Skip to main content

Aborsi Menurut Hukum Islam

Aborsi

Mazhab Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali mengibaratkan aborsi dengan tindak pidana terhadap dua jenis, akan tetapi perbedaan pendapat ulama-ulama fikih tentang pengungkapan pidana tidak dianggap penting, karena maksud dari ungkapan mereka adalah sama dengan maksud ungkapan yang lain. Tempat pidana aborsi menurut pendapat mereka adalah menggugurkan kehamilan dan menganiaya janin atau setiap perbuatan yang mengakibatkan janin terpisah dari ibunya[1].

Menggugurkan Kandungan

Pidana ini terjadi bilamana ada sebab yang memisahkan janin dari ibunya. Janin itu bisa berpisah dari ibunya ketika masih hidup atau bisa juga sudah mati. Pidana aboris dianggap sempurna bilamana terjadi pemisahan tanpa memandang apakah janin masih hidup atau sudah mati. Namun,  setiap keadaan (janin masih hidup atau mati) ada hukumannya tersendiri, karena hukuman dijatuhkan tergantung akibat perbuatan. Hal ini akan kami jelaskan ketika membicarakan masalah hukuman.
Perbuatan yang berakibat pidana aborsi tidak disyaratkan harus satu jenis. Pidana aborsi bisa jadi merupakan perbuatan, perkataan, intimidasi, dan juga intervensi.   
Di antara contoh pidana aborsi yang dihasilkan intimidasi adalah pemukulan, melukai, menekan perut, menyuruh mengkonsumsi obat-obatan atau benda-benda yang mengakibatkan aborsi, memasukkan benda-benda yang asing ke dalam vagina, dan atau menyuruh membawa beban yang berat[2].

Intervensi

Diantara contoh perkataan dan perbuatan intervensi adalah ancaman, mengagetkan, mengejutkan seperti menakut-nakuti orang hamil untuk memukul atau membunuhnya, berteriak kepada orang hamil secara tiba-tiba, memberikan sesuatu yang berduri atau memasukkan sesuatu yang berduri kepada orang yang hamil[3]. Di antara kejadian yang terkenal dalam masalah ini adalah bahwa Umar r.a. pernah diutus menemui seorang wanita, tatkala wanita tersebut di jalan tiba-tiba wanita itu terkejut lalu seorang anak laki-laki gugur dari kandungannya dan bayi itu berteriak dua kali dan mati. Kemudian Umar r.a. bermusyawarah dengan sahabat-sahabat Nabi SAW., di antara mereka ada yang mengatakan, “Engkau tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa, Engkau hanya penguasa dan yang memberikan pelajaran.” Ali r.a. diam saja, lalu Umar berkata, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Hasan?” Lalu Ali berkata, “Mereka mengemukakan pendapatnya yang salah, namun jika mereka mengatakan sesuai dengan pendapatmu, maka mereka tidak memberikan nasihat kepadamu. Sesungguhnya diyat-nya adalah tanggungjawabmu, karena Engkau telah mengejutkannya sehingga janinnya gugur[4].”
Di antara contoh tindakan intervensi adalah tidak memberi makanan atau menyuruh puasa. Jika wanita hamil puasa kemudian puasanya tersebut mengakibatkan terjadinya aborsi, maka ia bertanggung jawab atas pidana tersebut. Demikian juga halnya dengan menyuruh mencium bau yang membahayakan kanduangan[5].
Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa orang yang mencaci wanita hamil dengan cacian yang menyakitkan, maka pelaku bertanggungjawab secara pidana jika cacian itu mengakibatkan wanita itu keguguran[6].
Bisa jadi perbuatan yaang berakibat perbuatan pidana tersebut berasal dari ayah, ibu, dan atau selain keduanya. Siapa saja pelakunya, maka dia bertanggungjawab atas pidananya dan tidak ada pengaruhnya terhadap hukuman yang sudah ditetapkan.

