Bentuk-bentuk Pencurian
Pencurian di dalam hukum Islam,
ada dua bentuk:
1. Pencurian yang diancam dengan hukuman hudud
2. Pencurian yang diancam dengan hukuman takzir
Pencurian yang diancam
dengan hukuman hudud, juga ada dua bentuk:
1. Pencurian kecil
2. Pencurian besar
Pencurian kecil adalah
mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi.[1]
Sedang pencurian besar adalah mengambil harta orang lain dengan cara paksa
(dirampok). Pencurian besar ini juga disebut dengan istilah harabah, yaitu mengambil harta setelah
adanya perlawanan dari si pemilik, sebagaimana yang akan kami jelaskan secara
lebih detail dalam pembahasan ini.
Perbedaan antara pencurian
kecil dengan pencurian besar adalah bahwa percurian kecil itu adalah diambilnya
harta seseorang oleh orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa kerelaan
dari pemiliknya. Sehingga orang yang memiliki harta itu tidak mengetahui kalau
hartanya telah dicuri orang lain.
Kedua perbuatan di atas,
yaitu mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan tanpa izin
pemiliknya adalah syarat sahnya perbuatan pencurian kecil. Apabila salah satu
dari dua syarat itu tidak ada, maka tindakan itu tidak dapat dikatakan sebagai
tindak pencurian kecil.
Jika seseorang mengambil
beberapa barang dari suatu rumah dan pemilik rumah itu mengetahui namun ia
tidak mengadakan perlawanan terhadap orang yang mengambil harta di rumahnya
itu, maka perbuatan orang tersebut tidak bisa dikatakan tindak pencurian kecil,
dan tidak juga dapat dikatakan sebagai tindak pencurian besar, akan tetapi
di-katakan sebagai tindak ikhtilas.
Demikian juga dengan
perbuatan seseorang yang meng-ghasab
harta orang lain, perbuatan tersebut tidaklah bisa dikatakan sebagai tindak
pencurian kecil, akan tetapi di-katakan sebagai tindak ghasab atau nahab.
Perbuatan ikhtilas, ghasab dan nahab ini, tidak termasuk dalam kategori tindak
pencurian kecil, meskipun semua tindakan tersebut termasuk kedalam kategori
bentuk-bentuk tindak pencurian. Karena tindakan-tindakan tersebut tidak
termasuk dalam salah satu dari dua bentuk tindakan pencurian yang diamcam
dengan hukuman, yaitu; tidak pencurian kecil dan tindak pencurian besar, maka
pelaku tindakan-tindakan itu pun tidak dikenai hukuman.
Demikina juga halnya dengan
perbuatan seseorang yang mengambil harta orang lain dengan seizin pemiliknya,
sekalipun pemiliknya tidak melihat orang tersebut mengambil hartanya, namun
karena pengambilan harta itu dilakukan dengan izin pemiliknya, maka tindakan
tersebut tidak dikategorikan sebagai pencurian.
Yang dimaksud dengan tindak
pencurian besar adalah pengambilan harta seseorang yang dilakukan dengan
sepengetahuan, namun tanpa kerelaan pemiliknya. Pengambilan harta tersebut juga
terjadi setelah adanya perlawanan dari pemilik harta. Apabila tidak terdapat
perlawanan dari pemilik harta, maka tindakan tersebut juga tidak dapat
dikatakan sebagai tindak pencurian besar, akan tetapi sebagai tindakan ikhtilas,
ghasab, dan atau nahab,
jika dilakukan tanpa kerelaan dari pemiliknya.
Pencurian yang Diancam dengan Hukuman Takzir
Pencurian yang diancam dengan hukuman takzir ada dua bentuk:
Pertama, setiap pencurian yang diancam dengan hukuman had
namun syarat-syarat dibolehkannya pelaksanaan had terhadap tindakan tersebut
belum sempurna, atau batal akibat adanya keragu-keraguan. Seperti, tindakan
seorang ayah yang mengambil harta anaknya, atau tindakan seseorang yang
mengambil harta musytarak (harta yang diserikatkan/milik bersama
beberapa orang). Dalam hal ini, tidak dibedakan apakah tindakan tersebut
termasuk dalam kategori pencurian kecil, atau termasuk ke dalam kategori
pencurian besar.
Kedua, tindakan
mengambil harta orang lain secara terang-terangan atau dengan sepengetahuan,
tanpa kerelaan, dan tanpa ada perlawanan dari pemiliknya. Tindakan iktilas,
ghasab dan nahab,
termasuk ke dalam lingkup bentuk yang kedua ini. Seperti tindakan seseorang
yang mengambil baju orang lain yang dilepas dan diletakkan di sampingnya. Kasus
seperti ini tentunya orang yang memiliki baju tersebut mengetahui bahwa bajunya
diambil dan dibawa lari oleh pencuri, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Contoh yang lainnya adalah, seseorang yang merampas suatu
kertas berharga yang sedang dipegang oleh pemilik-nya. Tindakan tersebut
tentunya tidak dapat dikatakan se-bagai tindak pencurian kecil, sebab orang
yang memiliki kertas tersebut mengetahui saat kertas berharganya itu di ambil.
Namun tidak dapat dikatakan sebagai tindak pen-curian besar, sebab dalam kasus
di atas tidak ada bentuk perlawanan dari pemiliknya.
Dalam kasus tindakan-tindakan seperti di atas itu, tidak
diberlakukan hukuman had potong tangan terhadap pelaku. Rasulullah SAW bersabda:
"لا قطع على نباش ولا منتهب ولا خائن"
"Tidak ada hukum potong tangan
atas tindakan nabas, intihab dan khianat".
Dalam hukum Islam, tindak pencurian itu tidak keluar dari
empat bentuk tindakan di atas, dimana terkadang para ulama fikih hanya
menyebutkannya dengan kata pencurian saja tanpa membedakan apakah itu bentuk
tindak pencurian kecil atau bentuk tindak pencurian besar. Akan tetapi, secara
umum, apabila mereka berbicara tentang tindakan pencurian, maka yang
dimaksudkan adalah tindak pencurian kecil. Sebab, apabila mereka berbicara
tentang tindak pencurian besar, maka bahasa yang mereka gunakan adalah al-harabah
(perampasan) atau qath`u ath-thariq (perampokan).
Sementara untuk tindakan-tindakan yang lain, seperti nahab,
ghasab, dan ikhtilas, maka ungkapan yang sering mereka gunakan adalah ikhtilas.
Penyebab para ulama fikih menggunakan kata saraqah
(pencurian) untuk maksud tindak pencurian kecil adalah karena hukuman untuk
tindak pencurian itu adalah potong tangan, juga karena pada umumnya pencurian
itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau tanpa sepengetahuan si pemilik
harta. Ini termasuk ke dalam kategori tindakan pencurian kecil.
Prinsip umum yang dipegang para ulama fikih adalah mereka
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap tindakan-tindakan yang diancam
dengan hukuman hudud atau qishash. Berkaitan
dengan tindakan-tindakan tersebut, mereka memberi penjelasan yang sangat rinci,
yang mencakup unsur-unsurnya, syarat-syaratnya dan bahkan hukum-hukumnya. Tidak
terdapat suatu celah pun dari tidakan-tindakan tersebut yang belum mereka
jelaskan mengenai hukumnya, baik yang kecil (sepele) apalagi yang besar.
