Semenjak
Abad ke-19, hubungan akrab antara peradaban Islam dan peradaban Barat
terjalin sedemikian kuatnya. Pengaruh Barat mulai menjamur di dunia Islam.
Sebenarnya ketika masa pertengahan, Islam masih sanggup menyesuaikan diri
dengan tuntutan-tuntutan internal. Namun semenjak abad ke-19, Islam mulai
mengahadapi tekanan dan mengalami situasi yang berbeda dengan abad pertengahan.
Situasi ini diperparah lagi dengan kekakuan tradisi Islam dan dominannya teori
taqlid (kesetiaan yang mapan pada doktrin yang sudah mapan), yang melahirkan
pertentangan yang jelas-jelas tak dapat diakurkan antara hukum tradisional
Islam dan kebutuhan umat Islam. Tidak lama kemudian pengaruh Barat itu membuat
masyarakatnya menghendaki mengatur diri dengan patokan-patokan Barat.
ang
paling mencolok dalam hubungan Negara-negara Islam dan Barat adalah pada bidang
hukum publik serta transaksi sipil dan transaksi komersial. Dalam kondisinya
seperti inilah sistem Islam tradisional nampak mengalami kekurangan-kekurangan
dan kelemahan-kelemahannya. Hal demikian dikarenakan hukum–hukum sipil Islam
tradisional belum sanggup melayani sistem perdagangan dan pembangunan ekonomi
modern.
Sebenarnya
perbedaan yang mendasar antara hukum Islam dan hukum Barat adalah bahwa hukum
Barat pada dasarnya bersifat sekuler, sedangkan hukum Islam pada dasarnya
bersifat normatif-religious. Hukum Barat atau hukum yang berlaku di Eropa
continental bersumber pada hukum Romawi. Tentu saja hukum Romawi diberlakukan
oleh kaisar Justisianus saat dia telah memeluk agama Kristen. Hukum Romawi ini
bersumber pada pandangan-pandangan para hakim ternama dimasa pemerintahan kaisar
Antonius, yang di tulis pada agama asli mereka.
Mereka
telah kehilangan pengaruh terhadap orang-orang pelajar pada masa itu, sebelum
mereka terpengaruh agama Kristen. Jadi pada dasarnya hukum Romawi itu merupakan
hukum buatan manusia untuk kepentingan manusia yang merupakan hukum
pertama yang dianggap matang oleh manusia. Karena itu hukum Eropa
atau Romawi itu menjadi hukum yang sewaktu-waktu bisa diubah apabila keadaan
menghendaki demikian. Sedangkan hukum Islam, secara fundamental dianggap
sebagai hukum Tuhan, sehingga pada pokoknya secara teks tidak dapat di rubah.
Pada
awalnya, hukum pidana dan dagang, mempunyai tempat pijakan di kerajaan Usmania
melalaui sistem kapitulasi. Dengan sistem inilah penguasa Barat menjamin bahwa
warga negara mereka di Timur Tengah akan di atur oleh hukum mereka sendiri. Hal
ini menyebabkan tumbuh dan meningkatnya keakraban dengan hukum Eropa. Khususnya
ketika, misalnya dalam bidang transaksi dagang, hukum Eropa diterapkan pada
kasus-kasus yang melibatkan pedagang muslim dan pedagang yang berkebangsaan
Eropa.
Karenanya
wajarlah bila para penguasa di Timur Tengah, ketika mempertimbangkan evisiensi
dan kemajuan, mengharuskan digantikannya hukum tradisional mengarah pada
hukum-hukum yang di terapkan dibawah sistem kapitulasi. pada waktu yang
sama, pengambilan hukum Barat ini, sebagai sistem teritorial, berarti bahwa
kekuatan-kekuatan dari luar menyetujui di hapuskannya sistem kapitulasi. Sebab
sistem ini kian menjengkelkan, begitu di berikan penekanan yang semakin meningkat
terhadap kedaulatan nasional.
Sebagai
hasil dari pemikiran-pemikiran ini, terjadilah penerimaan besar-besaran
terhadap hukum (undang-undang) Eropa di kerajaan Usmania, melalui
reformasi Tanjimat yang berlangsung antara tahun 1839-1876. Di bawah undang-undang
hukum pidana tahun 1858 yang merupakan terjemahan dari kode penal (hukum
pidana) Perancis –hadd yang tradisioanal diharuskan semua, kecuali hukuman mati
bagi orang murtad. Ini kemudian diikuti oleh undang-undang hukum acara dagang
di tahun 1861 dan undang-undang hukum niaga laut di tahun 1863. Kedua
undang-undang ini pada hakikatnya adalah undang-undang hukum Perancis. Untuk
menerapkan semua undang-undang di atas, maka dibangunlah sistem baru tentang
peradilan sekuler (nidhamiyyah).
Comments