Pemisahan Janin

Pidana terhadap janin dianggap tidak ada selama janin tidak berpisah dari ibunya. Orang yang memukul perut perempuan atau memberinya obat, sehingga menghilangkan gundukan yang ada di perut perempuan tersebut atau gerakan-gerakan yang dirasakan sebelumnya berhenti, maka pelaku tidak dianggap melakukan pidana terhadap janin, karena hukum anak tidak ada kecuali telah keluar. Gerakan berhenti bisa jadi karena angin yang ada di dalam perut berhenti. Masih ada keraguan apakah janin masih hidup atau mati. Menghukumi sesuatu yang masih diragukan tidak wajib. Ini adalah pendapat ulama fikih yang empat. Dasarnya, karena tidak ada keyakinan apakah janin masih hidup atau sudah mati[7]. Akan tetapi az-Zuhri berpendapat bahwa pelaku dijatuhi hukuman, karena kenyataannya pelaku membunuh janin.
Pendapat yang bisa diimplementasikan sekarang ini, setelah adanya kemajuan alat-alat medis adalah jika secara medis dapat diputuskan bahwa kematian janin karena tindakan pelaku, maka hukuman wajib dijatuhkan kepada pelaku. Pendapat ini tidak menyalahi sedikitpun pendapat ulama fikih yang empat, karena mereka melarang dijatuhkannya hukuman karena ragu-ragu. Jika keragu-raguan itu hilang dan bisa diputuskan maka hukuman wajib diputuskan. Pemisahan janin dari ibunya akan menjadi tanggung jawab pelaku apabila terbukti bahwa terpisahnya janin dari ibunya tersebut akibat perbuatan pelaku dan ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dan pemisahan janin.
Janin adalah semua yang digugurkan seorang perempuan dan  diketahui bahwa itu adalah seorang anak. Imam Malik berpendapat bahwa pelaku bertanggungjawab atas semua yang digugurkan perempuan dan diketahui bahwa itu adalah kehamilan, baik janin itu telah sudah sempurna, masih berupa segumpal daging, segumpal darah, dan atau darah. Asyhab, seorang ulama fikih mazhab Maliki berpendapat bahwa orang yang menggugurkan darah tidak dikenai tanggung jawab. Akan tetapi pelaku yang menggugurkan segumpal darah dan segumpal daging harus bertanggungjawab. Sementara Ibn al-Qasim, seorang ulama fikih mazhab Maliki juga berpendapat bahwa pelaku bertanggungjawab jika menggugurkan darah yang menggumpal dan ketika disiramkan kepadanya air panas tidak mencair, namun bukan darah yang menggumpal yang ketika disiramkan kepadanya air panas lalu mencair. Karena di darah tersebut tidak ada sesuatu apa pun.[8]
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pelaku bertanggungjawab atas yang digugurkan oleh perempuan dengan catatan bahwa sebagian kejadian tersebut diakibatkan pelaku. Jika perempuan itu menggugurkan segumpal daging dan tidak ada yang jelas dari kejadian tersebut, lalu orang yang dipercaya membuktikan bahwa itu permulaan kejadian manusia dan jika ada yang tinggal niscaya bisa digambarkan, maka pelaku tetap bertanggungjawab[9].
Mazhab Imam Hambali berpendapat bahwa pelaku bertanggungjawab, jika perempuan keguguran yang berupa manusia, jika perempuan keguguran yang tidak berupa manusia maka ia tidak bertanggungjawab, karena tidak ada petunjuk yang menunjukkan bahwa yang gugur itu adalah janin. Jika perempuan keguguran segumpal daging lalu orang yang dapat dipercaya membuktikan bahwa di segumpal daging itu ada rupa yang tersembunyi maka pelaku bertanggungjawab atas perbuatan pidana tersebut. Jika segumpal daging itu dapat dibuktikan bahwa itu sebagai permulaan kejadian manusia niscaya bisa digambarkan. Dalam hal ini ada dua pendapat; pertama, pelaku tidak dituntut bertanggungjawab karena belum bisa digambarkan, maka ia seperti hukun segumpal darah. Kedua, pelaku bertanggungjawab karena hal itu sudah merupakan permulaan kejadian manusia[10].
Janin bisa berpisah dari ibunya, baik dalam keadaan masih hidup atau sudah mati. Membedakan di antara dua hal ini sangat penting, karena hukuman yang dijatuhkan terhadap dua keadaan ini berbeda.
Kehidupan janin dapat dibuktikan dengan setiap sesuatu yang menunjukkan kehidupan seperti menangis, menyusui, bernafas, bersin dan lain-lain. Sementara gerakan semata tidak dianggap sebagai petunjuk kuat terhadap kehidupan, karena gerakan bisa terjadi karena akibat getaran tubuh ketika keluar dari tempat yang sempit. Karena itu, gerakan itu harus merupakan gerakan yang pasti menunjukkan kehidupan janin atau ada tanda lain yang menunjukkan kehidupan janin[11].
