Skip to main content

ANEKA PENGERTIAN TENTANG POLTIK HUKUM

Perlu disadari sepenuhnya bagi para pengkaji hukum di Indonesia bahwa ragam istilah hukum yang kini dipakai dalam literatur-literatur hukum di Indonesia diadopsi dari ragam istilah hukum yang terdapat dalam tradisi ilmu hukum Belanda, seperti hukum tata negara (staatrecht), hukum perdata (privaatrecht), hukum pidana (straafrecht), dan hukum administrasi (administratiefrecht).[1] Hal yang sama berlaku juga dengan istilah politik hukum.

1.       Perspektif Etimologis
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek. Istilah ini sebaiknya tidak dirancukan dengan istilah yang muncul belakang yaitu politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence Van Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah yang disebutkan terakhir berkaitan dengan istilah lain yang ditawarkan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah hukum tata negara. Untuk kepentingan itu dia menulis sebuah karangan yang berjudul “Politiekrecht, als Opvolger van het Staatrecht”.[2]
Kembali pada istilah rechtspolitiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan (judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintahan (government), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence) dan lain-lain.[3] Kata kerjanya yaitu hakama-yahkumu, berarti memutuskan, mengadili, menetapkan, memerintahkan, memerintah, menghukum, mengendalikan, dan lain-lain. Asal-usul kata hakama berarti mengendalikan dengan satu pengendalian.[4] Berkaitan dengan istilah ini sampai sekarang, belum ada kesatuan pendapat di kalangan para teoretisi hukum tentang apa batasan dan arti hukum yang sebenarnya.
Achmad Ali dalam bukunya Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis telah berhasil mengumpulkan lebih dari lima puluh definisi dan pengertian tentang hukum yang disarikan dari berbagai aliran ilmu hukum yang ada dan dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak Aristoteles, Ibnu Khaldun hingga Dworkin.[5] Dari lima puluhan definisi dan pengertian hukum itu masing-masing ahli berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena sifat yang abstrak dan cakupan yang luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam memandang dan memahami apa yang disebut dengan hukum tersebut. Dengan kata lain, sejak dahulu hingga sekarang para ahli hukum tidak pernah sepakat untuk mengakui sebuah definisi hukum yang berlaku secara umum yang dapat diterima di seluruh dunia, atau mengutip Sri Soemantri Martosoewignjo, hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat.[6]
Adapun dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van Der Tas, kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy). Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
Berkenaan dengan istilah kebijakan, ternyata memiliki keragaman arti. Hal itu dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh yang mencoba untuk menjelaskan apa sebenarnya kebijakan itu. Klein misalnya, menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan sistematis, dengan mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran dan yang dijalankan langkah demi langkah.[7] Hampir senada dengan Klein, Kuypers menjelaskan kebijakan itu adalah suatu susunan dari: (1) tujuan-tujuan yang dipilih oleh para administrator publik baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan kelompok; (2) jalan-jalan dan sarana-sarana yang dipilih olehnya; dan (3) saat-saat yang mereka pilih.[8] Adapun Friend memahami bahwa kebijakan pada hakikatnya adalah suatu posisi yang sekali dinyatakan akan mempengaruhi keberhasilan keputusan-keputusan yang akan dibuat di masa datang.[9]
Sementara itu, Carl J. Friedrick menguraikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksana usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.[10] Dan, james E. Anderson mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian  tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.[11] Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1.       Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli tentang pengertian kebijakan. Jelasnya, konsep kebijakan itu sulit untuk dirumuskan dan diberikan makna yang tunggal, atau dengan perkataan lain, sulit untuk memperlakukan konsep kebijakan tersebut sebagai sebuah gejala yang khas dan konkret, terutama bila kebijakan itu dilihat sebagai suatu proses yang terus berkembang dan berkelanjutan mulai dari proses pembuatan sampai implementasinya.
2.       Terdapat perbedaan “penekanan” tentang kebijakan di antara para ahli. Sebagian dari mereka melihat kebijakan sebagai suatu perbuatan, sedangkan yang lain melihat sebagai suatu sikap yang direncanakan (suatu rencana), atau bahkan suatu rencana dan juga suatu tindakan.
3.       Para ahli juga berbeda pendapat berkaitan dengan tujuan dan sarana. Ada yang berpendapat, bahwa kebijakan meliputi tujuan dan sarana, bahkan ada yang tidak lagi menyebut baik tujuan maupun sarana.[12]
Melengkapi uraian di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa ada satu istilah dalam bahasa Indonesia yang kerap dipakai secara bergantian dalam pengertian yang hampir serupa dengan istilah kebijaksanaan, yaitu kebijakan. Berkaitan dengan istilah di atas Girindro Priggodigdo memberikan penjelasan yang menarik. Ia membedakan pengertian antara istilah kebijaksanaan dan kebijakan. Menurut Pringgodigdo, kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan di bidang hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Orientasinya pada pembentukan dan penegakan hukum masa kini dan masa depan. Adapun kebijakan adalah tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta situasi atau kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan di bidang hukum yang dapat bersifat pengaturan (tertulis) dan atau keputusan tertulis atau lisan, yang antara lain berdasarkan kewarganegaraan/kekuasaan diskresi (discretionary power/freies ermessen).
Pembedaan pengertian kedua istilah di atas pada tataran konseptual dengan sendirinya akan berimbas pada aktualisasi konsep itu pada tataran praksis. Namun, meskipun terdapat perbedaan pengertian, kedua istilah ini kerap dipakai dalam pengertian yang sama, yaitu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Dengan demikian, secara etimologis, politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.

