Outsourcing
adalah
pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses bisnis kepada
pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui
pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan
dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.[1]
Outsourcing
adalah
salah satu hasil samping dari Business Process Reengineering (BPR). BPR
adalah perubahan yang dilakukan secara mendasar oleh suatu perusahaan
dalam proses pengelolaannya, bukan hanya sekedar melakukan perbaikan.
BPR adalah pendekatan baru dalam managemen yang bertujuan meningkatkan
kinerja, yang sangat berlainan pendekatan lama yaitu continuous improvement
process. BPR dilakukan untuk memberikan respons atas perkembangan ekonomi
secara global dan perkembangan teknologi yang demikian cepat sehingga
berkembang persaingan yang bersifat global dan berlangsung sangat ketat.[2]
Di dalam Undang-Undang tidak menyebutkan secara
tegas mengenai istilah outsorcing. Tetapi pengertian outsourcing dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 64 Undang-Undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun
2003, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian
kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan
tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Dari pengertian diatas maka dapat ditarik suatu
definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian
kerja antara perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa, dimana
perusahaan pengguna jasa meminta kepada perusahaan penyedia jasa untuk
menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan pengguna
jasa dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh
perusahaan penyedia jasa.
Pada dasarnya tujuan utama suatu perusahaan melakukan
outsourcing adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keunggulan
kompetitif perusahaan agar dapat mempertahankan hidup dan berkembang.
Mempertahankan hidup berarti tetap dapat mempertahankan pangsa pasar, sementara
berkembang berarti dapat meningkatkan pangsa pasar, dengan tujuan strategis
ialah bahwa dengan melakukan outsourcing, perusahaan ingin meningkatkan
kemampuannya berkompetisi, atau ingin meningkatkan atau sekurang-kurangnya
mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Kompetisi antara perusahaan umumnya
menyangkut tiga hal, yaitu harga produk, mutu produk dan layanan. Oleh karena
itu, pekerjaan harus diserahkan pada pihak yang lebih profesional dan lebih
berpengalaman daripada perusahaan sendiri dalam melaksanakan jenis pekerjaan
yang diserahkan, tidak sekedar pihak ketiga saja.
Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja
dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1
angka 15 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan
bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/buruh.[3]
Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan
hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dan
pengusaha.
Agar hubungan kerja tidak merugikan salah satu
pihak khususnya tenaga kerja, Pasal 65 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja dalam pola outsourcing
harus merupakan perjanjian kerja tertulis antar tenaga kerja dan penyedia jasa
tenaga kerja, yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau
perjanjian kerja waktu tertentu yang memenuhi persyaratan pada Pasal 59
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yaitu :
1.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan
yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b. Pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan
yang bersifat musiman;
d. Pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan
2.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak
dapat diadakan untuk pekerjaan yang sifatnya tetap.
3.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat
diperpanjang atau diperbaharui.
4.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan
atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan
hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1(satu)
tahun.
5.
Pengusaha yang bermaksud untuk memperpanjang
perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum
perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
6.
Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu
hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian
kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2
(dua) tahun.
7.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan
ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
8.
Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini
akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3) tidak dipenuhi maka demi hukum status hubungan
kerja tenaga kerja dengan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan
kerja tenaga kerja dengan pengguna jasa tenaga kerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan telah membatasi pekerjaan yang dapat diserahkan kepada
perusahaan lain melalui pemborongan atau outsourcing. Kewajiban bagi pengguna
jasa tenaga kerja, yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1), pengguna jasa tenaga
kerja tidak boleh menggunakan tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi.
Penjelasan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003, disebutkan bahwa : Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain : usaha pelayanan kebersihan (cleaning service),
usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengamanan (security/satuan
pengamanan, usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Konsep dan pengertian usaha pokok atau core
business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep
yang berubah dan berkembang secara dinamis. Alexander dan Young (1996) mengatakan
bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core
business, yaitu :
·
Kegiatan yang secara tradisional dilakukan
didalam perusahaan.
·
Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja
bisnis.
·
Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif
baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
Pasal 66 ayat (2) juga mengatur Perusahaan
penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :
a. Adanya
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. Perjanjian
kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja
adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
c. Perlindungan
upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
d. Perjanjian
antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Latar belakang penetapan syarat ini adalah agar
perusahaan perusahaan outsourcing tidak terlalu mudah melepaskan tanggungjawab
dan kewajibannya terhadap pihak pekerja/buruh maupun pihak ketiga lainnya.
Ketentuan tentang adanya keharusan berbentuk badan hukum diatur di dalam Pasal
3 dan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : Kep. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Dalam Pasal 3 disebutkan, apabila perusahaan
pemberi pekerjaan akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan pemborong pekerjaan, maka penyerahan tersebut harus diberikan kepada
perusahaan yang berbadan hukum. Selain itu dalam Pasal 66 ayat (3) disebutkan
bahwa : “Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum
dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan”.
[1] Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja
Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS
Publishing, 2006), h 2.
[2] Sonhaji, Aspek Hukum Hubungan Kerja Melalui
Mekanisme Outsourcing Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
(Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Majalah Masalah-Masalah Hukum Vol. 36
No. 2 April-Juni 2007), h. 112
[3]
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2007) h. 53
[4] Mohamad faiz, “Outsourcing Dan Pengelolaan Tenaga
Kerja Pada Perusahaan” Jurnal Hukum (Online), (http ://jurnal
hukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing dan tenaga kerja.html, diakses 23
Agustus 2012)
Comments