Hukum
merupakan tatanan kehidupan yang bertujuan menciptakan keadilan dan ketertiban
masyarakat. Oleh karena itu setiap hukum yang dibuat senantiasa harus
merefleksikan kehendak masyarakat agar dapat memenuhi rasa keadilan. Hukum yang
dibuat pada masa lalu seringkali dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat saat ini disebabkan berubahnya kondisi sosial masyarakat sehingga
perlu dilakukan perubahan. Dalam melakukan perubahan terhadap sebuah tatanan
seringkali mengalami berbagai benturan yang memaksa terjadinya tawar menawar
antara pihak yang menghendaki perubahan dengan pihak yang mempertahankan
kemapanan.
Akibatnya, perubahan yang dilakukan seringkali tidak bisa memperoleh
hasil yang maksimal. Kondisi seperti itu dialami dalam penyusunan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) khususnya tentang ahli waris pengganti sehingga ditemukan
beberapa pengaturan yang kurang jelas yang dapat menimbulkan penafsiran yang
berbeda. Di antara sumber perdebatan yang terjadi antara lain tentang:
- Apakah
penggantian ahli waris bersifat tentatif atau imperatif.
- Apakah
ahli waris pengganti hanya berlaku bagi ahli waris garis ke bawah atau juga
berlaku bagi ahli waris garis menyamping.
- Apakah
ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak, atau
secara relatif.
B.
PENGERTIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM BEBERAPA SISTEM HUKUM
Ahli
waris pengganti pada umumnya diberi makna, orang yang tampil sebagai ahli waris
karena menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu
dari pewaris, tanpa membedakan apakah orang yang meninggal itu laki-laki atau
perempaun.
Mengenai
istilah ahli waris pengganti, Raihan A. Rasyid1 membedakan antara orang yang
disebut “ahli waris pengganti” dan “pengganti ahli waris”. Menurutnya, ahli
waris pengganti adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena
keadaan tertentu ia menjadi ahli waris dan menerima warisan dalam status
sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak meninggalkan anak tetapi
meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. Sedangkan
pengganti ahli waris adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi
karena keadaan tertentu dan pertimbangan tertentu mungkin menerima warisan namun
tetap dalam status bukan sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris meninggalkan
anak bersama cucu baik laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya meninggal
lebih dahulu daripada pewaris. Keberadaan cucu disini sebagai pengganti ahli
waris.
1 Mimbar
Hukum No.23, Tahun VI, 1995, h.54
Apa
yang disebut dengan plaatsvervulling dalam KUHPerdata, dan apa yang
disebut wasiat wajibah dalam undang-undang Mesir serta apa yang diatur pasal
185 KHI oleh Raihan A.Rasyid dinamakan pengganti ahli waris, bukan ahli waris
pengganti. Terlepas dari sebutan mana yang tepat, yang pasti dalam KHI
digunakan sebutan ahli waris pengganti dan dalam tulisan ini digunakan sebutan
ahli waris pengganti.
1.
Ahli Waris Pengganti Menurut Al
Qur’an
Mengenai ahli waris pengganti Al qur’an mengaturnya
dalam Surat An Nisa’ yang berbunyi :
Artinya : “Bagi
setiap individu, kami tetapkan sebagai ahli waris dari apa yang ditinggalkan
oleh Ibu-Bapak dan karib-kerabat. Dan berikanlah kepada orang-orang yang telah
diikat oleh sumpahmu bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah maha menyaksikan
terhadap segala sesuatu.”