2.       Perspektif Terminologis
Penjelasan etimologis di atas tentu tidak memuaskan karena masih begitu sederhana, sehingga dalam banyak hal dapat membingungkan dan merancukan pemahaman tentang apa itu politik hukum.
Di bawah ini, akan dijelaskan definisi-definisi politik hukum yang telah dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yang selama ini cukup concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, yaitu :

1.       Padmo Wahjono
Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum[13] mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah forum keadilan yang berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan”. Dalam artikel tersebut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.[14]
Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang akan dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).

2.   Teuku Mohammad Radhie
Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[15]
Pernyataan “mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya” mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan “mengenai arah perkembangan yang dibangun” mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik hukum yang dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang bersifat ius constituendum, definisi politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius constituendum dan ius constitutum.

3.   Soedarto
Adapun menurut Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[16] Pada buku yang lain berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[17]
Pengertian politik hukum yang dikemukakan Soedarto di atas mencakup pengertian yang sangat luas. Pernyataan “mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat” bisa ditafsirkan sangat luas dan dapat memasukkan pengertian di luar hukum, yakni politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Sedangkan pernyataan “untuk mencapai apa yang dicita-citakan” memberikan pengertian bahwa politik hukum berkaitan dengan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
Berbeda dengan dua pengertian sebelumnya, Soedarno tidak hanya berbicara pada kurun waktu apa hukum yang diterapkan (ius constituendum), tetapi tampaknya sudah pula menyinggung kerangka pikir macam apa yang harus digunakan ketika menyusun sebuah produk hukum.

4.   Satjipto Rahardjo
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.[18] Sebagai seorang yang mendalami sosiologi hukum, tidaklah mengherankan apabila Satjipto Rahardjo lebih menitikberatkan definisi politik hukumnya dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa politik hukum digunakan untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.[19]

5.   C.F.G. Sunaryati Hartono
Berbeda dengan para pendahulunya, Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum  Menuju Satu Sistem Hukum Nasional sebenarnya tidak pernah menjelaskan secara eksplisit pengertian politik hukum. Namun, itu bukan berarti bahwa ia tidak mempedulikan keberadaan politik hukum dari sisi praktisnya. Dalam hal ini, ia melihat politik hukum sebagai sebuah alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.[20] Pernyataan “menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki” mengisyaratkan bahwa kerangka kerja politik hukum menurut Sunaryati Hartono lebih menitik beratkan pada dimensi hukum yang berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum).

6.   Abdul Halim Garuda Nusantara
Definisi politik hukum berikutnya dikemukakan oleh Abdul Halim Garuda Nusantara, dalam sebuah makalahnya berjudul “Politik Hukum Nasional” yang disampaikan pada Kerja Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu).[21] Menurut Abdul Halim Garuda Nusantara, politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu.
Politik hukum nasional bisa meliputi (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum yang baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.

Berdasarkan beberapa definisi politik hukum yang telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa politik hukum dapat diartikan sebagai ”kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan”. Kata kebijakan di sini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan politik hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.[22]
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahwa dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang suatu saat berlaku dalam masyarakat.[23] Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masyarakat tertentu dan berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan mereka. Hal yang sama terjadi juga dalam politik hukum.