Mazhab Imam Hambali memberikan syarat agar janin yang dianggap berpisah dari ibunya dalam keadaan hidup, harus masih hidup, bukan dianggap saat keluar atau pada nafas yang terakhir.  Gugurnya atau berpisahnya janin tersebut dari ibunya juga harus sama dengan waktu hidupnya artinya enam bulan ke atas. Jika tidak sampai enam bulan maka janin itu dianggap gugur dalam keadaan mati, sekalipun janin itu gugur dan hidup, karena hal itu merupakan kehidupan yang tidak langgeng. Biasanya janin tidak akan hidup jika berpisah dari ibunya kurang dari enam bulan. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Muzni, sahabat Imam Syafi’i[12]
Mazhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i menganggap janin berpisah dari ibunya dalam keadaan hidup, sekalipun berpisah belum sampai enam bulan selama ketika janin itu berpisah dan hidup. Mereka tidak menganggapnya berpisah dalam keadaan mati, kecuali janin itu berpisah dan sudah dalam kedaan mati. Jika kehidupannya diketahui sebelum pemisahannya sempurna sebagaimana jika kepalanya keluar lalu berteriak beberapa kali, kemudian pemisahannya sempurna dalam keadaan mati, maka janin itu dianggap keluar dalam keadaan mati bukan dalam keadaan hidup, karena pemisahan janin telah selesai[13].
Imam Malik dan Abu Hanifah memberikan syarat supaya pelaku bertanggungjawab tentang pembunuhan janin, pemisahan itu terjadi harus pada waktu ibunya hidup. Jika janin itu berpisah setelah ibunya mati maka pelaku tidak bertanggungjawab atas terbunuhnya janin, jika janin itu berpisah dalam keadaan mati. Karena kematian ibu janin tersebut adalah faktor utama yang menyebabkan kematian janin, karena janin hidup dengan kehidupan ibunya dan janin bernafas dengan nafas ibunya, maka kematian janin terjadi karena kematian ibunya. Apalagi janin itu berada di anggota tubuh ibunya. Dengan kematian ibunya menggugurkan hukum angota tubuh ibunya. Dengan demikian sangat diragukan bahwa kematian janin akibat perbuatan pelaku. Tanggung jawab tidak dituntut dan hukuman tidak dijatuhkan dalam hal yang diragukan.
Jika janin itu berpisah dalam keadaan hidup setelah kematian ibunya, maka pelaku bertanggungjawab atas matinya janin itu dan pelaku menanggung diyat-nya jika mati akibat perbuatannya, jika tidak mati maka pelaku menanggung takzir. Jika sebagiannya berpisah dalam keadaan mati dan ibunya masih hidup kemudian berpisah semuanya setelah kematian ibunya maka hukumnya berpisah semuanya dalam keadaan mati setelah ibunya meninggal[14].
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa pelaku bertanggungjawab, baik janin itu berpisah setelah ibunya mati atau masih hidup. Baik janin itu berpisah dalam keadaan mati atau masih hidup, karena janin mati akibat perbuatan pidana pelaku. Yang demikian diketahui ketika keluarnya, maka tersangka bertanggungjawab sekalipun gugur ketika ibu janin masih hidup. Karena jika janin itu gugur dalam keadaan hidup maka pelaku menanggungnya, demikian juga halnya jika gugur dalam keadaan tidak bernyawa. Maka tidak benar hukum janin seperti hukum anggota tubuh ibunya, karena jika demikian, apabila janin itu gugur dalam keadaan mati kemudian ibunya mati niscaya pelaku tidak akan bertanggungjawab terhadap janin seperti anggota tubuh ibu janin[15].
Kami berpendapat, dengan adanya kemajuan peralatan medis, maka pendapat yang seharusnya dipedomani adalah pelaku bertanggungjawab jika sudah diyakini dengan pasti bahwa janin berpisah dari ibunya akibat perbuatan pelaku, baik janin itu berpisah pada waktu ibunya masih hidup atau setelah mati. Baik janin itu berpisah semuanya atau sebagiannya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat semua mazhab, karena yang melarang dituntutnya tanggung jawab dari pelaku hanya karena keragu-raguan dan tidak percaya. Jika keragu-raguan itu hilang dengan adanya peralatan medis modern maka pelaku wajib bertanggungjawab.