Sehubungan dengan firman Allah “ bagi setiap
individu, kami tetapkan sebagai ahli waris, “Ibnu abbas dan sekelompok tabi’in
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mawaliya ialah “ahli waris”. Maksud ayat,
wahai manusia, bagi setiap kamu Kami jadikan sebagai suatu kelompok yang
mewarisi pusaka yang ditinggalkan oleh Ibu-bapak dan karib-kerabatnya. Firman
Allah ta’ala, “Dan berikanlah kepada orang-orang yang telah diikat sumpahmu
bagian mereka”. Yakni, berikanlah kepada orang-orang yang telah dikuatkan oleh
sumpahmu bagaian pusaka mereka sebagaimana yang telah kamu janjikan dalam
sumpah yang kuat. Hal ini terjadi pada permulaan Islam. Kemudian hukum ini
dinasakh.[1]
Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas (702), “Dan
bagi setiap individu, Kami jadikan ahli waris.” Mawaliya berarti ahli waris.
“Dan terhadap orang-orang yang sumpahmu telah mengikat” Maksudnya, ketika kaum
Muhajirin tiba di Madinah, maka seorang Muhajir mewarisi pusaka orang anshor sedangkan
kerabatnya tidak mendapat bagian, melalui persaudaraan yang diciptakan oleh
Rasulullah Saw di antara mereka.
2.
Ahli Waris Pengganti Menurut
Hazairin
Menurut
hukum kewarisan bilateral terdapat tiga prinsip kewarisan, yaitu: pertama, ahli
waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan
yang lebih rendah. Selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka
datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab.
Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis
perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham
tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti (mawali) selalu
mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat
mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada
kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh
orang tuanya (seandainya masih hidup). Keberadaan mawali ini merupakan konsep
yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris) dan lebih mencerminkan
keadilan.
Konsep
ahli waris pengganti menurut Hazairin[2] merupakan hasil
pemikirannya dalam menafsirkan kata mawali yang ada dalam al-Qur’an
surah an-Nisa’ ayat 33 : “Wa likullin ja’alna mawalia mimma tarakal walidani
wal aqrabun, wal lazina aqadat aimanukum fa atuhum nashibahum“. Terjemahan
menurutnya, “Dan untuk setiap orang itu Aku Allah telah mengadakan mawali bagi
harta peninggalan ayah dan mak dan bagi harta peninggalan keluarga dekat,
demikian juga harta peninggalan bagi tolan seperjanjianmu, karena itu
berikanlah bagian-bagian kewarisannya”.
2 3 Ibid.h.27-44
Tolan
menurut penafsiran Hazairin[3] adalah orang yang tidak
mempunyai keluarga lagi yang telah mengikat janjii untuk meninggalkan sebagian
atau semua harta peninggalan sesudah matinya kepada seseorang yang diwajibkan
mengurus kematiannya dan menyelesaikan hutang-hutangnya serta memelihara di
hari tuanya. Perjanjian pertolanan semacam ini ditemukan pada masyarakat
Minahasa yang disebut ngaranan atau di Bali yang disebut makehidang
raga. Lebih lanjut Hazirin mengemukakan bahwa perjanjian pertolanan harus
dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai keluarga, namun jika ternyata
mempunyai keluarga, maka perjanjian pertolanan ini tidak boleh melebihi
ketentuan wasiat yakni sepertiga harta peninggalan.
Ada
dua syarat yang harus dipenuhi mawali tampil sebagai ahli waris, yaitu: 1)
orang yang menghubungkan antara mawali dengan pewaris harus telah meninggal
lebih dahulu, dan 2) antara mawali dengan pewaris terdapat hubungan darah.
Dengan adanya syarat hubungan darah ini, maka bagi janda dan duda tidak
mempunyai mawali. Mawali-mawali tersebut meliputi:
a. Mawali
untuk anak, baik laki-laki maupun perempuan
b. Mawali
untuk saudara, baik laki-laki maupun perempuan
c. Mawali
untuk ibu, dan
d. Mawali
untuk ayah
3. Ahli
Waris Pengganti Menurut KUHPerdata
Dalam
KUHPerdata dikenal tiga macam penggantian (representatie) yaitu:
penggantian dalam garis lurus ke bawah tiada batas, penggantian dalam garis ke
samping dan penggantian dalam garis ke samping menyimpang.[4] Ahli waris pengganti dalam
KUHPerdata menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak. Artinya, segala hak
dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan dengan warisan beralih kepadanya.
a.
