Skip to main content

Pengakuan dan Sumpah

Ikrar/Pengakuan

Ikrar menurut etimologi adalah penetapan dari menetapkan sesuatu, menetapkan pengakuan jika terbukti. Menurut terminologi keterangan dari kebenaran atau pengakuan kebenaran. Dasar ikrar adalah Alquran, hadis dan ijmak. Di dalam Alquran Allah SWT. berfirman:
"Dan, ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman, "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui".

Allah SWT. berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri"
Kesaksian seseorang atas dirinya sendiri ditafsirkan dengan pengakuan.
Allah SWT. berfirman:
"Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya, lemah, dan ia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur".
Dalam melakukan penetapan itu harus dilakukan dengan benar.
Allah SWT. berfirman:
 وَءَاخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِم
"Dan orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka"
Allah SWT. berfirman:
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul".
Adapun dari hadis adalah yang diriwayatkan bahwa Ma'iz mengaku melakukan zina, lalu Rasulullah SAW. merajamnya dan demikian juga dengan al-Ghamidiyah. Pada masalah 'Usaif Rasulullah SAW. bersabda "Berangkatlah wahai Unais bersama perempuan ini, jika ia mengaku maka rajamlah ia".
Sementara ijmak, semua umat sepakat atas keabsahan ikrar (pengakuan), karena merupakan keterangan yang menghilangkan tuduhan dan keragu-raguan dari yang mengakui, dan karena orang yang berakal tidak berbohong yang membahayakan dirinya sendiri. Oleh karena itu, ikrar lebih kuat dari kesaksian dan hujjah atas hak orang yang mengakui dimana akan diwajibkan atas orang yang mengakui itu had, qishash dan takzir sebagaimana juga diwajibkan atasnya hak harta.
Kekuatan ikrar adalah satu hujjah yang terbatas atas diri orang yang mengakui tidak melampaui kepada orang lain, sebagaimana pendapat jumhur ulama fikih. Jika Bakar mengakui bahwa ia telah membunuh Zaid dan Ali ikut membantunya dalam melakukan perbuatan pidana pembunuhan. Maka pengakuan ini adalah hujjah yang terbatas atas Bakar saja selama Ali mengingkarinya. Jika Ali menerimanya maka ia ditindak karena pengakuannya sendiri bukan karena pengakuan Bakar. Atas dasar ini berlaku Sunah Rasulullah SAW, diriwayatkan dari Abu Daud dari Sahal Ibn Mu'id bahwa seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW. lalu ia mengaku telah melakukan zina dengan seorang wanita, lalu Rasulullah SAW. mengutusnya kepada wanita tersebut dan menanyakan akan hal itu, lalu wanita itu mengingkari bahwa ia telah melakukan zina, kemudian Nabi mendera laki-laki itu dan membiarkan wanita itu[1]. Akan tetapi ikrar bisa juga melampaui kepada selain yang mengaku menurut orang yang berpendapat penetapan dengan cara keterkaitan antar keadaan. Jika mungkin menganggap ikrar orang yang mengakui sebagai hubungan atas selain orang yang mengakui.