Sementara itu, untuk tindakan-tindakan yang diancam
dengan hukuman takzir, mereka tidak memberikan penjelasan sebagaimana
penjelasan yang mereka berikan terhadap tindakan-tindakan yang diancam dengan
hukuman had kecuali untuk tindakan-tindakan yang mereka anggap penting saja,
dan itu pun tidak mereka jelaskan secara terperinci, akan tetapi hanya terbatas
pada penjelasan akan hukum-hukumnya saja yang mereka sebutkan secara umum.
Sekali pun mereka telah memberikan perhatian terhadap tindakan-tindakan yang
diancam dengan hukuman takzir, akan tetapi masih terdapat celah-celah yang
belum mereka jelaskan secara terperinci khususnya yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
hukuman, batasan setiap hukuman, kewenangan hakim dan pemerintah, dan lain
sebagainya.
Karena kebanyakan tindakan-tindakan yang diancam dengan
hukuman takzir itu dalam pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah untuk
menentukan batasan-batasannya, dan bahkan untuk penentuan hukuman-hukuman yang
harus diberikan kepada pelaku tindak yang diancam dengan hukuman takzir
tersebut. Di samping itu tindakan-tindakan yang diancam dengan hukuman takzir
tersebut tidak dapat diuniversalkan, artinya tindakan-tindakan tersebut
bersifat relatif. Sebab bisa jadi suatu tindakan itu dianggap buruk dan
dilarang serta diancam dengan hukuman takzir di suatu tempat atau negara,
sedang di tempat atau negara yang lain tindakan tersebut tidak dianggap sebagai
suatu tindakan yang buruk dan terlarang.
Oleh karena itu, maka sangat masuk akal apabila kemudian
para ulama kita terdahulu tidak terlalu memberi perhatian yang terperinci
terhadap masalah-malasah yang berkaitan dengan hukuman takzir, sebagaimana
perhatian yang mereka berikan terhadap tindakan-tindakan yang berhubungan
dengan hukuman-hukuman yang sudah tetap, seperti tindakan-tindakan yang diancam
dengan hukuman hudud dan hukuman qishash.
Akan tetapi perlu juga diketahui, bahwa ketika para ulama
kita terdahulu berbicara mengenai tindak pencurian kecil, maka mereka pun akan
berbicara mengenai tindakan-tindakan pencurian yang diancam dengan hukuman takzir,
lengkap dengan bentuk-bentuknya. Hal tersebut karena tindakan-tindakan dalam
bentuk pertama itu tidak lain adalah tindak pencurian yang diancam dengan
hukuman hudud, dan memiliki syarat-syarat khusus. Sedangkan tindakan-tindakan
bentuk kedua adalah tindakan-tindakan yang secara umum termasuk dalam kategori
tindakan ikhtilas, dimana secara umum
tidak memiliki syarat-syarat yang berbeda dengan syarat-syarat yang terdapat di
dalam tindak pencurian kecil kecuali di dalam beberapa syarat saja. Oleh karena
itu maka dapat dikatakan, jika suatu pembahasan itu berkenaan dengan masalah
pencurian, maka secara tidak langsung pembahasan mengenai ikhtilas juga termasuk di dalamnya. Sebab, setiap tindak pencurian
kecil, apabila tidak sempurna syarat-syaratnya, maka ia termasuk ke dalam
kategori ikhtilas.
Dengan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perbedaan antara pencurian kecil dengan ikhtilas,
secara umum dapat diketahui dengan beberapa hal berikut:
1. Hukuman tindak pencurian adalah potong tangan, sedangkan hukuman tindak ikhtilas adalah takzir.
2. Di antara unsur yang harus dipenuhi dalam tindak pencurian adalah mengambil
harta orang lain yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau tanpa
sepengetahuan pemiliknya, sedangkan di dalam tindak ikhtilas hal tersebut tidak termasuk syarat yang harus dipenuhi.
3. Dalam tindak pencurian disyaratkan bahwa benda ataupun barang yang dicuri
itu adalah milik pribadi, sedangkan di dalam tindak ikhtilas hal tersebut tidak masuk dalam persyaratan.
4. Dalam tindak pencurian disyaratkan bahwa benda ataupun barang yang
dicuri itu harus memenuhi nisab (ukuran) tertentu, sedangkan dalam tindak ikhtilas tidak.
Setelah mengetahui perbedaan
antara tindak pencurian dengan ikhtilas
sebagaimana yang disebutkan di atas, kita dapat mengatakan bahwa hukum-hukum
yang terdapat di dalam tindak ikhtilas
hampir sama dengan hukum-hukum yang berlaku di Mesir untuk tindak pidana
pencurian. Jika terdapat perbedaan di antara hukum Islam dengan hukum positif yang
diterapkan di dalam suatu negara, meskipun itu tidak bersifat menyeluruh,
seperti ketetapan yang terdapat dalam hukum positif bahwa pemindahan harta
curian kepada orang lain adalah termasuk dalam kategori tindakan ikhtilas bukan tindakan khianat terhadap
amanah. Menurut hukum Islam hal itu termasuk dalam kategori tindakan khianat
terhadap amanah, maka dalam hal ini, hukum positif harus mengikuti ajaran-ajaran
Islam. Sebab, tindakan seperti itu adalah bagian dari tindakan-tindakan yang
diancam dengan hukuman takzir. Setiap tindakan yang diancam dengan hukuman takzir
adalah diharamkan. Dalam kasus di atas, tindakan tersebut termasuk ke dalam
bentuk tindak pencurian atau tindak pengkhianatan terhadap amanat. Oleh karena
itu, maka dalam permasalahan seperti ini, ketetapan hukumannya harus diserahkan
sepenuhnya kepada pemerintah. Sehingga, apabila pemerintah menetapkan bahwa
hukuman untuk tindakan seperti itu adalah hukuman tindak pencurian, maka
ketetapan pemerintah itu wajib diikuti.
Apabila kita membandingkan
antara ketetapan hukum Islam ketetapan hukum Mesir mengenai masalah di atas,
maka akan kita dapatkan bahwa hukuman yang telah ditetapkan hukum Islam untuk
tindakan tersebut, sama dengan hukuman yang ditetapkan oleh hukum Mesir, yaitu
hukuman yang sama dengan hukuman untuk tindak pencurian.
Jika hukum Islam menghukum
tindakan pengambilan harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi atau yang
selalu disebut dengan tindak pencurian kecil, menghukum tindakan pengambilan
harta orang lain dengan cara paksa atau yang disebut dengan tindak pencurian
besar, dan juga menghukum tindakan pengambilan harta orang lain secara
terang-terangan dan tanpa pemaksaan, namun tanpa seizin pemilik-nya atau yang
disebut dengan ikhtilas, maka hukum
positif pun menetapkan hukuman terhadap tindakan ikhtilas, baik tindakan ikhtilas itu dilakukan dengan sepengetahun
pemilik barang maupun dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik barang, baik tindakan
ikhtilas itu dilakukan secara
diam-diam atau pun dilakukan secara terang-terangan. Dengan catatan tindakan
itu dilakukan tanpa adanya kerelaan dari pemilik barang, maka tetap dikategorikan tindakan pidana yang harus
dikenai hukuman. Demikian juga halnya dengan tindakan ikhtilas yang dilakukan dengan pemaksaan atau ancaman, baik
dilakukan di tempat-tempat umum atau pun di tempat-tempat tersembunyi, maka tetap
dikategorikan tindakan pidana yang diancam dengan hukuman.