Penggantian Dalam Garis Lurus ke Bawah.
Setiap
anak yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya, demikian
pula jika di antara pengganti-penggantinya itu ada yang meninggal lebih dahulu
lagi, maka ia digantikan oleh anak-anaknya, begitu seterusnya, dengan ketentuan
bahwa semua keturunan dari satu orang yang meninggal lebih dahulu tersebut
harus dipandang sebagai suatu cabang (staak) dan bersama-sama memperoleh
bagiannya orang yang mereka gantikan.
Seseorang
yang karena suatu sebab telah dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris (onwaardig),
atau orang yang menolak warisan (onterfd), maka anak-anaknya tidak dapat
menggantikan kedudukannya karena ia sendiri masih hidup.
Apabila
tidak ada anak selain dari yang dinyatakan tidak patut menerima warisan, atau
menolak warisan, maka anak-anaknya dapat tampil sebagai ahli waris, tetapi
bukan karena menggantikan kedudukan orang tuanya (plaatsvervulling)
melainkan karena kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde).[5]
b.
Penggantian Dalam Garis ke Samping.
Apabila
saudara baik saudara kandung maupun saudara tiri pewaris meninggal lebih
dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya. Jika anak-anak saudara
telah meninggal maka digantikan keturunanya, begitu seterusnya.
c.
Penggantian Dalam Garis ke Samping Menyimpang.
Dalam
hal yang tampil sebagai ahli waris itu dari angota-anggota keluarga yang lebih
jauh tingkat perhubungannya daripada saudara, misalnya paman atau keponakan,
dan mereka ini meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh
keturunannya sampai derajat keenam.
4. Ahli
Waris Pengganti Menurut KHI
Seperti
telah dikemukakan terdahulu, bahwa dalam KHI memperkenalkan ahli waris baru
yang selama ini tidak dikenal dalam fiqh salafi yaitu ahli waris pengganti.
Dalam pasal 185 ayat (1) disebutkan : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu
dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam pasal 173. Dalam ayat (2) nya disebutkan: “Bagian
bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti”. Terhadap ahli waris pengganti dalam KHI ini
akan dibicarakan secara luas sebagaimana pembahasan berikut.
Dari
rumusan bunyi pasal 185 yang mengatur tentang ahli waris pengganti timbul
beberapa permasalahan yang mengundang silang pendapat, antara lain mengenai:
a. Apakah
penggantian ahli waris bersifat tentatif atau imperatif.
b. Apakah
jangkaun garis hukum penggantian ahli waris hanya berlaku untuk ahli waris
garis lurus ke bawah atau juga berlaku untuk ahli waris garis menyamping.
c. Apakah
ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak atau secara
relatif.
C.
ANALISIS DAN PEMECAHANNYA
a.
Sifat Penggantian Ahli Waris.
Rumusan
pasal 185 ayat (1) yang menggunakan kalimat “dapat digantikan”
memunculkan ketidakpastian tampilnya ahli waris pengganti. Kata “dapat”
mengandung pengertian yang bersifat fakultatif atau tentatif sehingga
bisa ditafsirkan ada ahli waris yang mungkin dapat digantikan dan ada yang mungkin
tidak dapat digantikan.[6]
Terhadap
sifat tentatif-nya pasal 185 ini menurut Raihan A.Rasyid[7] jesteru merupakan
pengaturan yang tepat sekali, sebab tujuan dimasukkannya penggatian ahli waris
dalam KHI karena melihat kenyataan dalam beberapa kasus, adanya rasa kasihan
terhadap cucu pewaris. Artinya penerapan ketentuan penggantian ahli waris ini
bersifat kasuistis, sehingga fungsi hakim sangat menentukan dalam menetapkan
dapat digantikan atau tidak dapat digantikannya ahli waris.
