Perlu disadari sepenuhnya
bagi para pengkaji hukum di
Indonesia bahwa ragam istilah hukum
yang kini dipakai dalam literatur-literatur hukum di Indonesia diadopsi dari ragam istilah hukum yang terdapat dalam tradisi ilmu hukum Belanda, seperti hukum tata negara (staatrecht),
hukum perdata (privaatrecht),
hukum pidana (straafrecht),
dan hukum administrasi (administratiefrecht).[1]
Hal yang sama berlaku juga dengan istilah politik hukum.
1. Perspektif Etimologis
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa
Indonesia dari istilah hukum
Belanda rechtspolitiek. Istilah ini sebaiknya tidak dirancukan dengan istilah yang muncul belakang yaitu politiekrecht
atau hukum politik, yang
dikemukakan Hence Van Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang
berbeda. Istilah yang disebutkan terakhir berkaitan dengan istilah lain yang
ditawarkan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah hukum tata negara. Untuk kepentingan itu dia
menulis sebuah karangan yang berjudul “Politiekrecht, als Opvolger van het
Staatrecht”.[2]
Kembali
pada istilah rechtspolitiek. Dalam
bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum
sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu
hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan (judgement,
verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (command),
pemerintahan (government), kekuasaan (authority, power), hukuman
(sentence) dan lain-lain.[3] Kata kerjanya yaitu hakama-yahkumu,
berarti memutuskan, mengadili, menetapkan, memerintahkan, memerintah,
menghukum, mengendalikan, dan lain-lain. Asal-usul
kata hakama berarti mengendalikan dengan satu pengendalian.[4]
Berkaitan dengan istilah ini sampai sekarang, belum ada kesatuan pendapat di
kalangan para teoretisi hukum
tentang apa batasan dan arti hukum
yang sebenarnya.
Achmad Ali dalam
bukunya Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis telah
berhasil mengumpulkan lebih dari lima puluh definisi dan pengertian tentang hukum yang disarikan dari berbagai aliran
ilmu hukum yang ada dan dalam
rentang waktu yang sangat panjang sejak Aristoteles, Ibnu Khaldun hingga
Dworkin.[5]
Dari lima puluhan definisi dan pengertian hukum itu masing-masing ahli berbeda satu sama lain. Perbedaan
tersebut bisa terjadi karena
sifat yang abstrak dan cakupan yang luas serta perbedaan sudut pandang para
ahli dalam memandang dan memahami apa yang disebut dengan hukum tersebut. Dengan kata lain, sejak
dahulu hingga sekarang para ahli hukum tidak pernah sepakat untuk mengakui sebuah definisi hukum yang berlaku secara umum yang
dapat diterima di seluruh dunia, atau
mengutip Sri Soemantri Martosoewignjo, hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam
masyarakat.[6]
Adapun dalam kamus
bahasa Belanda yang ditulis oleh Van Der Tas, kata politiek mengandung
arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti
kebijakan (policy). Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti
kebijakan hukum. Adapun
kebijakan sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
Berkenaan dengan
istilah kebijakan, ternyata
memiliki keragaman arti. Hal itu dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh
yang mencoba untuk menjelaskan apa sebenarnya kebijakan itu. Klein misalnya,
menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan sistematis,
dengan mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas
sebagai sasaran dan yang
dijalankan langkah demi langkah.[7]
Hampir senada dengan Klein,
Kuypers menjelaskan kebijakan itu adalah suatu susunan dari: (1) tujuan-tujuan
yang dipilih oleh para administrator publik baik untuk kepentingan diri sendiri
maupun kepentingan kelompok; (2) jalan-jalan dan sarana-sarana yang dipilih
olehnya; dan (3) saat-saat yang mereka pilih.[8] Adapun Friend memahami bahwa
kebijakan pada hakikatnya adalah suatu posisi yang sekali dinyatakan akan
mempengaruhi keberhasilan keputusan-keputusan yang akan dibuat di masa datang.[9]
Sementara itu, Carl J. Friedrick menguraikan
kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan
dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksana usulan kebijakan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.[10] Dan, james E. Anderson mengatakan bahwa
kebijakan adalah serangkaian tindakan
yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang
pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.[11]
Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka
dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Terdapat perbedaan pendapat
di kalangan para ahli tentang
pengertian kebijakan. Jelasnya, konsep kebijakan itu sulit untuk dirumuskan dan
diberikan makna yang tunggal, atau dengan perkataan lain, sulit untuk
memperlakukan konsep kebijakan tersebut sebagai sebuah gejala yang khas dan
konkret, terutama bila kebijakan itu dilihat sebagai suatu proses yang terus berkembang
dan berkelanjutan mulai dari proses pembuatan sampai implementasinya.