Niat Pelaku

Dalam mazhab Imam Malik, perbuatan pidana atas janin bisa disengaja dan juga bisa tidak disengaja. Dikatakan sengaja bila pelaku sengaja melakukan perbuatan itu, dan dikatakan tidak disengaja bila pelaku tidak sengaja melakukan perbuatan itu. Mazhab Imam Malik sesuai dengan pendapat yang diunggulkan dalam mazhab Imam Syafi’i[16].
Orang yang mengatakan bahwa perbuatan pidana yang disengaja berbeda dengan kewajiban hukum qishash terhadap pelaku, jika janin itu berpisah dalam keadaan hidup kemudian mati akibat perbuatan pidana. Sebagian mazhab Maliki mewajibkan hukuman qishash dan sebagian lagi mewajibkan diyat. Pendapat yang unggul di dalam mazhab Maliki mewajibkan hukuman qishash jika perbuatan itu biasanya mengakibatkan satu akibat seperti memukul punggung dan perut. Mazhab Maliki mewajibkan dijatuhkannya diyat, jika pada biasanya perbuatan itu tidak mengakibatkan satu akibat seperti memukul tangan dan kaki[17].
Pendapat yang unggul dalam mazhab Syafi’i sependapat dengan pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Hambali bahwa perbuatan pidana atas janin bukan hanya disengaja, akan tetapi ada yang menyerupai disengaja dan tidak disengaja. Yang menyerupai disengaja adalah jika pelaku melakukan perbuatannya secara sengaja dan tidak disengaja, dengan catatan pelaku salah (tidak menyengaja) melakukan perbuatannya.
Perbuatan pidana aborsi itu tidak dianggap disengaja ketika menyengaja perbuatan, karena menyengaja saja tidak dapat menggambarkan kesengajaan. Misalnya kesengajaan itu berhenti dan janin masih hidup, sebagaimana terhentinya niat untu membunuhnya[18].
Alasannya karena ada hadis yang diriwayatkan Jabir Ibn Abdullah bahwa Rasulullah SAW menjadikan perbuatan pidana hamba sahaya (ghurrah) yang memukul janin adalah ditanggung 'aqilah. ‘Aqilah menanggung perbuatan yang disengaja. Sekiranya Nabi menganggap kesengajaan pada pidana ini niscaya tidak menanggungkan ghurrah atas 'aqilah-nya.    
Terlihat betapa pentingnya perbedaan antara perbuatan yang disengaja dan tidak disengaja pada waktu pemisahan janin dalam keadaan hidup, dimana sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan pidana yang disengaja, maka pelakunya dijatuhi hukuman qishash. Sementara hukuman atas perbuatan yang tidak disengaja adalah diyat. Jika janin itu terpisah dari ibunya dalam keadaan sudah mati maka tidak ada perbedaan antara disengaja dan tidak disengaja pada jenis hukuman, karena hukuman dalam keadaan apapun saja, menurut kesepakatan para ulama adalah ditanggung ghurrah. Akan tetapi perbedaannya sangat jelas pada sifat hukuman dimana hukuman yang dijatuhkan kepada ghurrah diberatkan ketika melakukan perbuatan pidana aborsi secara sengaja dan menyerupai disengaja, namun tidak diberatkan ketika melakukan perbuatan pidana secara tidak sengaja[19]. Demikian juga perbedaan terlihat dengan jelas dalam hal siapa yang menanggung hukuman. Perbuatan pidana aborsi yang disengaja, hukumannya diambil dari harta pelaku saja, sementara dalam hal perbuatan pidana aborsi yang menyerupai disengaja dan tidak disengaja, maka hukumannya diambil dari harta pelaku atau harta 'aqilah-nya. Hal seperti ini telah kami jelaskan ketika membicarakan tentang yang menanggung diyat. 

