Skip to main content

Perlindungan Hukum Bagi Buruh Migran Indonesia



Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan BAB VI Pasal 31 disebutkan bahwa Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. Hak dan kesempatan ini terkadang dislahkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, khususnya para pekerja yang akan dikerjakan atau ditempatkan untuk bekerja di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Dari mulai sebelum pemberangkatan, mereka disekap dalam kamar atau rumah, seolah seperti barang yang akan diperjual belikan. Bahkan ada buruh yang mengisahkan dianiyaya di tempat penampungan mereka sebelum mereka berangkat. Setelah diberangkatkan ke luar negeri, belum tentu mereka mendapat pekerjaan yang sesuai dengan janji penyelenggara sebelum diberangkatkan. Dan lebih parah lagi setelah mereka diperkerjakan, misalnya sebagai buruh rumah tangga, mereka tidak mendapat gaji dan perlakuan yang layak. Sampai sekarang masih ada saja berita tentang buruh yang pulang ke Indonesia dalam keadaan babak belur tanpa gaji, dan bahkan ada yang pulang dengan nama dan jasadnya saja. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat mereka adalah salah satu penyumbang pendapatan Negara melalui kerjanya di luar negeri (devisa)
Sebagai contoh, data pada tahun 2004 ribuan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia sedang dilecehkan karena kebijakan pemerintah di kedua negara itu gagal melindungi mereka, menurut Human Rights Watch dalam sebuah laporannya, 90 persen lebih dari 240.000 pekerja rumah tangga di Malaysia adalah warga negara Indonesia. Laporan Human Rights Watch mendokumentasi bagaimana mereka biasa bekerja keras enambelas hingga delapanbelas jam sehari, tujuh hari seminggu, dan digaji kurang dari U.S.$0,25 per jam.
Buruh migran di seluruh dunia mengirim lebih dari $90 milyar ke negara berkembang, melebihi bantuan dana asing. Jumlah buruh migran yang perempuan makin meningkat. Di Indonesia, 76 persen dari semua buruh migran sah di tahun 2002 adalah perempuan. Sebagian besar buruh migran perempuan bekerja di sektor-sektor yang bergaji rendah dan tidak diregulasi, seperti sektor rumah tangga.
Kontribusi TKI pada devisa negara meningkat dari tahun ke tahun: 1,1 miliar dollar AS (2001), 3,1 miliar dollar (2002), dan diharapkan mencapai 5 miliar dollar pada tahun 2004. Sedangkan kalau kita melihat pos anggaran perlindungan buruh migran sangatlah tidak signifikan disbanding dengan kontribusi yang telah disumbangkan buruh migran Indonesia melalui remitansi. Menurut Depnakertrans RI, hingga semester I tahun 2006 ini saja remitansi buruh migran sudah mencapai 15 trilyun rupiah.
Dalam APBN 2006, pos anggaran yang terdeteksi langsung untuk perlindungan buruh migran hanyalah berjumlah Rp. 40.500.000 saja (dengan rincian Rp 13.900.000 untuk penanganan kasus mediasi, Rp 13.300.000 untuk penanganan kasus litigasi dan Rp. 13.300.000 untuk sweeping. Tentu jumlah ini tidaklah memadai untuk penanganan masalah buruh migran Indonesia yang jumlahnya telah mencapai kurang lebih 4,5 juta yang bekerja di berbagai negara.
Reformasi Penempatan dan Perlindungan TKI dan menyerukan agar ada perampingan birokrasi penempatan buruh migran Indonesia. Di samping itu terdapat wacana tentang pembentukan institusi baru dalam pengelolaan penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia. Badan baru ini, sesuai mandat UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar negeri, akan bernama Badan nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNPPTKI). Namun demikian, hingga saat ini wacana tersebut belum terwujud secara konkrit.
Jika memang institusi baru ini dibentuk karena mandat UU No. 39/2004 (terlepas dari kritik mendasar atas kelemahan UU ini), seharusnya yang lebih dulu dirintis adalah peraturan pelaksanaan dari UU ini. Sejak UU ini resmi diundangkan dalam Lembaran Negara pada akhir Oktober 2004 hingga saat ini, belum ada satupun Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden dibuat sebagai instrument pelaksana UU ini. Yang baru dibuat hanyalah Peraturan Menteri yang didalam hirarki perundang-undangan bukan merupakan produk hukum yang mengikat. Keanehannya adalah UU yang mandatnya mengikat seluruh wilayah hukum Indonesia, hanya diimplementasikan dalam bentuk Keputusan Menteri yang hanya mengingat di Departemen teknis.
Instrument pokok yang seharusnya segera disusun adalah pengikatan secara hukum internasional dalam kebijakan penempatan buruh migran, baik dalam bentuk bilateral agreement dan penyepakatan instrument multilateral. Tanpa instrument ini, BNPPTKI hanya merupakan institusi tanpa gegret. Dilihat dari polanya, pendirian BNPPTKI ini mengacu pada migrant workers governance yang diterapkan Philipina. Di negara tetangga ini memiliki institusi khusus yaitu POEA (Philippines Overseas Employment Agency) dan institusi ini dilengkapi instrument proteksi yang terlembagakan dalam aktivitas perwakilan di luar negeri (Atase Ketenagakerjaan dan Crisis centre) dan juga komitmen multilateral dengan meratifikasi UN Convention on the Protection of The Rights of All migrant Workers and Members of their Families dan aktif menjadi anggota UN Committee of Protection on Migrant Workers.
Keberadaan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Luar Negeri yang sudah berjalan hampir tiga tahun sekedar memberi legitimasi hukum. Kecenderungan yang ada selama ini menyangkal keberadaan para pekerja yang bermigrasi tanpa dokumen resmi. Proses migrasi dari tenaga kerja kita dianggap sebagai permasalahan prosedural belaka dan bukan sebagai persoalan HAM. Untuk itu diperlukan hokum positif yang mempunyai kekuatan internasional, baik melalui perjanjian bilateral dan multilateral, dan mengikuti ratifikasi konvensi-konvensi yang dipelopori oleh International Labor Organization (ILO).