Pendapat
Raihan ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh sistem kewarisan Jumhur yang
cenderung berbentuk patrilineal sehingga penggantian waris ini semata-mata
dipandang sebagai jalan keluar atas rasa belas kasihan kepada cucu yang
ditinggal mati orang tuanya lebih dahulu dari pewaris, bukan didasarkan atas
statusnya sebagai anggota kerabat.
Pendapat
Raihan ini mendapat kritik dari Ahmad Zahari[8] yang mengatakan bahwa
pendapat seperti itu sebagai bentuk diskriminatif dan tidak adil. Selain itu
jika penentuan penggantian ahli waris digantungkan kepada pertimbangan hakim,
maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sifat tentatifnya pasal 185 menurut
Ahmad Zahari, harus dimaknai bukan digantungkan kepada pertimbangan hakim,
melainkan digantungkan kepada kehendak ahli waris pengganti, apakah ia akan
menempatkan posisi yang telah disediakan atau tidak.
Lebih
lanjut Raihan mengemukakan bahwa lahirnya KHI dilatarbelakangi oleh suatu
kenyataan dalam beberapa kasus adanya rasa kasihan terhadap cucu atau cucu-cucu
yang masih kecil yang ditinggal mati orang tuanya hanya selang beberapa waktu
dengan meninggalnya pewaris (nenek atau kakek). Alasan ini menurut Raihan
sangat logis, apalagi jika kondisi ekonominya memprihatinkan. Oleh karena itu
pemberian hak kepada ahli waris pengganti merupakan kebijakan yang sangat baik
dan sejalan dengan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Menurutnya,
pemberian hak kepada ahli waris pengganti ini merupakan penggambaran atas
fenomena ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, sehingga sepantasnya apabila
cucu diberikan bagian dari harta warisan kakek atau neneknya.
Pandangan
Raihan di atas ada benarnya, namun kiranya tidak tepat jika pemberian hak
kewarisan kepada ahli waris pegganti semata-mata didasarkan atas rasa belas
kasihan karena faktor ekonomi. Jika pemberian hak mewaris itu didasarkan oleh
faktor ekonomi tentu al-Qur’an membatasi pemberian hak kewarisan hanya kepada
ahli waris yang ekonominya lemah, sedangkan ahli waris yang ekonominya kuat
tidak perlu diberikan hak, namaun pada kenyataannya al-Qur’an menetapkan tidak
demikian. Al-Qur’an dalam menetapkan hak kewarisan tidak hanya terbatas kepada
ahli waris yang miskin saja, melainkan juga kepada ahli waris yang kaya.
Meskipun orang tua pewaris kaya raya, sementara anak-anak pewaris sangat
miskin, al-Qur’an telah menetapkan hak bagi orang tua pewaris. Demikian juga
sebaliknya, meskipun anak-anak pewaris kaya raya sedangkan orang tuanya sangat
miskin, Al-Quran tetap memberikan hak kepada anak-anak pewaris. Ini membuktikan
bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan pemberian hak kewarisan kepada seseorang bukan
digantungkan kepada kondisi ekonomi, melainkan didasarkan kepada kedudukannya
sebagai anggota kerabat. Adapun faktor ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh
Raihan, hal itu hanyalah menjadi penguat perlunya memberikan hak kepada ahli
waris pengganti. Persoalan lain akibat sifat tentaifnya aturan ahli waris
pengganti adalah dapat menimbulkan ketidakkonstannya kedudukan ahli waris
pengganti ketika mempunyai dua kedudukan.
Cucu
laki-laki dari anak laki-laki yang ditinggal mati ayahnya bisa mempunyai dua
kedudukan sekaligus yaitu sebagai ahli waris ashabah dan sebagai ahli waris
pengganti. Apabila cucu tersebut diberikan kebebasan untuk memilih, sudah tentu
akan memilih kedudukan yang lebih menguntungkan. Sebagai contoh misalnya,
seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki mewarisi bersama delapan orang anak
perempuan. Jika cucu menempati kedudukan ahli waris pengganti dan diberikan
kedudukan sama seperti anak laki-laki, maka bagian yang diterima 2/10 (asal
masalah 2+8=10), sedangkan jika diberi bagian tidak boleh melebihi bagian
bibinya, maka bagian yang diterima akan lebih kecil yakni paling banyak 1/9
(asal masalah 1+8=9).