Oleh karena itu, hukum positif
menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang terlibat dalam revolusi Perancis.
Sebab tindakan seperti itu termasuk dalam kategori tindakan perampasan terhadap
hak pemanfaatan sesuatu dan termasuk juga dalam kategori tindak perampasan
terhadap hak kebebasan menggunakan sesuatu. Tindakan perampasan terhadap hak
penggunaan sesuatu serta tindakan perampasan terhadap hak kebebasan menggunakan
sesuatu termasuk dalam kategori tindak pencurian.
Di samping itu, dalam hukum
positif, tindak pencurian disamakan dengan tindakan tabdid (menimbun
harta) dan ghasab. Maka orang-orang
yang melakukan tindakan tersebut diancam dengan hukuman yang sama, dengan
hukuman orang yang melakukan tindak pencurian. Karena di dalam hukum positif Roma,
yang merupakan rujukan bagi hukum positif Mesir, memasukkan tindakan-tindakan
tersebut ke dalam kategori tindak pencurian.
Sedangkan dalam hukum Islam yang
telah ada sejak empat belas abad yang silam, tindakan-tindakan tersebut tidak
disamakan dengan tindakan pencurian, bahkan tindakan-tindakan apapun yang
berhubungan dengan harta, selama tindakan tersebut tidak memenuhi unsur dan
syarat tindak pencurian, maka tindakan itu dikategorikan tindak pencurian. Hal tersebut—dengan
izin Allah—akan kami jelaskan secara terperinci dalam pembahasan yang akan
datang, yaitu pembahasan secara terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang
termasuk ke dalam kategori tindak pencurian. Dengan adanya penjelasan tersebut
kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya ajaran-ajaran yang terdapat dalam hukum
Islam telah melampaui ketelitian aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum
positif yang ada saat ini.
Kami tidak bermaksud
menjelaskan sejauhmana ketelitian hukum
Islam dalam menentukan aturan-aturan bagi kehidupan umat manusia. Akan tetapi,
kami ingin menjelaskan bahwa ketika hukum positif itu semakin berkembang menuju
kepada yang lebih baik, maka perkembangannya itu sesungguhnya menuju hukum
Islam dan penerapan prinsip-prinsipnya. Ketika dikatakan bahwa hukum positif tersebut
sudah mencapai titik sempurnanya, maka berarti telah mencapai sebagian dari
kesempurnaan hukum Islam. Ajaran-ajaran hukum Islam yang sebagiannya kini mulai
dijadikan sebagai aturan oleh hukum positif, tidak lama lagi, akan dijadikan
sebagai rujukan untuk seluruh aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum
positif.
Unsur Tindak Pencurian
Dari pembahasan sebelumnya, kita mengetahui bahwa yang
disebut dengan tindak pencurian adalah tindakan mengambil harta orang lain
dengan cara sembunyi-sembunyi atau tanpa sepengetahuan pemiliknya. Dengan pengertian
ini diketahui bahwa unsur tindak pencurian ada empat, yaitu sebagai berikut:
1. Mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, atau tanpa
sepengetahuan pemiliknya.
2. Sesuatu yang diambil itu harus berbentuk harta, bukan manfaat dari harta
itu.
3. Harta yang diambil itu adalah milik orang lain, bukan miliknya sendiri.
4. Adanya unsur kesengajaan dari pelaku pencurian harta tersebut.
Unsur Pertama, Mengambil
Harta Orang Lain Tanpa Sepengetahua Pemiliknya
Mengambil harta tanpa
sepengetahuan pemiliknya adalah perbuatan mengambil harta orang lain tanpa
sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya. Misalanya, tindakan seseorang yang
mengambil harta orang lain dari rumahnya, ketika pemilik rumah tersebut tidak
ada, atau ketika pemilik rumah itu sedang tidur sehingga ia tidak mengetahui
kalau hartanya diambil.
Sedangkan apabila
pengambilan harta tersebut dilaku-kan saat pemiliknya ada di rumah dan ia
mengetahui bahwa hartanya diambil namun ia tidak memberikan perlawanan untuk
mempertahankan hartanya itu maka perbuatan tersebut termasuk ke dalam kategori
tindakan ikhtilas bukan tindak
pencurian. Apabila tindakan pengambilan harta itu dilakukan dengan
sepengetahuan dan izin pemiliknya, maka sekalipun pada saat pengambilan harta
itu si pemilik tidak menyaksikannya, perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam
kategori tindakan yang dilarang.
Di samping itu, tindakan
pengambilan harta harus bersifat sempurna, sehingga apabila harta tersebut
belum sepenuhnya diambil oleh si pencuri, namun hanya sekedar disentuh saja,
maka perbuatan tersebut belum termasuk ke dalam kategori perbuatan pencurian.
Dengan demikian, sempurnanya suatu tindak pencurian itu dapat diketahui melalui
tiga hal:
Pertama, harta yang dicuri itu benar-benar telah dipindahkan
oleh si pencuri dari tempat penyimpanannya.
Kedua, harta yang dicuri itu benar-benar telah tidak berada
dalam penguasaan pemiliknya.
Ketiga, harta yang dicuri itu benar-benar telah ber-ada dalam penguasaan
si pencuri.
Apabila ketiga syarat ini
belum terpenuhi, atau jika ada salah satu dari ketiga syarat ini tidak ada,
maka perbuatan mengambil harta tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan
pengambilan harta orang lain dengan sempurna. Karena perbuatan tersebut belum
dapat dikatakan sebagai perbuatan pengambilan harta orang lain dengan sempurna,
maka hukuman yang dikenakan kepada pelakunya adalah hukuman takzir, bukan
hukuman potong tangan.
Maka apabila ada seseorang
yang masuk ke dalam rumah orang lain secara sembunyi-sembunyi kemudian
tertangkap, apabila ada seseorang yang tertangkap saat sedang mengumpulkan
harta orang lain yang ingin dicurinya, apabila ada seseroang yang masuk ke
dalam kandang perternakan orang lain untuk mencuri binatang ternaknya dan sudah
melepaskan ikatan ternak tersebut untuk dibawa, namun kemudian ia tertangkap
saat ingin membawa ternak tersebut, dan atau apabila ada seseorang yang masuk
ke dalam lumbung orang lain untuk mencuri gandumnya dan sudah memasukkan gandum
itu dalam karung yang sudah disediakannya, tetapi kemudian ia tertangkap saat ingin
membawanya, maka semua masalah tersebut belum dianggap sebagai tindakan
pengambilan harta orang lain secara sempurna. Orang yang melakukan tindakan itu
belum dapat dikatakan sebagai pelaku tindakan pencurian. Karena perbuatan yang
dilakukannya itu, belum sepenuhnya menyebabkan berpindahnya harta atau barang
yang diambilnya itu dari tempat penyimpanannya. Jika barang tersebut belum
sepenuhnya berpindah dari tempatnya yang semula atau belum sepenuhnya keluar
dari tempat penyimpanannya, maka barang tersebut belum dapat dikatakan telah
keluar dari penguasaan pemiliknya dan telah berpindah kepada penguasaan orang
yang mencurinya.[2]
Dengan demikian, ketentuan hukuman
yang ditetapakan bagi pengambil harta orang lain yang belum terambil sepenuhnya
adalah hukuman takzir bukan hukuman potong tangan. Jadi, seluruh tindakan yang
saat ini kita anggap sebagai tindakan pencurian, hukumannya menurut hukum Islam
adalah takzir bukan hudud.