Hukuman yang Ditetapkan atas Perbuatan Pidana terhadap Janin

Hukuman yang ditetapkan atas perbuatan pidana terhadap janin berbeda sesuai dengan dampak yang ditimbulkan perbuatan pelaku. Dampak yang ditimbulkan perbuatan pelaku meliputi lima perkara. Pertama, janin berpisah dari ibunya dalam keadaan mati. Kedua, janin berpisah dari ibunya dalam keadaan hidup kemudian mati karena sebab perbuatan pelaku. Ketiga, janin berpisah dari ibunya dalam keadaan hidup kemudian mati atau hidup karena faktor selain perbuatan pelaku. Keempat, janin tidak berpisah dari ibunya atau berpisah setelah ibunya mati. Kelima, akibat perbuatan pelaku menyakiti ibu janin atau melukainya dengan luka yang bisa sembuh atau yang menyebabkan kematian. Kami akan membicarakannya satu persatu dampak-dampak ini serta hukuman-hukuman yang telah ditetapkan.

Janin Berpisah dari Ibunya dalam Keadaan Mati

Jika janin berpisah dari ibunya dalam keadaan mati, maka hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku adalah diyat janin. Diyat janin adalah budak laki-laki atau budak perempuan, dimana harganya setara dengan lima ekor unta.
Dasarnya adalah Hadis yang diriwayatkan Umar r.a. bahwa ia mengadakan musyawarah dengan para sahabat mengenai wanita yang melahirkan dalam keadaan mati, lalu al-Mughirah Ibn Syu'bah berkata, “Saya melihat Nabi SAW menjatuhkan hukuman padanya dengan ghurrah budak laki-laki dan budak perempuan.” Lalu Umar r.a. berkata, “Engkau harus mendatangkan orang yang sama-sama menyaksikan bersamamu.” Lalu Muhammad Ibn Muslimah bersaksi atas perkataan Mughirah. Abu Hurairah r.a. berkata, “Ada dua orang perempuan dari suku Hudzail yang saling membunuh dimana salah satu diantara keduanya melempar yang lain dengan batu, dan mati. Kemudian mereka membawa masalah ini kepada Rasulullah SAW., kemudian rasul menjatuhkan hukuman diyat atas janinnya, yaitu seorang budak laki-laki atau budak perempuan. Lalu Umar menghukum dengan diyat perempuan atas 'aqilah-nya dan anaknya mewarisinya dan orang yang bersama mereka[20].
Ghurrah ­menurut etimologi adalah pilihan anatara budak laki-laki dan budak perempuan. Dinamakan ghurrah karena keduanya merupakan harta yang paling berharga. Para ulama fikih menetapkan syarat-syarat khusus pada budak laki-laki dan budak perempuan. Kami tidak perlu lagi menjelaskannya lagi setelah perhambaan dihapuskan dari dunia ini dan setelah para ulama fikih sepakat menentukan ghurrah dengan lima ekor unta.
Ghurrah diwajibkan atas janin laki-laki dan janin perempuan. Tidak ada perbedaan nilai yang setara dengan keduanya. Para ulama fikih menentukan diyat janin laki-laki seperlima dari diyat penuh. Sementara diyat janin perempuan sepersepuluh dari diyat ibu. Bila diyat perempuan setengah dari diyat laki-laki maka hasilnya bahwa diyat janin perempuan sama dengan seperlima diyat penuh[21].
Ghurrah diwajibkan dalam hal keadaan yang disengaja dan tidak disengaja. Tidak ada perbedaan d iantara dua keadaan ini, kecuali diyat janin diperberat jika disengaja dan diperringan jika tidak disengaja[22]. Diyat janin dibebankan kepada harta pelaku yang melakukan perbuatannya dengan sengaja, semenatara 'aqilah-nya tidak menanggung apa-apa. Sementara dalam hal perbuatan yang tidak disengaja dan yang menyerupai disengaja, maka 'aqilah menanggung diyat tersendiri atau bersama pelaku. Ragam pendapat ulama tentang hal ini telah kami jelaskan ketika membicarakan diyat pembunuhan.
Ghurrah mewarisi janin menurut ketetapan Allah, dimana dalam mazhab Imam Malik ada pendapat yang diunggulkan bahwa warisan itu bagi ibunya bukan bagi orang lain. Hal ini dikemukakan oleh Laits. Sebagaimana disepakati bahwa pembunuh tidak mewarisi apapun dari Ghurrah karena tidak ada warisan bagi pembunuh[23].
Banyaknya ghurrah menurut banyaknya janin, jika wanita keguguran dua janin yang hidup maka pelaku dituntut membayar dua ghurrah. Jika wanita keguguran tiga janin yang hidup maka pelaku dituntut membayar tiga ghurrah, begitulah seterusnya[24].
Jika ibunya mati setelah ghurrah diwajibkan maka ghurrah tidak masuk pada diyat ibu akan tetapi ghurrah diwajibkan atas janin dan diyat bagi ibunya[25].