Pengakuan yang menetapkan pidana disyaratkan agar pelaku melakukan pidana dengan jelas, terperinci dan tepat. Adapun pengakuan yang tidak terperinci yang mungkin ditafsirkan maka perbuatan pidana tidak bisa ditetapkan dengan pengakuan tersebut. Misalnya orang yang mengakui telah membunuh seseorang, maka tidak mungkin menganggap orang tersebut bertanggungjawab atas pidana tersebut jika ia menjelaskan pengakuannya secara terperinci tentang tata cara pembunuhannya dan alat-alatnya. Bisa saja orang yang mengaku meminta korban untuk mengerjakan satu pekerjaan atau pergi ke suatu tempat tertentu lalu terbunuh ditempat tersebut. Maka ia yakin bahwa ia yang menyebabkan kematiannya, maka ia mengaku telah membunuh atas dasar ini. Maka harus dijelaskan apakah pembunuhan itu dengan sengaja atau menyerupai disengaja atau tidak sengaja, karena setiap jenis pembunuhan mempunyai rukun dan hukumannya tersendiri, harus menjelaskan kondisi dan sebab-sebab pembunuhan. Sebab pembunuhan itu bisa terjadi karena mempergunakan hak atau menunaikan kewajiban, dalam keadaan seperti ini tidak ada tanggung jawab. Ikrar yang membuat tersangka dihukum adalah ikrar yang menetapkan melakukan pidana dengan penetapan yang tidak diragukan.
Dasar bahwa ikrar harus disertai perincian dan penjelasan adalah Sunah Rasulullah SAW bahwa Ma'iz datang kepada Rasulullah SAW. mengaku telah melakukan zina dan ia mengulang-ulang pengakuannya. Lalu Rasulullah SAW. menanyakan apakah Ma'iz mengalami kegilaan atau peminum Khamar, lalu Nabi menyuruh orang mencium baunya, dan Nabi minta penjelasan mengenai zina, dan bersabda, "Barangkali Engkau menciumnya atau main mata".  Dalam satu riwayat "Apakah Engkau menemaninya?” Dia berkata, "iya", Nabi bertanya, "Apakah Engkau menggaulinya?" dia menjawab, “iya”. Nabi bertanya, "Apakah Engkau menyetubuhinya?” Ia menjawab, "iya.
Dalam hadis yang Ibn Abbas disebutkan, ”Apakah Engkau melakukannya?” Laki-laki itu menjawab, "iya". “Apakah yang demikian di dirimu masuk pada yang demikian di perempuan itu?” Laki-laki itu menjawab, "iya". Ia bertanya, "Apakah sebagaimana terbenamnya pengoles celak mata pada botol tempat celak mata dan sebagaimana terbenamnya timba pada sumur?” Laki-laki itu menjawab, "iya". Ia bertanya, "Apakah Engkau tahu tentang zina?" Laki-laki itu menjawab, "iya, saya melakukannya dengan haram sebagaimana yang dilakukan oleh suami dan istrinya dengan halal". Ia bertanya, “Apakah maksud perkataanmu ini?” Laki-laki itu menjawab, “Sucikanlah aku”. Lalu ia menyuruh untuk merajamnya. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa harus meminta penjelasan dan keterangan secara terperinci[2]
Setelah meminta penjelasan pengakuan dengan terperinci disyaratkan bahwa pengakuan itu benar, dan pengakuan itu tidak dianggap benar kecuali datang dari orang yang berakal dan mempunyai pilihan.

