CUKUP membanggakan memang langkah inisiatif DPRD Jateng untuk menghasilkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pada akhir masa jabatan. Rasa kebanggaan ini karena rancangan perda tersebut merupakan murni inisiatif dewan sebagai bentuk kontribusi kepada daerah agar masing-masing daerah pesisir memiliki kawasan konservasi dan pengembangan, sebagaimana dikemukakan Ketua Komisi B DPRD Jateng (SM, 2/6).
Wajar jika Kabupaten Jepara ikut menemukan momentum untuk mengembangkan potensi kelautannya dan memperbaiki kelemahan mendasar pariwisatanya agar mampu menyatakan kembali ’’Visit Jepara’’.
Sebagai sebuah kabupaten di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa yang memiliki bentangan pesisir sepanjang 72 kilometer, serta gugusan Kepulauan Karimunjawa sebanyak 27 pulau, keberadaan perda itu bisa dijadikan titik balik untuk mengatasi stagnansi pariwisata.
Seperti diketahui, Bupati Jepara bersama jajaran pernah mengusulkan upaya pencabutan status taman nasional atas Kepulauan Karimunjawa agar para pemodal dapat berinvestasi untuk pengembangan potensi pulau-pulau kecil tersebut (SM, 17/3). Dengan demikian, inisiasi DPRD Jateng adalah bentuk apresiasi terhadap langkah Pemkab Jepara.
Pemkab Jepara bisa bergerak dinamis mengembangkan potensi sekaligus memperbaiki lingkungan pesisir dan gugusan kepulauan dari kerusakan hayati jika ada legalitas yang kuat dan berkaitan dengan hak pengelolaan.
Hal ini merupakan kelemahan mendasar dari daerah-daerah yang memiliki gugusan pulau-pulau kecil karena ’’tersandera’’ status taman nasional yang keputusannya berada di bawah Menteri Kehutanan, sedangkan potensi pariwisata bahari berada di bawah Menteri Pariwisata serta Menteri Kelautan dan Perikanan.
Karena itu, ketika 96,95 wilayah hutan mangrove Pantai Utara Jateng yang tentunya termasuk Jepara, dinyatakan rusak sebagaimana laporan Sri Puryono Karto Soedomo, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jateng dalam disertasinya berjudul Pelestarian Kawasan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Pantai Utara Provinsi Jateng (SM, 1/7), kultur birokrasi yang rumit tentu ikut memiliki andil. Tanpa adanya koordinasi dan tindakan kolektif, wewenang Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Kehutanan terjebak dalam stagnansi koordinasi birokrasi.
Krisis Lingkungan Gagasan dan langkah melahirkan perda tentang pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi bagian dari rangkaian aspek perencanaan pariwisata dan kemampuan mengantisipasi tantangan krisis lingkungan. Dengan masih adanya kerancuan dan tumpang tindih dalam melaksanakan tugas masing-masing, instansi yang terkait dengan objek wilayah tersebut sudah sepantasnya dibentuk menjadi badan promosi satu atap.
Hal ini akan memperbaiki kelemahan pada level citra sehingga melahirkan gambaran pada prosedur yang lebih cepat, baik dalam investasi maupun pengelolaan potensi objek pariwisata.
Sebenarnya, 10 daerah di Indonesia telah melaksanakan kebijakan dan program pengelolaan daerah pesisir dengan membuat perda masing-masing, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Maros, Kota Waringin Timur, Kabupaten Konawe, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Bitung (Kompas, 27/2/07).
Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, menargetkan bahwa perda pengelolaan wilayah pesisir pada akhirnya dapat diberlakukan di 15 Provinsi dan 42 kabupaten atau kota pesisir sebagai lokasi penjabaran marine coastal resources management.
Kenyataan ini akan menjadi masukan awal bagi DPRD Jateng untuk mempelajari, minimal memahami format dan sistem pengelolaan yang diatur dalam perda tentang pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut.
Setidaknya terdapat tiga klausul inti yang harus diperhatikan agar ke depannya tidak terdapat tindak ìakal-akalanî menyangkut potensi yang dimiliki pesisir dan pulau pada daerah tertentu, yaitu tentang pengelolaan kawasan, pengaturan usaha pertambangan atau penambangan, dan status kawasan.
