Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip perbedaan (difference principle) Rawls, pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dari sinilah dasar penerapan affirmative action atau positive discrimination dapat dibenarkan secara konstitusional. Pengaturan demikian sama halnya dalam Konstitusi India yang menerapkan sistem “reservation” untuk mengangkat kelas terbelakang (backward class) di bidang pendidikan dan sosial berdasarkan Pasal 15 ayat (4) dan Bagian IV tentang “Directive Principles of State Policy” Konstitusi India.
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berfungsi di bawah Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik [Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik], tindakan afirmatif dibahas dalam Komentar Umum No 18 of 1989. 18 dari 1989. It stated as follows: Ia dinyatakan sebagai berikut:
“The Committee wishes to point out that the principle of equality sometimes requires States to take affirmative action in order to diminish or eliminate conditions which cause or help to perpetuate discrimination prohibited by the Covenant. For example, in a State where the general conditions of a certain part of the population prevent or impair their enjoyment of human rights, the State should take specific action to correct those conditions. Such action may involve granting for a time to the part of the population concerned certain preferential treatment in specific matters as compared with the rest of the population. However, as long as such action is needed to correct discrimination in fact, it is a case of legitimate differentiation under the Covenant.”
"Panitia ingin tunjukkan bahwa prinsip kesetaraan terkadang memerlukan Serikat untuk mengambil tindakan afirmatif dalam rangka mengurangi atau menghilangkan kondisi yang menyebabkan atau membantu melestarikan diskriminasi dilarang oleh Perjanjian. Sebagai contoh, dalam sebuah negara di mana kondisi umum dari beberapa bagian dari populasi mencegah atau menghalangi mereka menikmati hak-hak azasi manusia, negara harus mengambil tindakan spesifik untuk memperbaiki kondisi mereka. mungkin melibatkan tindakan seperti memberikan waktu untuk ke bagian dari populasi yang bersangkutan perlakuan preferensial tertentu dalam hal-hal tertentu dibandingkan dengan istirahat masyarakat. Namun, selama tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki diskriminasi dalam kenyataannya, adalah suatu hal yang sah deferensiasi di bawah Kovenan ".
Dalam praktik dikenal hukum atau kebijakan yang dikenakan pada kelompok tertentu berupa pemberian keistimewaan atau perlakuan khusus dalam kasus tertentu. Perlakuan berbeda inilah yang lazim disebut affirmative action. Misalnya, mengetahui sebagian besar suku Anak Dalam di Jambi masih terbelakang, Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang memberikan keistimewaan kepada suku Anak Dalam untuk masuk sekolah. Kebijakan semacam ini tak bisa diartikan sebagai tindakan diskriminatif, melainkan affirmative action.
Program affirmative action merupakan sebuah cara yang banyak direkomendasikan untuk mencapai kesetaraan kaum perempuan. Ketidaksetaraan perempuan terjadi di semua bidang akibat struktrur patriarki di level publik dan privat. Dari sudut sejarah, istilah affirmative action diaplikasikan di level publik di mana negara dan institusi publik mengeluarkan kebijakan yang memberikan peluang atau perlakuan khusus kepada perempuan. Termasuk, kebijakan kuota di lembaga-lembaga negara dan publik: parlemen, pemerintahan, institusi pendidikan dan lapangan pekerjaan. Program ini dilakukan di banyak negara seiring dengan gerakan perempuan yang bekerja di rana domestik dan internasional.
Istilah aksi afirmasi memiliki makna ideologis. Sama sekali bukanlah politik 'belas kasihan'. Dalam literatur, term ini dipersamakan dengan frase positive discrimination, favorable discrimination. Sementara dalam hukum hak asasi internasional, term ini sering disebut dengan special measures yang berkembang terutama pada periode pembahasan draf Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (IESCR). Sebagai catatan, Indonesia belum meratifikasi Kovenan induk ini.