Janin Berpisah dari Ibunya dalam Keadaan Hidup Kemudian Mati Akibat Perbuatan Pelaku

Jika janin berpisah dari ibunya dalam keadaan hidup kemudian mati perbuatan pelaku, maka hukuman yang wajib dijatuhkan adalah qishash. Hal ini menurut orang  yang berpendapat bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang disengaja. Sementara yang lain mengatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku adalah diyat, walau perbuatan tersebut dianggap disengaja. Juga dijatuhi hukuman diyat, jika perbuatan dianggap menyerupai disengaja dan demikian juga dengan yang tidak disengaja. Yang terakhir ini merupakan kesepakatan para fuqaha. Perbedan antara yang disengaja, menyerupai disengaja, dan tidak disengaja bukan pada jumlah unta, akan tetapi pada sifat-sifatnya atau perbedaan antara pemberatan dan keringanan. Sebagaimana bahwa diyat perbuatan aborsi yang disengaja adalah dibebankan pada harta pelaku dan harus dibayar dengan segera. Sementara diyat perbuatan pidana aborsi yang menyerupai disengaja dan tidak disengaja tidak disyaratkan agar dibayar dengan segera dan yang menanggung adalah 'aqilah secara sendiri atau bersama pelaku. Pendapat ulama dalam hal ini berbeda-beda.
Diyat penuh atas janin, ukurannya berbeda tergantung jenis janin. Diyat janin laki-laki seperti diyat laki-laki dan diyat janin perempuan seperti diyat perempuan, yaitu setengah dari diyat laki-laki.
Banyaknya diyat menurut banyaknya janin. Jika perempuan keguguran dua janin laki-laki atau tiga janin laki-laki maka diyat yang dijatuhkan kepada pelaku adalah tiga diyat sempurna.
Jika ibunya mati akibat perbuatan pidana aborsi, maka diyat janin tidak masuk pada diyat ibunya. Demikian juga diyat ibunya tidak masuk pada diyat janin sekalipun banyak.

Janin Berpisah Dari Ibunya dalam Keadaan Hidup Kemudian Mati atau Hidup karena Faktor Selain Perbuatan Pelaku

Jika janin berpisah dari ibunya dalam keadaan hidup kemudian mati atau hidup akibat faktor lain selain perbuatan pidana pelaku, seperti dibunuh oleh orang lain atau ibunya tidak mau menyusuinya sehingga mati, maka hukuman pidana atas janin adalah takzir saja, karena kematian janin terjadi akibat perbuatan orang lain. Sementara hukuman membunuh janin setelah berpisah dari ibunya adalah hukuman pembunuhan biasa, karena kriminal itu hanyalah melenyapkan nyawa seorang manusia yang hidup.
Hukuman takzir yang dijatuhkan atas pelaku ditentukan oleh hakim berdasarkan hukuman-hukuman takzir yang ada dengan catatan pemerintah tidak menentukan hukumannya dan ukurannya.

Janin tidak Berpisah dari Ibunya atau Berpisah Setelah Ibunya Mati

Jika perbuatan pidana itu tidak mengakibatkan pemisahan janin atau ibunya mati sebelum janin berpisah atau janin berpisah setelah ibunya mati, maka hukuman dalam semua keadaan ini adalah hukuman takzir, dengan catatan tidak ada fakta yang menunjukkan dengan pasti bahwa perbuatan pidana itu mengakibatkan kematian janin atau terpisahnya janin dan kematian ibunya tidak ikut campur bagi janin dalam masalah itu.