2.
Terdapat perbedaan
“penekanan” tentang kebijakan di antara para ahli. Sebagian dari mereka melihat
kebijakan sebagai suatu perbuatan, sedangkan yang lain melihat sebagai suatu
sikap yang direncanakan (suatu rencana), atau bahkan suatu rencana dan juga
suatu tindakan.
3.
Para ahli juga berbeda
pendapat berkaitan dengan tujuan dan sarana. Ada yang berpendapat, bahwa kebijakan meliputi tujuan dan
sarana, bahkan ada yang tidak lagi menyebut baik tujuan maupun sarana.[12]
Melengkapi uraian di
atas, perlu dijelaskan di sini bahwa ada satu istilah dalam bahasa Indonesia
yang kerap dipakai secara bergantian dalam pengertian yang hampir serupa dengan
istilah kebijaksanaan, yaitu kebijakan. Berkaitan dengan istilah di atas
Girindro Priggodigdo memberikan penjelasan yang menarik. Ia membedakan pengertian antara istilah kebijaksanaan dan
kebijakan. Menurut Pringgodigdo, kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan atau
kegiatan yang direncanakan di bidang hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran
yang dikehendaki. Orientasinya pada pembentukan dan penegakan hukum masa kini dan masa depan.
Adapun kebijakan adalah tindakan atau kegiatan seketika (instant decision)
melihat urgensi serta situasi atau kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan
keputusan di bidang hukum
yang dapat bersifat
pengaturan (tertulis) dan atau keputusan tertulis atau lisan, yang antara lain
berdasarkan kewarganegaraan/kekuasaan diskresi (discretionary power/freies
ermessen).
Pembedaan pengertian
kedua istilah di atas pada tataran konseptual dengan sendirinya akan berimbas
pada aktualisasi konsep itu pada tataran praksis. Namun, meskipun terdapat
perbedaan pengertian, kedua istilah ini kerap dipakai dalam pengertian yang
sama, yaitu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Dengan demikian, secara etimologis, politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.
2. Perspektif Terminologis
Penjelasan etimologis
di atas tentu tidak memuaskan karena masih begitu sederhana, sehingga dalam
banyak hal dapat membingungkan dan merancukan pemahaman tentang apa itu politik
hukum.
Di bawah ini, akan
dijelaskan definisi-definisi politik hukum yang telah dirumuskan
oleh beberapa ahli hukum yang
selama ini cukup concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, yaitu :
1. Padmo Wahjono
Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan
Atas Hukum[13] mendefinisikan politik hukum sebagai
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan
kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah forum keadilan yang
berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan”. Dalam artikel
tersebut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara
tentang apa yang dijadikan kriteria
untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan
dengan pembentukan hukum,
penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.[14]
Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara
yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang
akan dibentuk dan tentang apa yang akan dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan
hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).
2. Teuku Mohammad Radhie
Teuku Mohammad Radhie
dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya,
dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun.[15]
Pernyataan “mengenai
hukum yang berlaku di
wilayahnya” mengandung pengertian hukum
yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan “mengenai arah perkembangan yang dibangun” mengandung
pengertian hukum yang berlaku
di masa datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan
definisi politik hukum yang
dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang bersifat ius constituendum,
definisi politik hukum yang
dirumuskan oleh Radhie tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan
berkelanjutan, yaitu ius constituendum dan ius constitutum.