Meski menghargai iktikad baik DPRD Jateng dan tentunya Pemkab Jepara, tentu fungsi kontrol masyarakat harus dilaksanakan. Tanpa tindakan ini, wilayah pesisir yang merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan justru sekadar menjadi wilayah eksploitasi ekosistem karena kelautan belum mengangkat derajat nelayan dan masyarakat pesisir, seperti dikemukakan Dedy Ramanta, koordinator Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia, diakibatkan kebijakan pemerintah yang lebih menitikberatkan pemilik modal (Republika, 7/4).
Secara sederhana yang diperlukan dalam perda ini adalah kepastian adanya delik kesadaran untuk mengembangkan potensi serta menjaga aset yang ada untuk tetap milik daerah atas nama masyarakat.
Tenggelamnya Pulau Laut dari Perairan Kodya Padang, Sumatera Barat, yang ditimbulkan akibat keruk pasir dan batu karang mesti menjadi pelajaran berharga agar 22 pulau tak berpenghuni di gugusan Kepulauan Karimunjawa yang dinyatakan sebagai taman nasional melalui SK Menhut Nomor 74/KPTS/III/2001, tidak tenggelam karena rendahnya pengawasan sekaligus kurangnya kesadaran tentang nilai dan manfaat pulau tersebut.
Pulau-pulau kecil meski tidak berpenghuni jelas memiliki nilai dan aset nasional yang tidak sedikit. Pulau-pulau tersebut merupakan satu mata rantai ekosistem yang luas bagi kehidupan biota darat dan biota laut serta menjadi ’’perisai’’ bagi pulau besar dari ancaman gelombang laut.
Bahkan terpeliharanya ekosistem terumbu karang yang mencapai 51 genus disertai 242 jenis ikan hias dan 40 jenis burung (Dephut online) akan menambah daya tarik wisata dari pulau kecil ini guna menyukseskan kampanye sport fishing sebagai bagian dari olahraga bahari di Kabupaten Jepara.
Karena itu, Gubernur dan DPRD Jateng perlu segera merealisasikan perda tersebut agar memudahkan kabupaten-kabupaten yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil segera berbenah dan membentuk lembaga koordinasi. Terlebih sejak 2008, Kabupaten Jepara telah mencanangkan Visit Jepara yang dominan bertumpu pada kawasan bahari. (35)
— oleh: Muh Khamdan, pemerhati Kajian Pembangunan dan staf Penyelenggara Diklat BPSDM Depkumham RI
Wajar jika Kabupaten Jepara ikut menemukan momentum untuk mengembangkan potensi kelautannya dan memperbaiki kelemahan mendasar pariwisatanya agar mampu menyatakan kembali ’’Visit Jepara’’.
Sebagai sebuah kabupaten di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa yang memiliki bentangan pesisir sepanjang 72 kilometer, serta gugusan Kepulauan Karimunjawa sebanyak 27 pulau, keberadaan perda itu bisa dijadikan titik balik untuk mengatasi stagnansi pariwisata.
Seperti diketahui, Bupati Jepara bersama jajaran pernah mengusulkan upaya pencabutan status taman nasional atas Kepulauan Karimunjawa agar para pemodal dapat berinvestasi untuk pengembangan potensi pulau-pulau kecil tersebut (SM, 17/3). Dengan demikian, inisiasi DPRD Jateng adalah bentuk apresiasi terhadap langkah Pemkab Jepara.
Pemkab Jepara bisa bergerak dinamis mengembangkan potensi sekaligus memperbaiki lingkungan pesisir dan gugusan kepulauan dari kerusakan hayati jika ada legalitas yang kuat dan berkaitan dengan hak pengelolaan.
Hal ini merupakan kelemahan mendasar dari daerah-daerah yang memiliki gugusan pulau-pulau kecil karena ’’tersandera’’ status taman nasional yang keputusannya berada di bawah Menteri Kehutanan, sedangkan potensi pariwisata bahari berada di bawah Menteri Pariwisata serta Menteri Kelautan dan Perikanan.
Karena itu, ketika 96,95 wilayah hutan mangrove Pantai Utara Jateng yang tentunya termasuk Jepara, dinyatakan rusak sebagaimana laporan Sri Puryono Karto Soedomo, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jateng dalam disertasinya berjudul Pelestarian Kawasan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Pantai Utara Provinsi Jateng (SM, 1/7), kultur birokrasi yang rumit tentu ikut memiliki andil. Tanpa adanya koordinasi dan tindakan kolektif, wewenang Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Kehutanan terjebak dalam stagnansi koordinasi birokrasi.