Akibat Perbuatan Pelaku Menyakiti Ibu Janin atau Melukainya dengan Luka yang Bisa Sembuh atau Menyebabkan Kematian

Jika ternyata akibat perbuatan pidana aborsi pelaku menyakiti ibu janin, melukainya, memotong satu anggota tubuhnya, dan atau mematikannya maka pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan-perbuatannya tersebut tanpa memandang hukuman-hukuman yang sudah ditetapkan terhadap pidana janin. Karena hukuman terhadap pidana janin khusus dengan janin dan bukan khusus terhadap terhadap pidana melukai ibunya. Jika seorang laki-laki memberikan obat kepada seorang perempuan dengan maksud menggugurkan kandungannya lalu perempuan itu mati setelah anaknya terpisah dalam keadaan mati maka pelaku dijatuhi hukuman diyat perempuan dengan memandang bahwa ia telah membunuhnya dengan pembununan yang menyerupai disengaja dan pelaku juga dijatuhi hukuman dengan ghurrah diyat janin. Jika perempuan itu mati akibat perbuatan setelah anaknya terpisah dalam keadaan hidup maka pelaku dijatuhi hukuman dengan dua diyat; diyat perempuan dan diyat janin.
Jika seseorang memukul perempuan menggunakan pedang dengan maksud membunuhnya dan mengenai perutnya lalu gugur darinya dua janin, dimana satu di antaranya kena pukulan pedang dan keluar dalam keadaan mati dan yang satu lagi keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, kemudian perempuan itu juga mati, maka pelaku dijatuhi hukuman qishash karena membunuh perempuan, diyat penuh karena janin yang keluar dalam keadaan hidup, dan ghurrah karena janin yang keluar dalam keadaan mati.
Jika seseorang memukul perempuan dan mengenai lengannya lalu keguguran dimana anaknya keluar dalam keadaan mati, maka pelaku dijatuhi hukuman qishash karena perbuatannya yang dilakukan kepada perempuan tersebut dan pelaku juga dijatuhi hukuman dengan hukuman ghurrah sebagai diyat janin.
Jika pelaku memukulnya dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas lalu perempuan itu keguguran dan janinnya berpisah darinya dalam keadaan mati, maka pelaku dijatuhi hukuman takzir karena memukul perempuan itu dan daijatuhi hukuman ghurrah sebagai diyat janin.

Kifarat

Masih ada hukuman lain terhadap pidana janin yaitu kifarat.[26] Pelaku dihukum dengan kifarat bilamana seorang ibu menggugurkan janinnya baik dalam keadaan hidup atau mati, baik pelakunya ibu atau orang lain. Jika ibu menggugurkan bebepara janin maka pada setiap janin ada kifarat, ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad[27].
Jika orang banyak ikut serta dalam perbuatan pidana, lalu perempuan itu keguguran maka hukuman diyat yang dijatuhkan kepada mereka dibagi-bagi dan mereka juga dijatuhi hukuman kifarat.
Menurut Imam Malik kifarat sunah dijatuhkan atas pidana janin bukan wajib.[28]
Sementara Imam Abu Hanifah membedakan antara pemisahan janin dalam keadaan mati dan dalam keadaan hidup. Imam Ahmad mewajibkan agar kifarat dijatuhkan pada keadaan kedua dan tidak mewajibkannya pada keadaan pertama[29].

Penetapan Pidana Jiwa, non Jiwa, dan Janin

Para ulama fikih tidak sependapat dalam menentukan dalil-dalil yang menetapkan pidana atas jiwa, non jiwa dan janin. Menurut pendapat jumhur ulama fikih, perbuatan pidana ini tidak bisa ditetapkan kecuali dengan tiga cara; (1) Ikrar/Pengakuan (2) kesaksian dan (3) sumpah. Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa bisa juga ditetapkan dengan cara mengaitkan keadaan. Dengan ini, maka cara menetapkan pidana ini ada empat cara. (1) Ikrar/Pengakuan (2) Kesaksian (3) Sumpah (4) Keterkaitan antara keadaan. Kami akan membicarakan cara-cara ini satu persatu.



[1] Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 89. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 517. Syarh az-Zurqânî vol. 8, hlm. 33. al-Iqnâ' vol. 4, hlm. 209.
[2] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 516-519.
[3] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 5, hlm. 31. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 516. Nihâyah al-Muhtâj vol. 7, hlm. 360. al-Mughnî hlm. 9, hlm. 552-557. al-Iqnâ' vol. 3, hlm. 209.
[4] Al-Mughnî vol. 9, hlm. 579.
[5] Nihâyah al-Muhtâj vol. 7, hlm. 360. Syarh az-Zurqânî vol. 8, hlm. 31.
[6] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8, hlm. 31.
[7] Al-Mughnî vol. 9, hlm. 538. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 89. Syarh az-Zurqânî vol. 8, hlm. 33. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 517.
[8] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8, hlm. 31. Bidâyah al-Mujtahid vol. 2, hlm. 348.
[9] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 519. Nihâyah al-Muhtâj vol. 7, hlm. 362.
[10] Al-Mughnî vol. 9, hlm. 539.
[11] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8, hlm. 33. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 89. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 537.
[12] Al-Mughnî vol. 9, hlm. 550-552.
[13] Nihâyah al-Muhtâj vol. 7, hlm. 361.