Akan tetapi ada yang
berpendapat bahwa hukuman yang wajib dijatuhkan kepada pelakau
tindakan-tindakan tersebut adalah potong tangan, misalany kelompok zhahiriyah.
Bahkan mereka berpendapat, bahwa selama orang yang berniat mencuri telah
meletakkan tangannya pada barang atau pun benda yang ingin dicurinya, sekalipun
ia belum mengambil dan memindahkan barang tersebut dari tempatnya, tetap dijatuhi
hukuman potong tangan. Menurut pendapat kelompok ini, seseorang yang telah
mengambil serta mengumpulkan harta orang lain untuk dibawa tanpa sepengetahuan
pemiliknya wajib dijatuhi hukuman potong tangan, sekalipun barang atau harta
tersebut belum sempat dibawanya karena ketika akan dibawa, sudah tertangkap
terlebih dahulu. Prinsip yang dianut oleh kelompok zhahiriyah ini adalah
apabila seorang pencuri itu telah memulai perbuatan mencurinya, maka hukuman
potong tangan telah wajib dijatuhkan kepadanya. Karena menurut mereka, apa yang
diperbuatnya yang menyebabkan ia dikatakan sebagai pencuri. Selain itu, karena
mereka pun berpendapat bahwa pindahnya suatu barang atau benda secara utuh
kepada orang yang hendak mencurinya, bukanlah syarat sahnya tindak pencurian.
Kelompk zhahiriyah juga menganggap bahwa pengambilan
harta dengan tujuan untuk mencurinya, sudah termasuk ke dalam kategori
pencurian yang harus dijatuhi hukuman potong tangan, sekali pun harta atau
barang yang ingin diambil belum jatuh ke tangan orang yang ingin mencurinya.[3]
Demikianlah pandangan secara umum, orang-orang yang
berpendapat sebagaimana pendapat kelompok zhahiriyah. Hal ini adalah ketentuan
mereka untuk tindak pencurian. Sedangkan untuk tindak ikhtilas, mereka sependapat dengan para ulama yang lainnya, yaitu;
membedakan antara hukuman bagi pelaku tindakan pencurian, dan hukuman bagi
pelaku tindakan ikhtilas. Hukuman bagi
tindakan pencurian adalah potong tangan, sementara hukuman bagi pelaku tindak ikhtilas adalah takzir.
Pengertian tentang pengambilan harta orang lain se-cara
sembunyi-sembunyi yang disebutkan di dalam hukum Islam, pada kenyataannya sama
dengan pengertian tindak ikhtilas
yang disebutkan di dalam hukum positif. Jika dalam hukum positif disebutkan
bahwa syarat sahnya satu tindakan ikhtilas adalah berpindahnya benda atau
barang yang dicuri itu dari penguasaan pemilik kepada penguasaan pencuri, maka
di dalam hukum Islam, syarat sahnya satu tindakan ikhtilas itu selain syarat di atas adalah si pencuri tersebut harus
sudah mengeluarkan barang atau benda yang dicurinya itu dari batas penguasaan
pemiliknya.
Syarat ini adalah syarat yang wajib dipenuhi untuk setiap
tindakan pencurian yang diancam dengan hukuman potong tangan menurut pendapat mazhab
yang empat, bahkan juga menurut pendapat mazhab Syi'ah zaidiyah. Sedangkan
menurut mazhab zhahiriyah, keluarnya benda atau barang curian dari penguasaan
pemiliknya, bukan termasuk syarat sahnya tindak pencurian, sebagaiman yang
telah kami jelaskan sebelumnya. Mereka pun tidak mensyaratkan telah
berpindahnya barang curian itu kepada orang yang mencurinya, untuk pelaksanaan
hukuman potong tangan. Menurut mereka, apabila seseorang telah menyentuh suatu
barang atau benda milik orang lain untuk dicuri, maka tindakannya tersebut
sudah cukup untuk dijadikan sebagai alasan pelaksanaan hukuman potong tangan.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa terdapat
kesamaan pandangan antara empat mazhab fikih dengan pandangan mazhab syi'ah. Hanya
mazhab zhahiri saja yang berbeda.
Di samping itu, terdapat juga kesamaan pandangan antara hukum
Islam dengan hukum positif yang diberlakukan di Mesir dan Perancis dalam hal pencurian
benda atau barang yang tidak bisa dijaga. Dalam tindak pencurian terhadap benda
atau barang tersebut, hukuman yang ditetapkan bukan potong tangan. Akan tetapi,
tindakan memanfaatkan benda atau barang itu tanpa sepengetahuan pemiliknya saja
sudah termasuk dalam tindakan pencurian yang diancam dengan hukuman takzir.
Sebagai contoh, apabila seseorang menaiki unta orang lain
ketika unta tersebut sedang digembalakan dan orang yang menggembalakannya tidak
mengetahui, maka perbuatan menaiki unta itu saja sudah dianggap sebagai bentuk
pen-curian yang sempurna, walau pun unta tersebut belum sepe-nuhnya dibawa
pergi. Karena dengan menaiki unta, maka unta itu pun sudah berada di dalam
pengawasan si pencuri dan sudah keluar dari penguasaan si pemilik unta. Sebab,
unta akan mengikuti perintah orang yang menungganginya.
Dalam tindakan yang dianggap sebagai ikhtilas, maka ketentuan-ketentuan yang ada di dalam ajaran Islam pun
memiliki kesamaan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum positif
yang diberlakukan Mesir dan Perancis, yaitu; bahwa hukuman tindakan ikhtilas adalah takzir, bukan potong
tangan. Tindakan itu dapat dikatakan sebagai ikhtilas sempurna, apabila pelaku telah mengeluarkan barang atau
benda yang diambilnya dari penguasaan pemiliknya. Apabila ada seseorang
merampas kertas berharga milik orang lain dari tangannya, atau mengambil
pakaian orang lain yang diletakkan di sampingnya, maka sebatas tindakan seperti
itu saja, sudah dikatakan sebagai tindak ikhtilas
yang sempurna yang wajib dikenai hukuman takzir meskipun barang atau benda yang
diambilnya itu, kembali kepada pemiliknya karena ia tertangkap.
Tindakan mengeluarkan suatu benda atau barang dari dari
tempat asalnya, akan selalu diikuti dengan tindakan mengeluarkan barang atau
benda tersebut dari penguasaan pemiliknya. Ini adalah prinsip umum. Maka,
apabila ada seseorang yang mencuri sesuatu dari rumah orang lain, toko, dan atau
tempat-tempat lainnya, maka tindakannya itu dianggap sebagai tindakan
mengeluarkan barang atau benda daripada penguasaan pemiliknya.