Tom Campbell, seorang profesor yurisprudensi menyatakan bahwa affirmative action sebagai "kebijakan yang dikeluarkan untuk grup tertentu yang dinilai tidak memiliki representasi secara memadai pada posisi-posisi penting di masyarakat sebagai akibat sejarah diskrimasi".
Selanjutnya, Elizabeth S. Anderson, mendefiniskan term ini lebih luas termasuk semua kebijakan yang bertujuan (a) mengupayakan penghilangan hambatan dalam sistem dan norma terhadap kelompok sebagai akibat sejarah ketidakadilan dan ketidaksetaraan, dan/atau; (b) mengupayakan promosi masyarakat yang inklusif sebagai prasyarat demokrasi, integrasi, dan pluralisme; (c) mengupayakan kesetaraan atas dasar pengklasifikasian identitas (ras, gender, etnisitas, orientasi seksual, dsb).
Kelompok pro dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama. Pertama, kelompok yang mendasarkan argumennya pada fakta yang berkaitan dengan sexism di masa lalu dan yang terus terjadi yang melahirkan ketidakadilan dan ketidakberuntungan perempuan. Sebuah kritik terhadap konsep perspektif yang bias terhadap persoalan persamaan dapat dikategorikan dalam faksi ini. Dengan kata lain, affirmative action bertujuan sebagai kompesansi dan upaya koreksi dari perlakuan sexism yang terjadi masa lalu dan saat ini.
Banyak komentator berpendapat bahwa pelakuan khusus (preferential treatment) dalam lapangan pekerjaan dan pendidikan dilakukan sebagai reparasi dari praktek-praktek diskriminasi dan ketidakadilan struktural. Dalam faksi ini terdapat juga varian kelompok yang menyarankan, pada tingkat implementasi, aksi sebaiknya dilaksanakan berdasarkan pendekatan kelompok dan bukan dengan pendekatan individual.
Kedua, argumen yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi yang mensyaratkan representasi yang proporsional kaum perempuan pada struktur politik dan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan dipandang sebagai upaya merealisasikan sebuah masyarakat yang demokratis. Program affirmative action mempromosikan diversivitas dan keseimbangan kelompok-kelompok sosial dalam lembaga-lembaga politik dan sosial, termasuk di jajaran pemerintahan dan parlemen.
Ketiga, kelompok yang mendasarkan argumennya pada konsep social utility dan koreksi terhadap biased criteria of merit. Kebijakan ini dipercaya dapat memberikan keuntungan pada proses penguatan kaum perempuan. Lewat program ini, proses pemantauan dan 'mentoring' kaum perempuan dapat dilaksanakan secara sistematis. Program ini juga dipertimbangakan karena dapat memberikan pelayanan profesional terhadap disadvantages groups.
Pada faksi ini, terdapat perspektif kebijakan affirmative action disebabkan adanya situasi di mana perempuan seringkali dipandang less qualified. Karenanya, kebijakan ditujukan untuk mengkoreksi persepsi sexist yang bias dalam proses evalusi berdasarkan merit system dan juga memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi individu-individu yang memiliki bakat (the talented) di antara kelompok yang tidak diuntungkan.
Kelompok yang terakhir, mendasarkan argumennya pada isu kebebasan berbicara, isu pendidikan, dan konsep moral. Kebijakan ini tidak saja sebagai kompensasi terhadap perlakuan diskriminasi di masa lalu dan saat ini, tetapi juga memfokuskan diri pada ide nilai keberagaman dalam bidang pendidikan.
Kebijakan ini dipandang dapat menciptakan situasi seimbang dalam diskursus, penelitian dan proses belajar. Tujuannya, mempromosikan misi internal dalam lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat yang bersamaan, terdapat juga pandangan yang berdasar pada moralitas. Statistik menunjukkan, kebijakan ini telah meningkatkan partisipasi perempuan diberbagai bidang kehidupan. Karenanya, kebijakan ini secara moral dibenarkan.
Comments