 [1] C. S. T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum, Jilid I, Cet. IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 200.
 [2] Sri Soemantri, “Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam kehidupan Bernegara”, Dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 1, no. 4, September-November 2001, hlm. 43.
 [3]Hans wehr, A Dictionary Of Modern Writeen Arabic, (London: Mac-Donald & Evans ltd, 1980), hal. 196.
[4] Jubran Mas’ud. Al-ra’id: Mu’jam Lughawiyyun ‘Ashriyyun, Cet. VII, (Beirut: Dar al-‘ilm li al-mayalin, 1992), hlm. 312.
[5] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet, II, (Jakarta: Gunung Agung, 2002), hal. 17
[6] Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. I, (Bandung: alumni, 1992), hlm.33.
[7] A. Hoogerwerf, Overheidsbeleid, diterjemahkan oleh R. L. L Tobing (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 7.
[8] Ibid.
[9] J. K. Friend, dkk, Public Planning: The Inter Corporate Dimention, (London: Tavistock, 1974), hlm. 40.
[10]  Carl J. Friedrick, Man and His Government, (New York: McGraw Hill, 1963), hlm. 79.
[11] James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Praeger Publisher, 1979), hlm. 3.
[12] Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 14.
      [13] Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasatkan atas hukum, Cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 160.
[14] Padmo Wahyono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan”, Forum Keadilan, No. 29 (April 1991), hlm. 65.
            [15] Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II Desember 1973, hlm. 4.
          [16] Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 20.
            [17] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.151.
            [18] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 352.
               [19] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 352-353.
               [20] C.F.G. sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1.
[21] Abdul Halim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah disampaikan pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), diselenggarakan Yayasan LBH Indonesia dan LBH Surabaya, September 1985.
               [22] Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 310-314.
               [23] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 14.

Comments

Populer Post

PEMBAHARUAN WARISAN HUKUM BELANDA DI INDONESIA

WARISAN HUKUM BELANDA Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa ( octrooi ) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.

Konsep Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Positif

Perbandingan Hukum sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya relatif masih muda, karena baru tumbuh secara pesat pada akhir abad XIX atau awal abad XX. Perbandingan adalah salah satu sumber pengetahuan yang sangat penting. Perbandingan dapat dikatakan sebagai suatu teknik, disiplin, pelaksanaan dan metode di mana nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan dan aktivitasnya dikenal dan dievaluasi. Pentingnya perbandingan telah mendapatkan penghargaan di setiap bagian oleh siapapun dalam bidang studi dan penelitian. Nilai penting tersebut direfleksikan pada pekerjaan dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para ahli ilmu pengetahuan, ahli sejarah, ahli ekonomi, para politisi, ahli hukum dan mereka yang terkait dengan kegiatan penyelidikan dan penelitian. Apapun gagasan, ide, prinsip dan teorinya, kesemuanya dapat diformulasikan dan dapat dikatakan sebagai hasil dari metode studi perbandingan. 

PENGHAPUSAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA

PENGHAPUSAN DAN PENGHILANGAN PERBUATAN PIDANA (Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP) Terdapat keadaan-keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana, kehilangan sifat tindak pidana, sehingga si pelaku bebas dari hukuman pidana. Pembahasan ini dalam KUHP diatur dalam title III dari buku I KUHP, yaitu pasal 44 – 51. akan tetapi dalam praktek hal ini tidak mudah, banyak kesulitan dalam mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini. Dalam teori hokum pidana alas an-alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi 3 : 1. Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1).

Sejarah Awal Pembentukan Hukum di Indonesia (Seri Kuliah)

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia paling tidak diawali pada masa pergerakan nasional yang diinisiasi oleh Budi Utomo pada tahun 1908, kemudian Serikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada masa menuju kemerdekaan inilah segenap komponen bangsa bersatu padu demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali Santri, maka sudah tepat pada tanggal 22 Oktober nanti diperingati hari santri. Kaum santri bukan hanya belajar mengaji akan tetapi juga mengangkat senjata demi mewujudkan kemerdekaan NKRI. Dengan diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti : -           menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; -           sejak saat itu berarti bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum) untuk menetapkan tata hukum Indonesia. Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang menetapkan