Perjanjian
kerja (Arbeidsoverenkoms), menurut Pasal 1601 a KUH Perdata adalah :
“Perjanjian kerja adalah : suatu perjanjian dimana pihak kesatu ( si buruh), mengikatkan dirinya untuk di
bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan
pekerjaan dengan menerima upah.”
Sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka
14 memberikan pengertian : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian
antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”.
Prof.
Subekti, S.H memberikan pengertian tentang perjanjian kerja adalah Perjanjian
antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh
ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya
suatu hubungan di peratas (dierstverhanding), yaitu suatu hubungan
berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah
yang harus ditaati oleh pihak yang lain.[1]
1. Bentuk-bentuk
perjanjian kerja
Hubungan
kerja adalah hubungan perdata yang didasarkan pada kesepakatan antara pekerja
dengan pemberi pekerjaan atau pengusaha. Karena itu bukti bahwa seseorang
bekerja pada orang lain atau pada sebuah perusahaan/lembaga adalah adanya
perjanjian kerja yang berisi tentang hak-hak dan kewajiban masing-masing baik
sebagai pengusaha maupun sebagai pekerja.
Ada 2
(dua) bentuk perjanjian kerja, yaitu :
a. Perjanjian
kerja secara lisan
Perjanjian kerja umumnya secara tertulis,
tetapi masih ada juga perjanjian kerja yang disampaikan secara lisan.
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUKK) membolehkan
perjanjian kerja dilakukan secara lisan, dengan syarat pengusaha wajib membuat
surat pengangkatan bagi pekerja, yang berisi :
a)
Nama dan alamat pekerja
b)
Tanggal mulai bekerja
c)
Jenis pekerjaan
d)
Besarnya upah (Pasal 63 UUKK)
Untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat
diselesaikan dalam waktu tertentu dan pengusaha bermaksud memperkerjakan
karyawan untuk waktu tertentu (PKWT), perjanjian kerja tidak boleh dibuat
secara lisan.
b. Perjanjian
kerja Tertulis
Perjanjian kerja tertulis harus memuat tentang
jenis pekerjaan yang akan dilakukan, besarnya upah yang akan diterima dan
berbagai hak serta kewajiban lainnya bagi masing-masing pihak. Perjanjian kerja
tertulis harus secara jelas menyebutkan apakah perjanjian kerja itu termasuk
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT atau disebut sistem kontrak) atau
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT atau sistem permanen/tetap).[2]
Sebagaimana
perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus didasarkan pada:
a.
Kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan
hubungan
b.
Kerja.
c.
Kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan
hukum.
d.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
e. Pekerjaan
yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain
itu bahwa perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB), yaitu perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/serikat
pekerja yang disahkan oleh pemerintah (Instansi Ketenagakerjaan).[3]
Syarat dan ketentuan pemborongan pekerjaan diatur dan ditetapkan berdasarkan
hukum perjanjian, yakni kesepakatan kedua belah pihak. Asas yang berlaku dalam
hukum perjanjian adalah, hal-hal yang telah disepakati kedua belah pihak dalam
perjanjian berlaku sebagai undang-undang yang mengikat. Ketentuan tersebut dikenal
dengan Asas Kebebasan Berkontrak.[4]
Namun
demikian, sekalipun undang-undang memberikan kebebasan kepada pihak-pihak untuk
menentukan isi perjanjian pemborongan pekerjaan, syarat dan ketentuan
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan norma
keadilan.
2. Jenis-jenis
perjanjian kerja
Perjanjian Kerja ada banyak jenis dan masing-masing
perjanjian kerja tersebut mempunyai konsekuensi berbeda bila terjadi PHK. Dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan ditentukan ada beberapa jenis Perjanjian kerja,
yaitu sebagai berikut :
a.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah
perjanjian kerja yang jangka berlakunya telah ditentukan atau disebut sebagai
karyawan kontrak. Bila jangka waktu sudah habis maka dengan sendirinya terjadi
PHK dan para karyawan tidak berhak mendapat kompensasi PHK seperti uang
pesangon, uang penghargan masa kerja, uang penggantian hak, uang pisah.
b.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian untuk waktu tidak tertentu adalah suatu
jenis perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak
memiliki jangka waktu berlakunya. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
tidak akan berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan oleh penjualan, pewarisan, atau hibah. PKWT dan
PKWTT harus ditanda tangani kedua belah pihak.[5]
c.
Perjanjian Kerja Dengan Perusahaan Pemborong Pekerjaan
Sebuah perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang berbadan hukum dengan cara
membuat perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat
secara tertulis.
Dalam
praktiknya, outsourcing biasanya menggunakan PKWT juga terkait
perjanjian kontraknya sehingga menjadi buruh outsoucing dengan
status kontrak (PKWT). Jadi, PKWT dan outsourcing adalah
istilah yang berbeda meskipun penerapannya bisa dilakukan secara bersamaan.
Untuk mengantisipasi Kemungkinan penghentian perjanjian
kerja outsourcing, dalam perjanjian kontrak harus ada klausa khusus mengenai
hal ini. Termasuk kapan dapat dihentikau, siapa boleh menghentikau, berapa lama
harus memberitahukan terlebih dahulu, apakah ada kompensasi atau tidak dan
sebagainya. Dengan demikian kemungkinan timbulnya perselisihan akan berkurang, pertimbangan
apakah kontrak outsourcing yang sudah ada dihentikan akan diberikan kepada 'pemberi
jasa lainnya atau dikeljakan sendiri lagi, tergantung pasa evaluasi manajemen
pada waktu itu. Apabila berdasarkan pengalaman mengenai mutu kerja, biaya
maupun hubungan sedemikian rupa sehingga diperkiran bahwa pemberi jasa lainya
juga tidak akan banyak perubahan maka ini mendorong keputusau untuk kembali kerja
sendirian.[6]
[1]
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Alumni Bandung, 1977), h. 63
[2]
Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, (Jakarta : Visimedia,
2006), h.3
[3]
Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, h.4
[4] Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja
Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS
Publishing, 2006), h 10
[5]
Amin Widjaja Tunggal, Outsourcing Konsep dan Kasus, (Jakarta:
Harvarindo, 2008). h.55.
[6]
Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis
Outsourcing, (Jakarta: PT. Grasindo, 2003), cet. 1, h. 5.
Comments