Demikian juga, apabila ada seseorang yang mencuri sesuatu
dari kantong orang lain, sebatas tindakan memasukkan tanggannya ke dalam
kantong orang lain itu dan mengeluarkan sesuatu dari kantong itu, maka hal itu sudah
dianggap sebagai bentuk tindakan pencurian.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa keluarnya barang atau
benda yang dicuri dari tempat penyimpanannya tidak selamanya dijadikan sebagai
batasan sahnya tindak pencurian, sebab ada kalanya tindak pencurian tersebut
sudah terjadi meskipun barang atau benda yang dicuri itu belum keluar dari
tempat penyimpanannya. Seperti, apabila seseorang mencuri perhiasan orang lain
yang berupa emas, berlian, dan atau benda lain yang dapat ditelannya di tempat
pencurian sehingga benda tersebut tidak diketaui lagi keberadaannya oleh
pemilik. Halam seperti ini, meskipun benda atau barang itu belum keluar dari
wilayah pemilik, namun ia sudah tidak lagi berada di bawah penguasaan pemilik,
yaitu telah berpindah berada di bawah penguasaan pencuri. Oleh sebab itu,
tindakan tersebut sudah dikatakan sebagai tindakan pencurian meskipun belum
dapat dikatakan sebagai bentuk tindak pencurian yang sempurna karena benda atau
barang yang dicuri tersebut belum benar-benar keluar dari wilayah penguasaan
pemilik.[4]
Sedangkan apabila benda atau
barang yang dicuri itu adalah sesuatu yang dapat rusak apabila ditelan, seperti
makanan, susu, dan yang lainnya, maka tindakan seperti itu tidak dianggap
sebagai tindakan pencurian menurut hukum Islam, akan tetapi dianggap sebagai
tindakan pengrusakan milik orang lain. Sebab kaidah yang digunakan dalam
permasalahan seperti ini adalah bahwa setiap sesuatu yang rusak atau binasa di
tempat kejadian adalah korban dari kejadian tersebut, bukan sesuatu yang
dicuri. Baik sesuatu yang rusak itu akibat dibakar, dikoyak, dimakan, diminum,
atau pun yang lainnya.[5]
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa mengeluarkan sesuatu
dari tempat penyimpanannya dan dari penguasaan pemiliknya tidak harus diikuti
dengan masuknya sesuatu itu ke dalam penguasaan orang yang mencurinya.
Sebagai contoh, apabila ada seseorang yang mencuri
barang-barang orang lain dan ia telah mengeluarkan barang barang tersebut dari
rumah pemilik barang untuk dibawa pergi, akan tetapi ketika ia keluar rumah
untuk membawa barang-barang tersebut ia mendapatkan bahwa barang-barang yang
dicurinya itu telah dicuri pula oleh orang lain.
Atau seperti seseorang yang mencuri binatang ternak orang
lain. Ia telah mengeluarkan binatang ternak itu dari kandangnya, akan tetapi
ketika ia ingin membawa lari binatang ternak tersebut, ia mendapatkan bahwa
binatang ternak yang dicurinya itu telah dibawa lari terlebih dahulu oleh
pencuri yang lainnya.
Dalam dua kasus di atas, atau kasus-kasus serupa lainnya,
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa barang yang dicuri itu tidak dapat dikatakan
telah berada dalam penguasaan orang yang mencurinya, akan tetapi benar bahwa ia
telah keluar dari penguasaan orang yang memilikinya. Oleh karena ia telah
keluar dari penguasaan orang yang memilikinya akibat perbuatan si pencuri, maka
pencuri itu wajib dikenai hukuman takzir, sedangkan orang yang ketiga, yaitu
yang mengambil harta curian tersebut wajib dikenai hukuman potong tangan.[6]
Apabila seorang pencuri
telah mengeluarkan barang curiannya dari rumah si pemilik barang, kemudian
pencuri yang lain mencuri kembali barang curiannya itu, maka di dalam kasus ini,
pencuri yang kedua itu, menurut Imam Abu Hanifah, telah menggantikan tangan
pencuri yang pertama yang telah mengeluarkan barang-barang tersebut dari rumah
si pemilik barang. Karena barang-barang tersebut tidak berada di bawah
penguasaan pencuri yang pertama, akan tetapi berada di bawah penguasaan pencuri
yang kedua. Maka, pencuri yang kedualah yang bertanggungjawab atas tindak
pencurian itu, sebab barang-barang yang dicuri itu berada di bawah
penguasaannya. Karena yang bertanggungjawab adalah pencuri kedua, maka pencuri
yang pertama tersebut tidak dijatuhi hukuman potong tangan, akan tetapi
dijatuhi hukuman takzir.[7]
Demikian juga halnya,
apabila seorang yang mencuri tersebut tertangkap sebelum ia berhasil membawa
barang yang telah dikeluarkan dari rumah pemilik barang itu. Dalam kasus
seperti ini, ia tidak dijatuhi hukuman potong tangan, akan tetapi dijatuhi
hukuman takzir.
Namun, apabila setelah
mengeluarkan barang-barang dari rumah si pemilik barang ia belum tertangkap, tapi
baru tertangkap setelah ia mengemas dan ingin membawa barang tersebut, maka
hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman potong tangan, bukan hukuman
takzir.[8]
Sementara itu, sebagian
kecil ulama fikih ada yang berpendapat bahwa dalam kasus di atas hukuman yang
dijatuhkan kepada kedua pencuri tersebut bukan hukuman potong tangan. Alasannya,
karena mengeluarkan barang dari rumah pemiliknya bukan termasuk kategori
tindakan pencurian, kecuali jika barang-barang yang dikeluarkan tersebut telah
benar-benar diambil oleh orang yang mengeluarkan. Tindakan pencuri kedua yang
mengambil barang-barang tersebut juga bukan termasuk kategori tindakan
pencurian, sebab mengambil harta dari luar rumah seseorang tidak dapat
dikatakan sebagai tindakan mengambil barang orang lain dari rumahnya.
Akan tetapi, pendapat
seperti ini dibantah oleh sebagian ulama yang lain dengan mengatakan bahwa
tindakan mengeluarkan barang-barang dari rumah pemiliknya tanpa
sepengetahuaannya saja sudah termasuk dalam tindak pencurian, sekalipun orang
yang mengeluarkan barang itu belum sempat menyentuh barang-barang yang telah
dikeluar-kan itu, baik karena ia tertangkap atau pun karena barang-barang
tersebut telah diambil terlebih dahulu oleh pencuri yang lain. Apalagi apabila
setelah mengeluarkan barang-barang tersebut ia sempat menyentuhnya dan ingin
membawanya. Dalam kasus seperti ini, sempurnalah syarat-syarat pencurian, sehingga
hukuman yang wajib dijatuhkan kepadanya adalah hukuman potong tangan.[9]
Sedangkan Imam Malik,
Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa, secara hukum barang-barang yang telah
dikeluarkan oleh si pencuri dari rumah pemiliknya, telah masuk dalam kategori
penguasaannya dan telah dianggap keluar daripada penguasaan pemiliknya,
meskipun si pencuri tersebut belum sempat menyentuh kembali barang-barang yang telah
dike-luarkan dari rumah pemiliknya itu. Dengan demikian, hukuman yang wajib
diberikan kepadanya adalah potong tangan. Apabila barang-barang yang
dikeluarkan itu diambil oleh pencuri yang lain, maka hukuman bagi pencuri yang
kedua adalah juga potong tangan.[10]
Adapun mazhab syi'ah
az-zaidiyah berpendapat, sesungguhnya tindakan mengeluarkan barang-barang
daripada rumah pemiliknya dengan cara apa pun, baik dengan cara dilempar,
ditenteng dengan tangan, atau pun dengan cara dipalsukan, dan lain sebagainya,
jika hal itu tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya, sudah cukup dijadikan
sebagai alasan untuk menjatuhkan hukuman potong tangan. Sebab, tindakan
tersebut sudah masuk dalam kategori tindakan pencurian sempurna, dan hukuman
bagi tindakan pencurian seperti ini adalah potong tangan.
