiri bergerak, harus ada job discription yang jelas. Mungkin hal ini terlihat sepele dan gampang untuk dibicarakan, akan tetapi kalau dibenturkan pada wilayah sebenarnya akan terjadi tarik ulur yang signifikan, khususnya partai-partai yang besar.
Proses politik di Indonesia juga mengalami hal demikian, kenapa tarik ulur tentang legalitas calon independent lama dan berbelit-belit. Kalau dilihat dari perkembangan politik di Indonesia pasca PEMILU 2004, mulai dari uji coba penerapan DPD belum selesai, dibenturkan lagi dengan proses OTDA yang masih rawan konflik, khususnya PILKADA di beberapa daerah. Kemudian orang yang tidak mau ambil pusing lari ke calon independent. Padahal disetiap propinsi sudah ada DPD yang mewakili kepentingan daerah dan rakyat di wilayah propinsi. belum lagi kisruh di lembaga lebgislatifnya, MA, KY, MK & akhir-akhir ini bentrok dengan BPK.
Kalau kita mau belajar dari proses politik di Indonesia, pada intinya jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan (natijah) & tindakan dalam memenuhi kepentingan golongan atau individu.
Bersambung...
Comments