 

Pengakuan Orang yang Hilang Akal

Jika orang yang hilang akalnya karena faktor apa saja seperti karena meminum obat, meminum minuman memabukkan, tidur dan atau karena gila kemudian mengaku telah melakukan perbuatan pidana maka pengakuannya tidak dianggap sebagai pengakuan yang benar dan juga tidak dihukum dengan pengakuannya tersebut. Akan tetapi jika orang yang mengaku tadi mengulangi pengakuannya setelah hilang keadaan pitamnya, setelah bangun dari tidurnya dan setelah hilang pengaruh mabuk atau pengaruh obat dan setelah sembuh dari gilanya maka ia dihukum dengan pengakuannya yang baru karena pengakuannya adalah benar[3].
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i sependapat dengan Imam Malik dan Imam Ahmad dalam masalah yang lalu kecuali pada minum obat dan meminum minuman memabukkan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengakuan orang yang mabuk dengan cara yang dilarang adalah pengakuan yang benar. Orang yang mabuk tidak dihukum dengan pengakuannya jika ia memberikan pengakuan dalam keadaan mabuk kecuali pada had-had yang benar-benar hak Allah. Sementara pembunuhan tidak termasuk hak Allah. Demikian juga perbuatan pidana terhadap non jiwa dan janin[4]. Karena hukumannya adalah qishash atau diyat dimana merupakan hak perorangan. Sementara jika mabuk dengan cara yang tidak dilarang maka orang mabuk tidak dihukum dengan pengakuannya kecuali dia mengulangi pengakuannya setelah hilang mabuknya.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang meminum obat yang menghilangkan akal tanpa ada tujuan dan orang yang meminum sesuatu yang memabukkan dan ia tahu bahwa minuman itu memabukkan maka ia dihukum dengan pengakuannya, karena ia meminum yang ia ketahui bahwa minuman itu akan menghilangkan aakalnya. Ia wajib menanggung akibat perbuatannya, sebagai pemberatan atasnya supaya ia tidak mengulanginya lagi[5]. Jika kebutuhan menuntut untuk meminum obat yang menghilangkan akal atau meminum minuman yang memabukkan dan ia tahu bahwa minuman tersebut memabukkan, maka ia tidak dihukum dengan pengakuannya, kecuali ia mengulangi pengakuannya setelah hilang mabuknya.
Ulama sepakat bahwa yang memabukkan itu tidak disyaratkan harus khamar, bisa benda apa saja yang memabukkan selama benda itu mengakibatkan hilang akal. Dengan dasar ini para fuqaha mendefenisikan mabuk dengan hilang akal karena mengkonsumsi khamar atau yang menyerupai khamar.
Manusia dianggap mabuk jika akalnya hilang, maka dia tidak dapat mempergunakan akalnya, baik sedikit atau banyak. Dia tidak bisa membedakan antara bumi dan langit dan juga tidak bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah[6]. Muhammad dan Abu Yusuf berpendapat bahwa mabuk adalah orang yang dikuasai oleh perkataannya yang tidak karuan, alasan keduanya adalah firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan"[7].
Maka orang yang tidak mengetahui apa yang dikatakannya maka ia adalah mabuk. Pendapat ini sesuai dengan pendapat yang unggul dalam mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali[8].