3. Soedarto
Adapun menurut
Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), politik hukum
adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.[16]
Pada buku yang lain berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan,
politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[17]
Pengertian politik hukum yang dikemukakan Soedarto
di atas mencakup pengertian yang sangat luas. Pernyataan “mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat” bisa ditafsirkan sangat luas dan dapat memasukkan pengertian
di luar hukum, yakni politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Sedangkan pernyataan
“untuk mencapai apa yang dicita-citakan” memberikan pengertian bahwa politik hukum
berkaitan dengan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
Berbeda dengan dua pengertian sebelumnya, Soedarno
tidak hanya berbicara pada kurun waktu apa hukum yang diterapkan (ius
constituendum), tetapi tampaknya sudah pula menyinggung kerangka pikir
macam apa yang harus digunakan ketika menyusun sebuah produk hukum.
4. Satjipto Rahardjo
Satjipto Rahardjo
mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.[18] Sebagai seorang yang mendalami
sosiologi hukum, tidaklah mengherankan apabila Satjipto Rahardjo lebih
menitikberatkan definisi politik hukumnya dengan menggunakan pendekatan
sosiologis. Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa politik hukum
digunakan untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.
Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa
pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan apa
yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang
mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3)
kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan
itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan
mapan, yang bisa membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.[19]
5. C.F.G. Sunaryati Hartono
Berbeda dengan para
pendahulunya, Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional sebenarnya tidak
pernah menjelaskan secara eksplisit pengertian politik hukum. Namun, itu bukan
berarti bahwa ia tidak mempedulikan keberadaan politik hukum dari sisi
praktisnya. Dalam hal ini, ia melihat politik hukum sebagai sebuah alat atau
sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang
dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita
bangsa Indonesia.[20]
Pernyataan “menciptakan sistem hukum
nasional yang dikehendaki” mengisyaratkan bahwa kerangka kerja politik hukum
menurut Sunaryati Hartono lebih menitik beratkan pada dimensi hukum yang
berlaku di masa yang akan datang (ius
constituendum).
6. Abdul Halim Garuda Nusantara
Definisi politik hukum
berikutnya dikemukakan oleh Abdul Halim Garuda Nusantara, dalam sebuah
makalahnya berjudul “Politik Hukum Nasional” yang disampaikan pada Kerja
Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu).[21]
Menurut Abdul Halim Garuda Nusantara, politik hukum nasional secara harfiah
dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak
diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu.
Politik hukum
nasional bisa meliputi (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara
konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap
ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum yang
baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan
pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum persepsi kelompok elit
pengambil kebijakan.
Berdasarkan beberapa
definisi politik hukum yang
telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa politik hukum dapat diartikan sebagai ”kebijakan
dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah
berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk
mencapai tujuan negara yang dicita-citakan”. Kata kebijakan di sini
berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar. Dalam
merumuskan dan menetapkan politik hukum yang telah dan akan dilakukan, politik
hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan
tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu
diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.[22]
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak
terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahwa dapat
dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari
nilai-nilai yang suatu saat berlaku dalam masyarakat.[23]
Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi
kesadaran bersama masyarakat tertentu dan berlaku secara efektif dalam mengatur
kehidupan mereka. Hal yang sama terjadi juga dalam
politik hukum.
[5] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian
Filosofis dan Sosiologis, Cet, II, (Jakarta: Gunung Agung, 2002), hal. 17
[6] Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga
Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. I, (Bandung: alumni, 1992),
hlm.33.
[7]
A. Hoogerwerf, Overheidsbeleid,
diterjemahkan oleh R. L. L Tobing (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 7.
[8]
Ibid.
[9]
J. K. Friend, dkk, Public
Planning: The Inter Corporate Dimention, (London: Tavistock, 1974), hlm.
40.
[10]
Carl J. Friedrick, Man and His Government,
(New York: McGraw Hill, 1963), hlm. 79.
[11]
James E. Anderson, Public Policy
Making, (New York: Praeger Publisher, 1979), hlm. 3.
[12]
Bambang Sunggono, Hukum dan
Kebijaksanaan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 14.
[14]
Padmo Wahyono, “Menyelisik Proses
Terbentuknya Perundang-Undangan”, Forum Keadilan, No. 29 (April 1991),
hlm. 65.
[21]
Abdul Halim Garuda Nusantara,
“Politik Hukum Nasional”, makalah disampaikan pada Karya Latihan Bantuan Hukum
(Kalabahu), diselenggarakan Yayasan LBH Indonesia dan LBH Surabaya, September
1985.
Comments