Bagian
cucu akan menjadi lebih besar apabila cucu menempati kedudukaannya selaku
ashabah yaitu mendapat bagian 1/3, sedang yang 2/3 untuk delapan anak perempuan
selaku zawil furudl. Apabila cucu diberikan kebebasan untuk memilih
sudah barang tentu cucu akan memilih menempati kedudukannya sebagai ashabah.
Kebolehan untuk memilih seperti ini tentu dirasa tidak adil oleh anak
perempuan, sebab kalau saja saudaranya (anak laki-laki pewaris) tidak meninggal
lebih dahulu, maka mereka bersama-sama menduduki kedudukan ashabah bil ghair
sehingga bagian anak laki-laki hanya 2/10 dan anak perempuan 1/10.
Menempatkan cucu sebagai ashabah dengan menerima bagian 1/3 tentu dirasa tidak
adil, sebab bagian yang diterima jauh lebih besar dari bagian ayahnya jika
masih hidup yakni 2/10. Oleh karena itu hak opsi yang dikemukakan oleh Ahmad
Zahari bahwa ahli waris pengganti boleh memilih antara menempatkan atau tidak
menempatkan dirinya sebagai ahli waris pengganti dapat menimbulkan
ketidakadilan di samping mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum.
Adanya
opsi dalam satu tatanan hukum akan menghilangkan sifat keuniversalan sebuah
aturan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam membuat suatu aturan harus
selalu diupayakan dapat diberlakukan secara konstan dalam kondisi dan situasi
papun untuk mewujudkan kepastian hukum. Satu-satunya cara untuk mengatasi
problem tentang kedudukan ahli waris pengganti ini adalah dengan memberlakukan
penggantian ahli waris secara imperatif yakni setiap ahli waris yang meninggal
lebih dahulu daripada pewaris harus digantikan oleh anak-anaknya. Mereka tidak
diberi peluang untuk memilih kedudukan mana yang menguntungkan, sebab jika
diberikan peluang untuk itu, maka pasti akan ada ahli waris lain yang
dirugikan.
Adapun
cara yang ditempuh untuk merubah sifat tentatifnya pasal 185 ayat (1) adalah
dengan menghilangkan kata “dapat“ sehingga berbunyi: Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris kedudukannya digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173”. Dengan merubah bunyi
pasal tersebut, maka tidak ada lagi opsi untuk memilih bagian yang
menguntungkan dan tidak ada lagi penentuan ahli waris pengganti digantungkan
kepada pertimbangan hakim. Dengan demikian, maka sifat diskrimainatif,
ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dapat teratasi. Sebelum dilakukannya
perubahan atas bunyi pasal 185 KHI, kiranya Mahkamah Agung dapat mengeluarkan
peraturan mengenai petunjuk penerapan pasal 185 ayat (1) dengan
memberlakukannya secara imperatif.
b.
Jangkauan Garis Hukum Penggantian Ahli Waris.
Permasalahan
lain berkaitan dengan ahli waris pengganti adalah apakah penggantian ahli waris
hanya berlaku bagi ahli waris garis lurus ke bawah atau juga berlaku untuk ahli
waris garis menyamping.
Terhadap
masalah ini, penggantian ahli waris hanya diberlakukan dalam garis lurus ke
bawah, itupun jika ahli warisnya hanya antara anak dan cucu. Raihan
menambahkan, pemberlakuan yang lebih luas ke garis menyamping dapat
diberlakukan dengan syarat mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang akan
berkurang bagiannya.