 

Pengakuan Orang yang Dipaksa

Sebelum kita mengetahui hukum pengakuan orang yang dipaksa, terlebih dahulu kita mengetahui sedikit tentang paksaan

 

Defenisi Paksaan

Defenisi paksaan adalah satu perbuatan yang dilakukan oleh manusia terhadap orang lain lalu hilang ridha-nya atau merusak pilihannya[9]. Ada juga yang memberi defenisi paksaan dengan perbuatan yang membahayakan atau menyakitkan yang dilakukan kepada manusia[10].
Paksaan dalam hukum Islam ada dua jenis; pertama, paksaan yang menghilangkan ridha dan merusak pilihan yaitu paksaan yang dikhawatirkan akan membinasakan jiwa. Hal ini juga dinamakan dengan paksaan penuh. Kedua, paksaan yang menghilangkan atau merusak ridha akan tetapi tidak merusak pilihan, yaitu paksaan yang biasanya tidak dikhawatirkan merusak jiwa, seperti menahan, mengikat, dan memukul yang tidak dikhawatirkan akan membinasakan. Paksaan ini dinamakan paksaan yang kurang[11].
Paksaan penuh berpengaruh pada tuntutan ridha dan pilihan seperti melakukan perbuatan pidana, misalnya orang yang dipaksa melakukan perbuatan pembunuhan, maka paksaan yang terjadi itu mesti menghilangkan ridha dan merusak pilihannya. Sementara paksaan kurang maka tidak berpengaruh kecuali atas pengaturan-pengaturan yang membutuhkan ridha seperti pengakuan, jual beli, sewaan dan yang seumpamanya.
Sebagian ulama fikih mazhab Imam Ahmad (pendapat yang diunggulkan) bahwa paksaan menuntut adanya sesuatu berupa siksaan seperti pukulan, cekikan, dan yang seumpamanya. Orang yang mengancam dengan siksaan tidak dianggap sebagai paksaan. Alasan yang mereka kemukakan adalah kisah 'Ammar Ibn Yasir ketika ia disakiti oleh orang-orang kafir, mereka memperdayainya untuk menyekutukan Allah. Akan tetapi 'Ammar tidak mau menuruti kemauan mereka. Tatkala mereka membenamkannya ke dalam air sehingga nyawanya hampir melayang 'Ammar memperkenankan permintaan mereka, lalu Nabi SAW. sampai kepadanya dan 'Ammar sedang menangis yang membuat nabi menghapus air mata 'Ammar dan berkata, "Orang-orang musyrik telah menyakitimu, mereka membenamkanmu ke dalam air dan menyuruhmu untuk menyekutukan Allah dan Engkau lakukan. Jika mereka kembali menyakitimu maka lakukanlah yang demikian kepada mereka". Mereka berpendapat bahwa paksaan harus ada tindakan intimidasi yang menimpa orang yang dipaksa kemudian melaksanakan pekerjaan yang dipaksakan kepadanya. Jika paksaan itu bukan intimidasi dan pekerjaan itu sudak pernah dilaksanakan orang yang dipaksa, maka pelaku tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa menurut pendapat mereka[12].     
Pendapat ulama diunggulkan dalam mazhab Imam Ahmad sependapat dengan pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii bahwa ancaman itu sendiri adalah paksaan. Paksaan itu biasanya dengan ancaman siksaan, ancaman membunuh, memukul dan atau dengan yang lain. Adapun hukuman yang sudah berlalu maka hal itu tidak termotifasi dengan perbuatan yang dipaksakan kepadanya dan tidak ada rasa takut sedikitpun setelah terjadi, akan tetapi takut dan khawatir terhadap ancamannya. Jika perbuatan yang diancamkan kepadanya sudah terjadi maka rasa takut hilang dan kekhawatiranpun tidak ada. Oleh karena itu, yang memberikan motifasi untuk melakukan perbuatan yang dipaksakan atasnya adalah hukuman yang dijanjikan atau siksaan yang diancamkan bukan perbuatan yang terjadi darinya[13].
Dengan demikian maka paksaan itu bisa dengan cara intimidasi, dan intervensi. Paksaan intimidasi adalah ancaman tersebut benar-benar terjadi, sedang paksaan intervensi adalah ancaman tersebut harus dinantikan terjadinya.