Krisis Lingkungan Gagasan dan langkah melahirkan perda tentang pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi bagian dari rangkaian aspek perencanaan pariwisata dan kemampuan mengantisipasi tantangan krisis lingkungan. Dengan masih adanya kerancuan dan tumpang tindih dalam melaksanakan tugas masing-masing, instansi yang terkait dengan objek wilayah tersebut sudah sepantasnya dibentuk menjadi badan promosi satu atap.
Hal ini akan memperbaiki kelemahan pada level citra sehingga melahirkan gambaran pada prosedur yang lebih cepat, baik dalam investasi maupun pengelolaan potensi objek pariwisata.
Sebenarnya, 10 daerah di Indonesia telah melaksanakan kebijakan dan program pengelolaan daerah pesisir dengan membuat perda masing-masing, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Maros, Kota Waringin Timur, Kabupaten Konawe, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Bitung (Kompas, 27/2/07).
Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, menargetkan bahwa perda pengelolaan wilayah pesisir pada akhirnya dapat diberlakukan di 15 Provinsi dan 42 kabupaten atau kota pesisir sebagai lokasi penjabaran marine coastal resources management.
Kenyataan ini akan menjadi masukan awal bagi DPRD Jateng untuk mempelajari, minimal memahami format dan sistem pengelolaan yang diatur dalam perda tentang pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut.
Setidaknya terdapat tiga klausul inti yang harus diperhatikan agar ke depannya tidak terdapat tindak ìakal-akalanî menyangkut potensi yang dimiliki pesisir dan pulau pada daerah tertentu, yaitu tentang pengelolaan kawasan, pengaturan usaha pertambangan atau penambangan, dan status kawasan.
Meski menghargai iktikad baik DPRD Jateng dan tentunya Pemkab Jepara, tentu fungsi kontrol masyarakat harus dilaksanakan. Tanpa tindakan ini, wilayah pesisir yang merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan justru sekadar menjadi wilayah eksploitasi ekosistem karena kelautan belum mengangkat derajat nelayan dan masyarakat pesisir, seperti dikemukakan Dedy Ramanta, koordinator Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia, diakibatkan kebijakan pemerintah yang lebih menitikberatkan pemilik modal (Republika, 7/4).
Secara sederhana yang diperlukan dalam perda ini adalah kepastian adanya delik kesadaran untuk mengembangkan potensi serta menjaga aset yang ada untuk tetap milik daerah atas nama masyarakat.
Tenggelamnya Pulau Laut dari Perairan Kodya Padang, Sumatera Barat, yang ditimbulkan akibat keruk pasir dan batu karang mesti menjadi pelajaran berharga agar 22 pulau tak berpenghuni di gugusan Kepulauan Karimunjawa yang dinyatakan sebagai taman nasional melalui SK Menhut Nomor 74/KPTS/III/2001, tidak tenggelam karena rendahnya pengawasan sekaligus kurangnya kesadaran tentang nilai dan manfaat pulau tersebut.
Pulau-pulau kecil meski tidak berpenghuni jelas memiliki nilai dan aset nasional yang tidak sedikit. Pulau-pulau tersebut merupakan satu mata rantai ekosistem yang luas bagi kehidupan biota darat dan biota laut serta menjadi ’’perisai’’ bagi pulau besar dari ancaman gelombang laut.
Bahkan terpeliharanya ekosistem terumbu karang yang mencapai 51 genus disertai 242 jenis ikan hias dan 40 jenis burung (Dephut online) akan menambah daya tarik wisata dari pulau kecil ini guna menyukseskan kampanye sport fishing sebagai bagian dari olahraga bahari di Kabupaten Jepara.
Karena itu, Gubernur dan DPRD Jateng perlu segera merealisasikan perda tersebut agar memudahkan kabupaten-kabupaten yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil segera berbenah dan membentuk lembaga koordinasi. Terlebih sejak 2008, Kabupaten Jepara telah mencanangkan Visit Jepara yang dominan bertumpu pada kawasan bahari. (35)
— oleh: Muh Khamdan, pemerhati Kajian Pembangunan dan staf Penyelenggara Diklat BPSDM Depkumham RI
Comments