Di dalam
perjanjian kerja untuk waktu tertentu menurut Pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun
2003 dikenal pemborongan pekerjaan dan outsourcing. Berdasarkan
ketentuan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003, perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Menurut pendapat penulis terdapat kekeliruan dalam pasal 64 berkaitan dengan
pengertian outsourcing. Kalimat terakhir keliru, yaitu “… penyerahan
penyedia jasa pekerja buruh yang dibuat secara tertulis “ atau penyedia jasa
buruh seharusnya ditiadakan diganti dengan perusahaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Outsourcing di dalam
Pasal 64 menunjukkan bahwa ada 2 macam outsourcing yaitu outsourcing mengenai
pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong, dan outsourcing mengenai
pekerjaannya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang
pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang
mensubkan pekerjaan pada sub kontraktor. Sub kontraktor untuk melakukan
pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja.
Di situlah sub kontraktor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang
disubkan oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub
kontraktor dengan pekerjaannya;
Perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh harus memenuhi syarat
sebagaimana dalam ketentuan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu:
a.
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan;
c.
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan; dan
d.
tidak menghambat proses produksi secara
langsung.
Keberadaan
ketentuan Pasal 57 – 66 UU No. 13 Tahun 2003 ini, mempunyai dampak yang negatif
dalam perlindungan pekerja. Banyak perusahaan yang merubah sistim kerjanya dari
pekerja tetap yang mendasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
menjadi pekerja kontrak yang didasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu
tertentu, yaitu outsourcing atau pemborongan kerja. Ketentuan ini menjadi
salah satu pertimbangan pada permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Judicial
review tersebut terkait dengan kedudukan hukum outsourcing.
Kedudukan hukum pelaksanaan outsourcing berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 64yang berbunyi:
“Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.”
Pada 17
Januari 2012, Mahkamah Konstitusi (“MK”) memutus permohonan pengujian UUK yang
diajukan oleh Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Didik
Suprijadi.
Dalam
pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari
suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang
melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang
dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah
Konstitusi menawarkan dua model perjanjian kerja.
Pertama,
dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang
melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian
kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak
tertentu (“PKWTT”).
Kedua,
menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja
pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Karena
itu, melalui model pertama, hubungan
kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan
berdasarkan PKWTT secara tertulis. sedangkan, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara
pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap
mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan
tindakan perlindungan.
Guna
menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mencoba menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui
Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012.
“Putusan Mahkamah Konstitusi itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran untuk
mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah
berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar
terjamin.
Oleh karena
itu system kerja outsourcing sudah sepantasnya dikaji ulang atau
dihapuskan. Sebagai alternative hukum tenagakerja dapat diperbandingkan
dengan konsep ketenagakerjaan yang ada dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam sendiri
memang belum ditemukan teori yang khusus menjelaskan tentang outsourcing tersebut.
Definisi outsourcing adalah suatu bentuk perjanjian kerja antara
perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa, dimana perusahaan
pengguna jasa meminta kepada perusahaan penyedia jasa untuk menyediakan tenaga
kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan pengguna jasa dengan membayar
sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan penyedia
jasa. Maka jika
melihat definisi dan unsur yang terdapat dalam outsourcing, dapat
diqiyaskan kedalam konsep syirkah dan ijârah. Maka 2 konsep dalam islam
ini dapat dipelajari lebih mendalam.
Comments