Syarat-syarat Paksaan

Syarat-syarat paksaan adalah sebagai beriku. Jika syarat ini tidak bisa dipenuhi maka paksaan itu tidak dianggap ada.
Pertama, ancaman yang disampaikan adalah ancaman yang meniadakan kerelaan, seperti memukul, menahan, mengikat, dan tidak memberikan makanan. Jika dalam pelaksanaan ancaman tidak ada pengaruhnya terhadap kerelaan maka dianggap tidak ada paksaan. Ukuran ancaman yang disampaikan adalah merupakan masalah pokok yang berbeda tergantung perbedaan seseorang dan sebab-sebab yang dipaksakan. Terkadang bisa merupakan paksaan terhadap hak seseorang dan terkadang sebaliknya, bukan merupakan paksaan terhadap hak orang lain. Sebagian orang tidak merasa terancam walau dipukul beberapa kali, namun sebagian orang merasa terancam walau dipukul satu kali saja. Bahkan merasa terancama walau hanya ditampar atau digosok telinganya. Sebagian orang ada yang merasa senang tinggal dipenjara dalam jangka waktu yang lama, sebaliknya ada orang yang merasa tersiksa tinggal dipenjara, walau hanya satu malam saja.
Ancaman itu dianggap paksaan bila ditujukan kepada orang yang dipaksa. Hal ini sudah disepakati oleh para ulama. Jika ancaman itu ditujukan kepada selain orang yang dipaksa, maka ulama berbeda pendapat. Mazhab Maliki berpendapat bahwa ancaman itu dianggap paksaan sekalipun ditujukan kepada orang lain, bukan orang yang dipaksa[14].
Sebagian mazhab Hanafi berpendapat bahwa ancaman bukanlah paksaan jika ditujukan kepada selain orang yang dipaksa, akan tetapi sebagian di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hal itu adalah paksaan jika ancaman tersebut ditujukan kepada anak, ayah, dan atau ditujukan kepada orang yang mempunyai hubungan mahram. Hal ini sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i.[15] Mazhab Hambali berpendapat bahwa ancaman itu dianggap paksaan jika ditujukan kepada anak atau ayah[16].
Tidaklah penting bahwa paksaan itu dengan ancaman, menyakiti, dan atau intimidasi, tetapi cukup dengan melarang mempergunakan hak. Misalnya, suami yang melarang istrinya untuk mengunjungi keluarganya, kecuali jika istrinya tersebut mengaku melakukan perbuatan pidana atau orangtua yang melarang putrinya melangsungkan pesta perkawinan atau pergi ke rumah suaminya, kecuali jika putrinya tersebut mengaku melakukan perbuatan pidana. Dengan adanya pengakuan ini maka dianggap ada paksaan[17].
Demikian juga orang yang melarang orang lain memakan makanan atau minumannya, kecuali ia mengaku melakukan perbuatan pidana, maka hal ini dianggap paksaan. Perintah yang mempunyai kekuasaan dianggap sebagai paksaan tanpa perlu membandingkannya dengan ancaman atau paksaan. Sementara perintah yang tidak mempunyai kekuasaan dianggap paksaan, jika orang yang diperintah tahu bahwa jika tidak mematuhinya cara-cara paksaan akan menimpanya[18].
Perintah suami kepada istrinya dikategorikan sebagai perintah yang mempunyai kekuasaan jika istrinya takut mendapat siksaan bila tidak mematuhinya. Jika istri mematuhi suaminya dan tidak takut akan siksaan bila tidak mematuhinya maka perintah itu tidak dianggap paksaan[19].
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ancaman dengan cara menghancurkan harta dianggap paksaan jika harta tersebut banyak. Namun jika harta tersebut sedikit maka ancaman itu tidak dianggap paksaan. Ukuran sedikit atau banyaknya harta juga kembali kepada seseorang yang diancam itu sendiri dan ukuran kekayaannya, sebab bisa saja harta yang dianggap oleh seseorang, namun dianggap banyak oleh orang lain[20].
Mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ancaman dengan cara menghancurkan harta tidak dianggap paksaan sekalipun penghancuran harta itu mengakibatkan bahaya yang besar bagi pemiliknya. Karena tempat paksaan adalah orangnya bukan hartanya, akan tetapi sebagian ulama fikih mazhab Hanafi berpendapt bahwa acaman dengan cara menghancurkan harta dianggap sebagai paksaan. Yang berpendapat seperti juga berbeda pendapat diantara mereka. Sebagian mereka memberikan syarat agar supaya ancaman dianggap paksaan, yaitu apabila mengancam dengan cara menghancurkan semua harta. Sebagian lagi tidak mensyaratkan supaya menghancurkan semua harta, tetapi cukup dengan menghancurkan sebagian harta yang membuatnya merasa berbahaya dengan penghancuran tersebut[21].
Ancaman itu harus dilakukan dengan perbuatan yang dilarang. Jika perbuatan yang digunakan untuk mengancama itu dibolehkan maka tidak dianggap paksaan. Orang yang dijatuhi hukuman dera atau yang dijatuhi hukuman tahanan, kemudian diancam hukumannya tersebut akan dilaksanakan jika tidak melakukan perbuatan pidana, lalu ia melakukannya, maka ia dihukum dan ia tidak dianggap dalam keadaan terpaksa, karena perbuatan yang diancamkan kepadanya adalah dibolehkan[22].     
Kedua, ancaman itu harus diperintahkan ketika itu juga yang dikhawatirkan akan terjadi jika tidak dilaksanakan oleh yang dipaksa. Jika ancaman itu tidak harus dilaksanakan ketika itu juga, maka itu tidak dinamakan paksaan. Karena orang yang dipaksa masih punya waktu untuk menolaknya dan karena di dalam ancaman itu tidak ada yang mendesaknya untuk segera melaksanakan perbuatan tersebut. Tolak ukur dalam menentukan apakah ancaman itu ketika itu juga atau tidak, maka itu kembali kepada keadaan orang yang dipaksa dan kepada kebiasaan yang dapat diterima akal sehat. Ancaman itu dianggap pada waktu itu juga bilamana orang yang dipaksa tidak mampu menghindar, melawan, dan minta tolong kepada orang lain[23].
Jika ancaman itu bukan pada saat itu maka tidak dianggap sebagai paksaan, seperti perkataan, “Saya akan memukulmu besok jika Engkau tidak mau mengakui ini atau melakukan ini.” Akan tetapi al-Auza' (salah satu ulama mazhab Syafi’i) berpendapat jika menurut perkiraan orang yang diancam, pengancam akan melakukan ancamannya jika tidak melakukan keinginnya maka hal ini dianggap sebagai paksaan, terutama bila diketahui bahwa kebiasaan orang yang mengancam melaksanakan ancamannya[24].
Ketiga, yang dipaksa harus sanggup melakukan ancamannya, karena paksaan itu tidak dianggap paksaan kecuali ada kemampuan. Jika orang yang diancam itu tidak mampu melakukan perbuatan yang diancamkan kepadanya maka tidak termasuk paksaan. Tidak disyaratkan bahwa orang yang dipaksa harus mempunyai kekuasaan seperti hakim atau pegawai. Orang yang dianggap mampu melakukan yang diancamkan kepadanya bukan dilihat dari sifat yang diancam[25].
Keempat, orang yang dipaksa harus benar-benar yakin bahwa apabila ia tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya maka ia akan mendapatkan apa yang diancamkan kepadanya. Jika ia yakin bahwa orang yang memaksa tidak sungguh-sungguh terhadap ancamannya atau ia mampu menolak ancaman itu dengan cara apa saja, namun walau begitu ia melaksanakan perbuatan tersebut maka ia tidak dianggap dipaksa. Prasangka yang dipaksa harus berdasarkan yang bisa diterima oleh akal sehat[26].