Tindak pencurian dengan cara
sembunyi-sembunyi ada dua bentuk:
Pertama, tindak pencurian langsung, atau pencurian yang
dilakukan langsung oleh pencurinya.
Kedua, tindak pencurian tidak langsung, atau tindak
pencurian yang dilakukan dengan perantara orang lain.
Tindak pencurian langsung adalah
tindak pencurian yang langsung dilakukan oleh pencurinya sendiri dan tidak
menggunakan bantuan orang lain. Mulai dari mengambil dan mengeluarkan barang
dari rumah pemiliknya hingga membawa barang-barang tersebut pergi dari
tempatnya, semua dilakukan dengan tangannya sendiri dan tanpa menggunakan
bantuan orang ketiga.
Hanya saja, di dalam malasah
ini ada sebagian ulama yang memiliki pendapat beda dengan pendapat mayoritas
ulama lainnya yang insya Allah akan kami jelaskan dalam pembahasan yang akan
datang.
Selama seorang pencuri itu
telah mengeluarkan barang yang ingin dicurinya dari rumah atau tempat
penyimpanan yang disediakan oleh pemiliknya, maka ia telah dianggap melakukan
tindak pencurian.
Sebab dengan tindakan tersebut maka syarat-syarat sahnya
suatu tindakan pencurian telah terpenuhi, dan jika syarat-syarat untuk suatu
tindakan pencurian itu telah terpenuhi, maka hukuman bagi pelakunya adalah
hukuman potong tangan.[11]
Akan tetapi, apabila pencuri
tersebut tertangkap ketika ia sedang mengeluarkan barang-barang yang akan
dicurinya itu dari rumah pemiliknya, maka hukuman yang dijatuhkan kepadanya
bukan hukuman potong tangan, akan tetapi hukuman takzir. Demikian menurut
pendapat semua ulama empat mazhab, kecuali mazhab zhahiriyah saja. Karena
menurut mereka, suatu tindakan pencurian dianggap sempurna, meskipun si pencuri
itu baru sekedar meletakkan tangannya pada barang ataupun yang ingin dicurinya
itu dan belum mengambilnya. Selain itu, karena menurut mereka, keluarnya barang
atau benda yang ingin dicurinya dari penguasaan pemiliknya bukan termasuk
syarat sahnya sebuah tindakan pencurian. Dengan demikian, menurut mazhab ini,
tindakan demikian wajib dikenai hukuman potong tangan bukan hukuman takzir.
Sementara menurut pendapat
para ulama yang lain, tindakan tersebut bukan termasuk ke dalam tindakan
pencurian yang diancam dengan hukuman takzir. Menurut pendapat mereka bahwa
hukuman atas tindakan tersebut bukanlah potong tangan, akan tetapi takzir.
Sebab, hakikat pencurian dalam kasus tersebut belum terpenuhi. Mengenai hal ini
telah kami jelaskan secara terperinci dalam pembahasan sebelumnya.
Apabila seorang pencuri
telah mengeluarkan barang-barang yang ingin dicurinya dari rumah atau
penguasaan pemiliknya, namun kemudian ia tertangkap sebelum sempat membawa
barang-barang yang ingin dicurinya tersebut, maka menurut Imam Abu Hanifah,
tindak pencurian seperti ini, belum dapat dikatakan sebagai tindak pencurian
sempurna. Sekalipun pencuri itu telah mengeluarkan barang itu dari rumah dan
dari penguasaan pemiliknya.[12]
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, hukuman untuk tindakan seperti itu bukan
hukuman potong tangan akan tetapi hukuman takzir. Sekalipun menurut pendapat Imam
Abu Hanifah, tindakan mengeluarkan barang dari rumah pemiliknya itu secara
hukum telah dapat diartikan sebagai tindakan memasukkan barang-barang tersebut
ke dalam penguasaan si pencuri.[13]
Akan tetapi, apabila seorang
pencuri telah mengeluarkan barang-barang yang ingin dicurinya dari rumah
pemiliknya dan telah mengambil barang-barang tersebut untuk dibawa, namun kemudian
tertangkap, maka hukuman yang wajib dijatuhkan kepadanya, menurut kesepakatan
seluruh ulama fikih adalah potong tangan. Hanya sebagian kecil ulama saja yang
tidak berpendapat demikian. Mengenai hal ini juga telah kami jelaskan dalam
pembahasan sebelumnya.
Sebagian ulama yang lain dan
ulama mazhab syi'ah zaidiyah berpendapat, sesungguhnya apabila dilihat secara
hukum, maka sesuatu yang dicuri itu telah masuk ke dalam penguasaan pencuri,
meski tindakan yang dilakukan pencuri terhadap sesuatu itu hanya sebatas
mengeluarkan dari tempat penyimpanan pemiliknya. Tindakan yang berupa
penguasaan itu, jika dilihat secara hukum, sudah cukup untuk dijadikan sebagai
alasan bahwa tindakan pengambilan itu adalah tindakan pengambilan yang
sempurna, dimana kedudukannya sama dengan tindakan pengambilan yang nyata. Oleh
karena itu, apabila seorang pencuri melempar barang yang dicurinya itu keluar
rumah si pemilik barang, maka tindakannya itu sudah dianggap sebagai tindakan
pencurian yang sempurna meskipun pencuri tersebut belum sempat keluar untuk
mengambil dan membawa barang-barang yang telah dikeluarkannya tersebut dari
rumah pemiliknya. Baik karena tertangkap sebelum ia membawa barang-barang
tersebut pergi, atau karena barang-barang tersebut sudah diambil terlebih
dahulu oleh pencuri yang lain.
Namun dalam masalah ini Imam
Malik masih ragu, apakah tindakan pencuri seperti di atas dapat dikatakan
sebagai tindakan pencurian yang sempurna atau tidak. Namun, pendapat yang umum
di dalam mazhab Imam Malik, bahwa tindakan tersebut sudah termasuk ke dalam
kategori tindakan pencurian yang sempurna.[14]
Namun, apabila barang-barang
yang dikeluarkan oleh pencuri itu masih berada di sekitar halaman rumah, atau
masih berada di dalam lingkup rumah tersebut, maka tindakannya itu, belum dapat
dikatakan sebagai tindakan pencurian sempurna. Karena keseluruhan rumah adalah
satu kesatuan tempat yang dimiliki oleh si pemilik barang, sehingga apabila
barang-barang yang ingin dicuri masih berada di dalam halaman rumah atau belum
keluar dari kesatuan tempat yang dimiliki oleh pemilik barang, maka tindak
pencurian itu belum dapat dikatakan sebagai tindak pencurian yang sempurna. Pendapat
ini disepakati oleh semua ulama fikih, ulama mazhab zhahiriyah. Ulama mazhab
zhahiriyah menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang ingin
mencuri barang orang lain, meskipun hanya sebatas menyentuh barang-barang yang
ingin dicurinya sudah dapat dikatakan sebagai tindak pencurian yang sempurna,
sekalipun barang-barang tersebut belum berpindah dari tempatnya.