Pendapat
berbeda dikemukakan oleh Idris Djakfar dan Taufiq Yahya. Menurut mereka,
jangkauan penggantian ahli waris meliputi seluruh garis hukum, baik garis ke
bawah maupun menyamping.
Sebagaimana
telah dimaklumi bahwa sistem kewarisan KHI berbetuk bilateral, maka sebagai
konsekuensinya tidak ada pembedaan kedudukan antara laiki-laki dan perempuan
sampai garis hukum manapun. Oleh karena itu jika KHI konsisten menghapuskan
diskriminasi tersebut, maka mau tidak mau jangkauan penggantian ahli waris ini
harus meliputi seluruh garis hukum. Apabila KHI memandang adanya ketidak-adilan
yang dirasakan oleh cucu dari anak perempuan yang menurut Jumhur tidak
mendapat bagian karena berstatus zawil arham, atau oleh cucu perempuan
dari anak laki-laki karena terhijab oleh anak laki-laki, tentunya KHI juga
harus memandang adanya ketidakadilan terhadap sepupu (anak perempuan paman)
yang tidak dapat menerima bagian akibat adanya anak laki-laki paman. Mereka
merupakan orang-orang yang sama-sama tidak bernasib baik dilahirkan sebagai
perempuan. Mengenai jangkauan keberlakuan penggantian ahli waris ini,
sebenarnya telah terakomodir dalam bunyi pasal 185 ayat (1) yang menyatakan:
Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya. Apabila dicermati bunyi pasal tersebut, polemik
tentang hal ini tidak perlu terjadi karena secara harfiah sudah memberikan
makna bahwa jangkauan penggantian ahli waris itu meliputi seluruh garis hukum
baik ke bawah maupun menyamping.
Pemahaman
demikian, dapat diperoleh dengan menyimak dua kata kunci yang ada pada pasal
tersebut yaitu kata “ahli waris” dan kata “anaknya”. Dari segi bahasa kata ahli
waris merupakan lafal “nakirah“ yang mencakup seluruh ahli waris tidak
terbatas kepada ahli waris tertentu. Dengan demikian, maka kata anaknya memberi
pengerian anak dari semua ahli waris baik dari garis ke bawah maupun
menyamping.
Apabila
dalam suatu ketentuan hukum tidak ditemukan adanya pembatasan atas keumumannya,
maka keumuman itu yang diberlakukan. Dengan berpedoman kepada keumuman lafal
tersebut, maka cucu, maupun sepupu meskipun sampai jauh mereka dapat menjadi
ahli waris pengganti. Kesimpulan ini didukung oleh tidak dikenalnya zawil
arham dalam KHI. Dengan tidak dikenalnya zawil arham memberi
petunjuk bahwa semua kerabat pewaris dapat tampil sebagai ahli waris melalui
penggantian ahli waris sepanjang tidak terhijab oleh ahli waris yang lebih
utama. Oleh karena itu anak-anak saudara laki-laki maupun anak-anak saudara
perempuan baik laki-laki atau perempuan serta anak-anak paman baik laki-laki
maupun perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti.
c.
Kedudukan Ahli waris Pengganti dan Bagiannya.
Permasalahan
kedudukan ahli waris pengganti timbul akibat adanya pembatasan bagian
sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (2) yang menyatakan: “Bagian ahli waris
pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang
diganti”. Yang menjadi permasalahan, mengapa dalam pasal ini menggunakan
kalimat “yang sederajat”, tidak mencukupkan dengan kalimat “Bagian ahli waris
pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang diganti” dengan
menghilangkan kalimat yang sederajat.
Terjadi
perbedaan pendapat dalam memaknai maksud pasal 185 ayat (2). Ahmad Zahari
berpendapat makna sederajat itu meliputi tempat, kedudukan dan hak-hak tanpa
batas dan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sehingga ahli
waris pengganti menempati kedudukan orang tuanya secara mutlak.