[14] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8. hlm. 33. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 518.
[15] Al-Mughni vol. 9, hlm. 538. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 90.
[16] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8. hlm. 33. Bidâyah al-Mujtahid vol. 2, hlm. 348. Nihâyah al-Muhtâj vol. 7, hlm. 363.
[17] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8. hlm. 33.
[18] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 619. al-Bahr ar-Râ`iq vol. 8, hlm. 389-390. al-Mughnî vol. 9, hlm. 544. Nihâyah al-Muhtâj vol. 7, hlm. 363.
[19] Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 94.
[20] Al-Mughnî vol. 9, hlm. 535.
[21] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8. hlm. 32. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 517. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 94. Al-Mughnî vol. 9, hlm. 541.
 
[22] Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 94.
[23] Al-Mughnî vol. 9, hlm. 542. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 93. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 518. Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8. hlm. 33. Bidâyah al-Mujtahid vol. 2, hlm. 348.
[24] Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 90. Al-Mughnî vol. 9, hlm. 543. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 517. Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8. hlm. 33.
[25] Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 90. Al-Mughnî vol. 9, hlm. 543. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 517. Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8. hlm. 33.

[26] Lihat kembali tentang penjelasan kifarat.
[27] Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 95. al-Mughnî vol. 9, hlm. 556 dan halaman berikutnya.
[28] Syarh az-Zurqânî Wa Hâsyiah asy-Syîbânî  vol. 8. hlm. 49.

[29] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 518-519.

Comments

Populer Post

PEMBAHARUAN WARISAN HUKUM BELANDA DI INDONESIA

WARISAN HUKUM BELANDA Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa ( octrooi ) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.

Konsep Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Positif

Perbandingan Hukum sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya relatif masih muda, karena baru tumbuh secara pesat pada akhir abad XIX atau awal abad XX. Perbandingan adalah salah satu sumber pengetahuan yang sangat penting. Perbandingan dapat dikatakan sebagai suatu teknik, disiplin, pelaksanaan dan metode di mana nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan dan aktivitasnya dikenal dan dievaluasi. Pentingnya perbandingan telah mendapatkan penghargaan di setiap bagian oleh siapapun dalam bidang studi dan penelitian. Nilai penting tersebut direfleksikan pada pekerjaan dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para ahli ilmu pengetahuan, ahli sejarah, ahli ekonomi, para politisi, ahli hukum dan mereka yang terkait dengan kegiatan penyelidikan dan penelitian. Apapun gagasan, ide, prinsip dan teorinya, kesemuanya dapat diformulasikan dan dapat dikatakan sebagai hasil dari metode studi perbandingan. 

PENGHAPUSAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA

PENGHAPUSAN DAN PENGHILANGAN PERBUATAN PIDANA (Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP) Terdapat keadaan-keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana, kehilangan sifat tindak pidana, sehingga si pelaku bebas dari hukuman pidana. Pembahasan ini dalam KUHP diatur dalam title III dari buku I KUHP, yaitu pasal 44 – 51. akan tetapi dalam praktek hal ini tidak mudah, banyak kesulitan dalam mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini. Dalam teori hokum pidana alas an-alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi 3 : 1. Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1).

Sejarah Awal Pembentukan Hukum di Indonesia (Seri Kuliah)

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia paling tidak diawali pada masa pergerakan nasional yang diinisiasi oleh Budi Utomo pada tahun 1908, kemudian Serikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada masa menuju kemerdekaan inilah segenap komponen bangsa bersatu padu demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali Santri, maka sudah tepat pada tanggal 22 Oktober nanti diperingati hari santri. Kaum santri bukan hanya belajar mengaji akan tetapi juga mengangkat senjata demi mewujudkan kemerdekaan NKRI. Dengan diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti : -           menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; -           sejak saat itu berarti bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum) untuk menetapkan tata hukum Indonesia. Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang menetapkan