Comments

Populer Post

PEMBAHARUAN WARISAN HUKUM BELANDA DI INDONESIA

WARISAN HUKUM BELANDA Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa ( octrooi ) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.

Konsep Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Positif

Perbandingan Hukum sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya relatif masih muda, karena baru tumbuh secara pesat pada akhir abad XIX atau awal abad XX. Perbandingan adalah salah satu sumber pengetahuan yang sangat penting. Perbandingan dapat dikatakan sebagai suatu teknik, disiplin, pelaksanaan dan metode di mana nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan dan aktivitasnya dikenal dan dievaluasi. Pentingnya perbandingan telah mendapatkan penghargaan di setiap bagian oleh siapapun dalam bidang studi dan penelitian. Nilai penting tersebut direfleksikan pada pekerjaan dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para ahli ilmu pengetahuan, ahli sejarah, ahli ekonomi, para politisi, ahli hukum dan mereka yang terkait dengan kegiatan penyelidikan dan penelitian. Apapun gagasan, ide, prinsip dan teorinya, kesemuanya dapat diformulasikan dan dapat dikatakan sebagai hasil dari metode studi perbandingan. 

PENGHAPUSAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA

PENGHAPUSAN DAN PENGHILANGAN PERBUATAN PIDANA (Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP) Terdapat keadaan-keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana, kehilangan sifat tindak pidana, sehingga si pelaku bebas dari hukuman pidana. Pembahasan ini dalam KUHP diatur dalam title III dari buku I KUHP, yaitu pasal 44 – 51. akan tetapi dalam praktek hal ini tidak mudah, banyak kesulitan dalam mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini. Dalam teori hokum pidana alas an-alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi 3 : 1. Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1).

Sejarah Awal Pembentukan Hukum di Indonesia (Seri Kuliah)

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia paling tidak diawali pada masa pergerakan nasional yang diinisiasi oleh Budi Utomo pada tahun 1908, kemudian Serikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada masa menuju kemerdekaan inilah segenap komponen bangsa bersatu padu demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali Santri, maka sudah tepat pada tanggal 22 Oktober nanti diperingati hari santri. Kaum santri bukan hanya belajar mengaji akan tetapi juga mengangkat senjata demi mewujudkan kemerdekaan NKRI. Dengan diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti : -           menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; -           sejak saat itu berarti bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum) untuk menetapkan tata hukum Indonesia. Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang menetapkan