Penggantian
tempat artinya menggantikan tempat orang tuanya, dan penggantian derajat
artinya menggantikan derajat laki-laki dengan laki dan derajat perempuan dengan
perempuan, sedangkan penggantian hak artinya menggantikan hak sesuai dengan hak
yang dimiliki orang tuanya. Jika orang tua yang digantikan itu laki-laki, maka
ahli waris pengganti menduduki kedudukan dan menerima hak sebagai laki-laki
meskipun ahliwaris pengganti itu sendiri perempuan. Sebaliknya jika orang tua
yang digantikan itu perempuan, maka ahli waris pengganti menduduki kedudukan
dan menerima hak sebagai perempuan meskipun ahliwaris pengganti itu sendiri
laki-laki. Pendapat Ahmad Zahari ini sama dengan konsep mawalinya Hazairin.
Sedangkan
pendapat lain, di antaranya Syaifuddin (Hakim PA Binjai) menyatakan, yang
dimaksud sederajat adalah jihat kekerabatannya sama dan dihubungkan oleh orang
yang sama tanpa membedakan laki-laki dan perempuan[9], misalnya anak sederajat
dengan anak, saudara sederajat dengan saudara dan sebagainya. Dengan penafsiran
ini maka bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian anggota
kerabat yang sederajat jihatnya, seperti cucu laki-laki dari anak laki yang
menggantikan kedudukan ayahnya tidak boleh melebihi bagian bibinya (anak
perempuan pewaris) karena kedudukan bibi sederajat dengan ayahnya. Pendapat
demikian sama dengan pendapat beberapa hakim agama di lingkungan PTA Kalimantan
Barat.
Perbedaan
pendapat di atas disebabkan perbedaan penggunaan metode penemuan hukum. Ahmad
Zahari cenderung menggunakan metode penafsiran komparasi (comparatief)
dengan membandingkan kepada pendapat Hazairin, sedangkan Syaifuddin dan para
hakim agama Kalimantan Barat menggunakan metode penafsiran gramatikal dengan
melihat susunan kalimatnya. Kedua penafsiran ini secara ilmiah dapat diterima,
tetapi tidak mungkin keduanya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh KHI. Jika
tidak ada penafsiran lain, pastilah hanya satu di antara keduanya yang sesuai.
Apabila mendasarkan kepada kaidah umum bahwa setiap penggantian mempunyai
konsekuensi menggantikan segala sesuatu yang ada pada orang yang digantikan
baik kedudukan, hak maupun kewajibannya, maka pendapat Ahmad Zahari dipandang
lebih logis. Namun apakah demikian yang dikehendaki oleh KHI, atau barangkali
pendapat Syaifuddin dan para hakim agama Kalimantan Barat yang lebih sesuai.
Untuk mengetahui hal tersebut perlu memperhatikan latar belakang dibuatnya
aturan itu, atau dengan kata lain perlu dilakukan penafsiran historis.
Menurut
Yahya Harahap salah seorang yang terlibat langsung dalam mempersiapkan
sekaligus merumuskan KHI menyatakan, bahwa diadakannya aturan ahli waris
pengganti adalah untuk memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan di mana
seorang tidak wajar dihukum untuk tidak mendapatkan warisan dari kakeknya hanya
karena orang tuanya telah meninggal lebih dahulu. Pendapat tersebut hampir sama
dengan yang dikemukakan oleh Raihan A.Rasyid sebagaimana telah dikemukakan di
atas.
Drs.