 

Hukum Pengakuan Orang yang Dipaksa

Jika paksaan bisa terpenuhi dengan syarat-syarat yang disebutkan di atas, dan yang dipaksa mengaku dirinya telah melakukan perbuatan pidana, maka pengakuannya tidak sah dan tidak dihukum dengan pengakuannya, hal itu berdasarkan firman Allah SWT
إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
"kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman". (QS. An-Nahl, 16:106)
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW. "Dihapuskan dari ummatku tersalah, lupa dan apa yang dipaksakan atasnya". Karena perkataan yang dipaksakan atasnya bukan merupakan hak. Pada dasarnya, orang yang berakal tidak menuduh dengan tujuan yang membahayakan dirinya sendiri. Jika ia mengaku ketika memiliki pilihan sebelum pengakuannya untuk menolak tuduhan dan karena adanya faktor yang mengarah kepada kebenaran, akan tetapi jika seseorang dipaksa untuk memberikan pengakuan lalu dia mengaku, menurut dugaan ia memberikan pengakuan untuk menolak bahaya pemaksaan, maka hilanglah dugaan kebenaran. Pengakuannya tidak diterima. Jika ia mengaku membunuh, memotong, mencuri dan atau yang lain karena di bawah pengaruh paksaan maka ia tidak wajib dijatuhi hukuman dengan pengakuan tersebut karena kemungkinan ada dusta dalam pengakuan itu[27].
Di antara yang berpengaruh dalam masalah ini adalah perkataan Umar Ra, "Seorang laki-laki tidak bisa jujur pada dirinya jika dibuat lapar, dipukul atau diikat." Atau menurut riwayat yang lain, "Seorang laki-laki tidak akan jujur atas dirinya jika lapar, ditakuti, dan atau diikat". Yang berpengaruh dalam hal ini perkataan Syuraih, "Ikatan itu adalah paksaan, penjara adalah paksaan, ancaman dan pukulan itu adalah paksaan"[28]. Dan juga di antara yang berpengaruh adalah perkataan Ibn Syihab, pada seorang laki-laki yang mengaku setelah di dera, ia tidak di had[29].
Jika ia mengaku ketika dipaksa dengan selain yang dipaksakan kepadanya seperti ia dipaksa untuk mengaku bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan pidana kemudian ia mengaku yang lain, maka pengakuannya terhadap perbuatan pidana yang lain ini adalah benar karena ia mengaku dengan pengakuan yang tidak dipaksakan kepadanya, maka hal itu benar sebagaimana ia mengaku sebelum dipaksa[30].
Adapun pengakuannya tentang pidana yang dipaksakan untuk diakuiya adalah pengakuan yang tidak sah, ia tidak dihukum kaecuali jika ia mengaku lagi dengan pidana tersebut setelah ia lepas dari paksaan, maka dia dihukum dengan pengakuannya yang baru[31].
Pengakuan yang mulcul karena pengaruh paksaan tidak sah sekalipun ada petunjuk atas keabsahannya, seperti pencuri menunjukkan barang-barang curian atau pembunuh menunjukkan mayat korban, jika pengakuannya tetap dan berlanjut setelah bebas dari pengaruh paksaan, maka pengakuannya dianggap pengakuan yang baru. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama fikih kecuali sebagian ulama mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa pengakuan orang yang dipaksa dianggap sah. Hasan Ibn Ziyad (ulama fikih mazhab Hanafi) berkata bahwa boleh memukul pencuri sampai mengaku, dengan pukulan yang tidak sampai memotong daging dan tidak sampai memperlihatkan tulang. Hal ini difatwakan pada suatu waktu, kemudian ia menyesal sambil mengikuti orang yang bertanya sampai ke pintu raja. Kemudian ia menemui orang yang bertanya tersebut sedang memukul pencuri sehingga pencuri itu mengaku mencuri harta. Al-Hasan Ibn Ziyad kemudian u bahwa ia tidak pernah melihat yang jahat menyerupai kebenaran seperti ini[32].
Sebagian ulama fikih dalam mazhab Syafi’i berpendapat bahwa pencuri dipukul supaya mengaku adalah paksaan. Sementara jika dipukul untuk membenarkan suatu masalah, kemudian ia mengaku pada saat di pukul atau setelah dipukul, maka pengakuannya benar dan tidak dianggap sebagai paksaan. Karena orang yang dipaksa adalah satu hal, sementara di sini dipukul hanya untuk membenarkan dan kebenaran itu tidak terbatas pada pengakuan. Akan tetapi yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa orang yang dipaksa harus menetapkan pengakuannya untuk kedua kalinya setelah tidak dipukul atau diancam. Ulama yang berpendapat seperti ini juga mengatakan bahwa pelaku dihukum dengan pengakuan yangh kedua, sekalipun pengakuan yang kedua ini masih perlu pertimbangan, dimana jika pelaku diduga akan mengingkarinya lagi, maka ia akan di pukul lagi. Pendapat yang yang unggul dalam mazhab Syafi’i tidak menerima dua pengakuan tersebut karena keduanya dikemukakan orang yang dipaksa[33].
Orang yang mengaku-ngaku dipaksa maka pengakuannya tidak dapat diterima hanya dengan pengakuannya. Karena pada dasarnya tidak dipaksa kecuali ada hubungan terhadap keabsahan pengakuannya. Seperti diikat, ditahan, ditangkap dan ditempatkan di bawah pengawasan. Dalam keadaan seperti ini diterima pengakuan yang dipaksa dan bagi orang yang didakwanya harus menetapkannya. Keadaan ini sama saja, baik penangkapan, tahanan dengan cara-cara yang benar atau dengan cara yang tidak benar seperti keadaan tahanan ketika diperiksa, dan seperti ketika ditangkap secara tidak sah[34].
Jika seorang hakim memaksa seseorang untuk mengakui perbuatan pidana yang hukumannya adalah hukuman mati atau hukuman potong tangan seperti membunuh dan mencuri, lalu orang tersebut mengaku kemudian ia dihukum mati atau dihukum potong tangan, maka orang yang memaksa dijatuhi hukuman qishas[35].

 