Sedangkan apabila rumah si
pemilik barang tersebut merupakan rumah besar yang terdiri dari rumah-rumah
kecil dan atau ruang-ruangan yang terpisah-pisah antara satu dengan yang
lainnya, maka setiap rumah atau ruangan itu pun dianggap sebagai satu rumah
atau ruangan tersendiri. Tindakan mengeluarkan barang dari salah satu rumah
atau ruangan tersebut, dapat dikatakan sebagai tindakan pencurian yang
sempurna. Sehingga, jika seorang pencuri mengeluarkan barang yang dicurinya
dari salah satu rumah tersebut dan diletakkan di halaman rumah yang lain dimana
halamannya sama dengan rumah-rumah yang ada dalam lingkungan tersebut, maka
tindakan yang dilakukannya itu tetap dianggap sebagai tindakan pencurian yang
sempurna. Sebab, sekalipun halaman itu adalah halaman bersama untuk rumah-rumah
yang ada di sekitarnya, namun barang yang di-keluarkan oleh pencuri itu adalah
barang milik salah satu rumah yang ada. Selama barang itu telah keluar dari
salah satu rumah tersebut, maka tindakan yang dilakukannya telah dianggap
sebagai tindakan pencurian sempurna.[15]
Apabila pencuri merusak
barang yang ingin dicurinya ketika ia masih berada dalam rumah pemiliknya, maka
tindakannya tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pencurian, akan tetapi
dikatakan sebagai pengerusakan. Namun, apabila kemudian ia membawa sebagian
dari sesuatu yang dirusaknya itu keluar rumah, maka ia dikatakan sebagai
pencuri barang tersebut. Barang yang dihitung sebagai nisab (takaran) pencurian
adalah barang yang dibawanya saja, tidak termasuk barang yang dirusaknya.
Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad.[16]
Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh mazhab syi'ah zaidiyah.[17]
Pendapat seperti ini juga
dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Hanya saja, Abu Yusuf
berpendapat bahwa barang siapa merusak sesuatu di dalam rumah orang lain,
kemudian ia keluar dengan membawa sebagian dari sesuatu yang dirusaknya itu,
maka nisab (takaran) tindakan pencurian itu adalah nilai dari barang yang
dibawanya saja. Dalam kasus seperti ini, hukuman yang diberikan kepada pencuri
tersebut bukan hukuman potong tangan. Karena dengan pengerusakan yang
dilakukannya menyebabkan ia dituntut mengganti barang yang dirusaknya tersebut,
baik mengganti nilainya saja, atau barangnya secara utuh. Apabila kemudian
pencuri tersebut tertangkap dan memberikan jaminan bahwa ia akan segera
mengganti barang yang dirusaknya tersebut, maka jika kemudian ia dijatuhi hukum
potong tangan, berarti ia telah dijatuhi hukuman potong tangan atas tindakan
mengambil hartanya sendiri.[18]
apabila pencuri menelan
barang-barang yang dicurinya di tempat pencurian atau sebelum ia keluar dari
rumah pemilik barang, maka dalam hal ini para ulama membedakan sesuatu yang
dicuri tersebut; apakah sesuatu yang dicuri itu adalah sesuatu yang rusak atau
hancur apabila ditelan, seperti minuman, makanan dan yang lain, atau sesuatu
yang tidak rusak atau hancur apabila ditelan seperti emas, perak, berlian dan
lain sebagainya.
Bila sesuatu yang dicuri dapat
rusak atau hancur apabila ditelan, maka tindakan itu tidak dikatakan sebagai
pencurian akan tetapi dikatakan sebagai pengerusakan. Hukuman atas tindakan seperti
ini takzir, bukan potong tangan. Sedangkan apabila barang tersebut tidak rusak
atau hancur jika ditelan, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyebutkan
bahwa tindakan menelan tersebut adalah bentuk dari tindakan pengrusakan. Maka
tindakan menelan sesuatu yang dicuri itu, meskipun sesuatu yang dicuri itu
bukan sesuatu yang rusak jika ditelan, tetap dikatakan sebagai tindakan pengrusakan.
Sebab, dalam hal ini yang dinilai bukan rusak atau tidaknya barang tersebut
akan tetapi tindakan yang dilakukan. Akan tetapi, pendapat ini dapat menjawab
pertanyan tentang sesuatu yang pada awalnya ditelan oleh si pencuri untuk
memudahkan dalam membawanya dan agar tidak mudah diketahui, namun kemudian
sesuatu yang dicuri tersebut tidak dapat dikeluarkan lagi setelah benar-benar
tertelan.
Pendapat kedua menyebutkan
bahwa tindakan menelan sesuatu yang dicuri adalah bagian dari tindak pencurian
itu sendiri. Namun pendapat kedua ini juga tidak dapat menjawab pertanyaan
tentang, apabila ternyata sesuatu yang dicuri tersebut dapat dikeluarkan
kembali dari mulut si pencuri. Pendapat ini yang dikemukakan oleh para ulama
Malikiah dan sebagian ulama mazhab Syafi'iyah.[19]
Pendapat ketiga menyebutkan
bahwa harus dibedakan antara keluarnya barang curian setelah ditelan oleh
pencurinya dengan tidak keluarnya barang curian meski pun telah ditelah oleh
pencurinya. Apabila barang curian itu telah keluar dari wilayah pemilik barang
setelah ditelan oleh pencuri, maka tindakan tersebut termasuk dalam kategori
pencurian. Namun, jika barang curian tersebut belum keluar dari wilayah pemilik
barang, maka meskipun barang tersebut telah ditelah oleh si pencuri, namun
tindakannya tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindak pencurian akan tetapi
sebagai tindak pengrusakan.[20]
Pendapat keempat, yang
merupakan pendapat sebagian ulama mazhab Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa
satu perbuatan itu akan dianggap sebagai tindakan pengrusakan apabila dalam
tindak pencurian tersebut, pencuri menelan terlebih dahulu barang yang
dicurinya. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa tindakan tersebut,
bagaimanapun bentuknya, tetap dikatakan sebagai tindak pencurian apabila barang
yang dicuri itu telah keluar dari wilayah pemilik barang. Sedang jika belum
keluar, maka perbuatan tersebut adalah bentuk pengerusakan, bukan pencurian.[21]
Apabila pencuri tersebut
merusak barang curian atau menelan sebagian barang curian tersebut, kemudian ia
keluar dari wilayah pemilik barang dengan membawa barang yang ditelannya itu,
maka dalam hal ini, tindakan yang dilakukan pencuri itu mencakup keduanya.
Yaitu, pertama ia dianggap sebagai pelaku pengrusakan terhadap barang orang
lain, dan kedua ia dianggap sebagai pencuri barang orang lain. Karena selain ia
telah merusak barang orang lain, ia juga membawa pergi barang orang lain. Karena
ia dikategorikan melakukan dua tindakan yang dilarang itu, maka hukuman yang
wajib dijatuhkan kepadanya adalah hukuman pengrusakan dan pencurian.