H. Taufiq, SH. M.Hum mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung R.I yang juga terlibat
dalam penyusunan KHI memberikan penjelasan bahwa pada saat disusunnya KHI
terjadi perdebatan yang hangat antara pihak yang kental memegangi pendapat
Jumhur dengan pihak yang menghendaki perubahan dengan mengadopsi sebagian pendapat
Hazairin. Dengan adanya perbedaan pendapat itu, maka hasil maksimal yang
diperoleh sebagaimana tertuang dalam KHI. Memperhatikan latar belakang
pengaturan ahli waris pengganti di atas, maka pendapat Syaifuddin dan para
hakim agama Kalimantan Barat lebih sesuai dengan maksud bunyi pasal 185 ayat
(2) KHI. Terlepas dari penafsiran di atas, yang pasti pemberian bagian kepada
ahli waris pengganti dalam KHI merupakan solusi atas ketidakadilan yang selama
ini terjadi akibat pemberlakuan hukum kewarisan yang cenderung
patrininealistik. Sebagai jalan tengah antara pihak yang menghendaki perubahan
dengan pihak yang mempertahankan kemapanan, kiranya wajar jika bagian ahli
waris pengganti (untuk sementara) dibatasi sebesar bagian saudara yang
digantikan. Dengan memperhatikan beberapa segi negatif atas pembatasan seperti
itu, maka seyogyanya penggantian ahli waris itu bersifat mutlak. Artinya ahli
waris pengganti selalu menduduki kedudukan orang yang digantikan dan mendapat
bagian sebesar bagian yang seharusnya diterima apabila ia hidup.
D.
PENUTUP
Pengaturan
ahli waris penganti dalam KHI masih berpotensi timbulnya berbagai penafsiran
yang mengakibatkan terjadinya silang pendapat baik di kalangan akademisi maupun
praktisi. Sumber permasalahan terletak pada sifat tentatifnya penggantian ahli
waris, kedudukan ahli waris pengganti, dan jangkauan keberlakuan penggantian
ahli waris. Akibat dari perbedaan sudut pandang tersebut mengakibatkan tidak
adanya kepastian hukum serta dapat menimbulkan ketidakadilan akibat
digunakannya opsi yang menguntungkan.
Sebuah
aturan yang ideal adalah apabila ketentuan yang ada tidak mengundang multi
tafsir sehingga kepastian hukum dapat diperoleh dan keadilan dapat terwujud.
Untuk mengatasi permasalahan ini, seyogyanya kententuan tentang ahli waris
pengganti dalam KHI ditinjau kembali dengan merubah beberapa prinsip yang
menjadi sumber perdebatan. Perubahan dimaksud adalah merubah sifat tentatifnya
penggantian ahli waris menjadi sifat imperatif. Ahli waris pengganti harus
didudukan dalam kedudukan orang tuanya tanpa adanya hak opsi dan diberikan
bagian sama dengan yang digantikan. Selain itu jangkaun penggantian ahli waris
harus meliputi garis hukum ke bawah dan menyamping. Untuk merubah
prinsip-prinsip di atas, cara yang ditempuh cukup dengan merubah bunyi pasal
185 dan cukup dituangkan dalam satu ayat yang berbunyi: Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. Sebelum diadakan
perubahan bunyi pasal tersebut, kiranya Mahamah Agung dapat mengeluarkan surat
edaran untuk itu.
[1] Muhammad Nasib Ar-rifai, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu
Kastir (terj.) Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Hal. 701.
[2]
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilaterral Menurut Al-Qur’an
dan Hadits, Jakarta: Tinta Mas, 1982, hal. 16.
[3]
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilaterral Menurut Al-Qur’an
dan Hadits, hal. 27-44.
[4]
M.Idris Ramulyo, Perbandingan
Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992, hal.125-126.
[5]
R.Soebekti, Pokok-Pokok Hukum
Perdata, Jakarta: Intermasa, 1979, h.83 6 Fatchur Rahman, Op cit.
h.63 7 Ahmad Zahari, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’I, Hazairin dan
KHI, Pontianak: Romeo Grafika, 2006, h.98.
[6]
Mimbar Hukum, No.23 Tahun
VI 1995 hal.57.
[7]
Mimbar Hukum, No.23 Tahun
VI 1995 h.59-60.
[8]
Ahmad Zahari, Op cit.hal.99-113.
[9]
Mimbar Hukum, No.58 Tahun
XIII.2002.hal.48-51.
Comments