Al-Hitku Al-Mutakamil
Al-Hitku Al-Mutakamil adalah bentuk pencurian yang dilakukan tanpa
memasuki rumah pemilik barang, wilayah dan atau tempat dimana pemilik
meletakkan barangnya.
Apabila pencuri melakukan
pencurian dengan cara tersebut, maka dalam hal ini menurut Imam Abu Hanifah,
pencurian tersebut belum dapat dikatakan sebagai pencurian yang sempurna, sebab
pencuri tersebut belum memasuki kawasan atau rumah pemilik barang. Sedang
masuknya seorang pencuri ke rumah atau wilayah si pemilik barang adalah syarat
sempurnanya suatu pencurian. Akan tetapi, apabila barang yang dicuri tersebut
adalah barang yang diletakkan di suatu tempat yang memang tidak mungkin
dimasuki oleh pencuri, seperti barang yang diletakkan di dalam peti atau yang
semisalnya, maka tindakan pencurian tersebut sudah dianggap sempurna meskipun
pencuri tersebut hanya memasukkan tangannya ke dalam peti itu untuk mengambil
barang yang ingin dicurinya.
Sedang menurut pendapat tiga
ulama mazhab yang lain, yang juga diikuti oleh Abu Yusuf dan sebagian ulama
mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab syi'ah zaidiyah, tindakan pencurian yang
dilakukan tanpa memasuki rumah si pemilik barang, adalah tindakan pencurian
yang sempurna. Baik dalam melakukan aksinya itu, pencuri memasuki rumah atau
wilayah tempat penyimpanan barang, atau tidak memasukinya. Karena menurut
mereka, unsur tindak pencurian itu adalah mengambil barang milik orang lain
yang dilakukan tanpa seizinnya dan dari tempat dimana pemilik barang menyimpan
barang tersebut. Masuknya pencuri ke dalam rumah atau tempat dimana pemilik
menyimpan barangnya tidak termasuk ke dalam unsur pencurian. Maka, meskipun pencuri
tersebut belum memasuki rumah, atau tempat penyimpanan barang, jika ia telah
mengambil barang tersebut dari tempatnya, maka tindakannya itu sudah dikatakan
sebagai pencurian sempurna.[22]
[1] Hasyiah ibnu Abidin, Jil. 3 Hal. 265. Bada`i
ash-Shana`i, Jil. 7 Hal. 65. Syarhu Fathul Qadiir, Jil. 4 Hal. 219. Raudhatun
Nadhir, Jil. 4 Hal. 228. Nihayatul Muhtaj, Jil. 7 Hal. 418. Asna
al-Mathalib, Jil. 14 Hal. 137. Al-Mughni, Jil. 10 Hal. 239. Kasysyaf
al-Qana', Jil. 4 Hal. 77. Al-Mahalli, Jil. 11 Hal. 337. Mawahibul
Jalil, Jil. 6 Hal. 305.
[2] Al-Mughni, Jil. 10
Hal. 249, 259. Al-Muhadzdzab, Jil. 2 Hal. 295, 297. Kasysyaf al-Qana',
Jil. 4 Hal. 79. Asna Al-Mathalib, Jil. 4 Hal. 138, 141 dan seterusnya. Syarhu
Fathul Qadiir, Jil. 4 Hal. 240, 241. Bada`i Ash-Shana`i, Jil. Jil. 7
Hal. 65. Syarhu az-Zarqani, Jil. 8 Hal. 98. Al-Mudawwanah, Jil.
16 Hal. 72. Syarhu al-Azhar, Jil. 4 Hal. 367.
[4] Al-Mughni,
Jil. 10 Hal. 216. Syarhu al-Azhar, Jil. 4 Hal. 364. Al-Muhadzdzab,
Jil. 2 Hal. 297. Kasysyaf al-Qana', Jil. 2 Hal. 79, 80. Mawahib Jalil,
Jil. 6 Hal. 318.
[9] Bada`i
ash-Shana`i, Jil. 7 Hal. 65.
[10] Al-Muhadzdzab, Jil. 2
Hal. 297. Asna Al-Mathalib, Jil. 4 Hal. 138, 147. Mawahib Al-Jalil,
Jil. 6 Hal. 307. Al-Mughni, Jil. 10 Hal. 259. Al-Mudawwanah, Jil.
16 Hal. 71.
[11] Muhadzdzab, Jil. 2 Hal.
297. Syarhu al-Azhar, Jil. 4 Hal. 367. Al-Mughni, Jil. 10 Hal. 259. Fathul
Qadiir, Jil. 4 Hal. 241. Az-Zarqani, Jil. 8 hal. 97.
[12] Al-Mudawwanah,
Jil. 16 Hal. 71. Syarhu az-Zarqani, Jil. 8 Hal. 98. Al-Muhadzdzab,
Jil. 2 Hal. 297. Al-Mughni, Jil. 10 Hal. 259. Syarhu al-Azhar,
Jil. 4 Hal. 367.
[13] Nihayatul Muhtaj,
Jil. 8 Hal. 439. Al-Mughni, Jil. 10 Hal. 260. Al-Muhadzdzab, Jil.
2 Hal. 297. Kasysyaf al-Qana', Jil. 4 Hal. 80. Bada`i ash-Shana'i,
Jil. 7 Hal. 66. Syarhu Fathul Qadiir, Jil. 4 Hal. 243. Syarhu
az-Zarqani, Jil. 8 Hal. 100. Mawahib Al-Jalil, Jil. 6 Hal. 308.
[14] Al-Mughni, Jil. 10
Hal. 261. Al-Muhadzdzab, Jil. 2 Hal. 297. Asna Al-Mathalib, Jil.
4 Hal. 138. Mawahib Al-Jalil, Jil. 6 Hal. 308. Syarhu az-Zarqani,
Jil. 8 Hal. 99.
[15] Nihayatul
Muhtaj, Jil. 8 Hal. 439. Al-Mughni, Jil. 10 Hal. 260. Al-Muhadzdzab,
Jil. 2 Hal. 297. Kasysyaf al-Qana', Jil. 4 Hal. 80. Bada`i
ash-Shana'i, Jil. 7 Hal. 66. Syarhu Fathul Qadiir, Jil. 4 Hal. 243. Syarhu
az-Zarqani, Jil. 8 Hal. 100. Mawahib Al-Jalil, Jil. 6 Hal. 308.
[16] Al-Mughni, Jil. 10
Hal. 261. Al-Muhadzdzab, Jil. 2 Hal. 297. Asna Al-Mathalib, Jil.
4 Hal. 138. Mawahib Al-Jalil, Jil. 6 Hal. 308. Syarhu az-Zarqani,
Jil. 8 Hal. 99.
[19] Syarhu
Az-Zarqani, Hal. 99
[22] Al-Muhadzdzab,
Jil. 2 Hal. 297. Asna Al-Mathalib, Jil. 4 Hal. 147. Al-Mughni,
Jil. 10 Hal. 259. Kasyfu Al-Qana', Jil. 4 Hal. 80. Mawahib Al-Jalil,
Jil. 6 Hal. 310. Syarhu fathul Qadiir, Jil. 4 hal. 245. Syarhu
Al-Azhar, Jil. 4 Hal. 367, 368.
Comments