Menarik Pengakuan

Jika pengakuan itu dikemukakan tanpa dipaksa kemudian orang yang mengaku itu menarik pengakuannya, maka penarikan pengakuan itu dapat diterima jika berkaitan dengan hak Allah yang bisa ditolak dan digugurkan dengan perkara yang meragukan (syubhat) dan ada indikasi untuk menggugurkannya. Sedang jika berkaitan dengan hak manusia dan hak Allah SWT. yang tidak bisa ditolak dengan perkara-perkara syubhat seperti zakat dan kifarat-kifarat tidak bisa diterima penarikan pengakuannya. Kaidah ini sudah merupakan kesepakatan para ulama fikih. Jika pelaku mengaku telah melakukan zina kemudian dia menarik pengakuannya maka tidak dihukum karena pengakuannya. Sebab zina berkaitan dengan hak Allah yang bisa ditolak dan digugurkan dengan perkara-perkara syubhat. Sementara jika pelaku mengaku telah membunuh, melukai, memotong dan atau mengggugurkan janin, maka ia dihukum dengan pengakuannya sekalipun ia menarik pengakuannya, karena perbuatan pidana terhadap jiwa, non jiwa, dan atas janin semuanya berkaitan dengan hak manusia meskipun sebagiannya dihukum dengan hukuman qishash dan  sekalipun di antara qishash itu ada yang bisa ditolak dengan perkara-perkara yang meragukan (syubhat)[36].
Akan tetapi jika terbukti bahwa pengakuan itu bohong maka orang yang memberikan pengakuan tersebut tidak dihukum dengan pengakuannya, baik ia menarik pengakuannya maupun tidak, baik pengakuannya berkaitan dengan hak Allah ataupun berkaitan dengan hak manusia.
Penarikan pengakuan yang dilakukan oleh orang yang mengaku tidak berpengaruh apa-apa, apapun jenis perbuatan pidana yang diakuinya selama pidana itu terbukti tanpa pengakuan pihak yang mengaku seperti terbukti dengan kesaksian para saksi.

 

Kesaksian

Kesaksian adalah cara yang biasa dipergunakan untuk menetapkan pidana. Kebanyakan pidana dapat dibuktikan dengan memakai sistem kesaksian, dan jarang sekali pidana terbukti tanpa mempergunakan sistem kesaksian. Oleh karena itu, kesaksian mempunyai urgensitas yang besar untuk menetapkan tindak pidana.
Dasar dan sumber kesaksian adalah dari Alquran dan hadis. Di dalam Alquran Allah berfirman:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُُ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki . Jika tak ada dua orang lelaki, maka  seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai" (QS. Al-Baqarah,2:182)
Dan firman Allah SWT:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu" (QS. Ath-Thalâq, 65:2)
Dan firman Allah SWT
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
"Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli" (QS. Al-Baqarah,2:182).
Sementara yang dari hadis adalah hadis yang diriwayatkan Wa`il Ibn Hajar berkata, seorang laki-laki dari Hadrmaut dan seorang laki-laki dari Kindah datang menemui Rasulullah SAW. lalu orang Hadrmaut berkata, “Wahai Rasulullah, laki-laki ini telah menguasai tanah saya.” Kemudian orang Kindah berkata, ”Itu adalah tanah saya dan dalam kekuasaanku, maka orang itu tidak mempunyai hak di situ.” Kemudian Nabi berkata kepada orang Hadramaut, “Apakah Engkau mempunyai bukti?” Dia menjawab, “tidak.” Nabi berkata, “Ambillah sumpah al-Kindi.”[37].
Dari 'Amr Ibn Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa anak Muhaishah yang paling kecil terbunuh di pintu Khaibar, lalu Rasulullah SAW bersabda ”Hadirkanlah dua saksi atas orang yang membunuhnya, saya akan memberikan kepada kalian seluruhnya"[38]. Ulama-ulama fikih membedakan dalam menetapkan pembunuhan dan pelukaan antara pidana-pidana yang wajib dijatuhi hukuman jasmani seperti qishash, dera, tahanan dan atau hukuman-hukuman jasmani yang berbentuk takzir lainnya. Dan antara pidana-pidana yang wajib dijatuhi hukuman dengan harta seperti diyat dan denda.

 

Pidana-pidana yang Wajib Dijatuhi Hukuman Jasmani

Hukuman jasmani ada kalanya hukuman qishash dan adakalanya hukuman takzir.

 

Penetapan Perbuatan Pidana yang Wajib Dijatuhi Hukuman Qishash

Para ulama fikih memberikan syarat dalam menetapkan pidana-pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash dengan kesaksian. Pidana tersebut harus disaksikan oleh dua orang laki-laki yang adil. Para ulama fikih tidak menerima dalam penetapan jenis pidana ini dengan kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan, begitu juga dengan kesaksian seorang saksi dan sumpah korban. Karena qishash adalah menumpahkan darah sebagai hukuman terhadap pidana maka untuk menolaknya disyaratkan ada dua orang saksi yang adil seperti had, ini adalah pendapat jumhur fuqaha[39].
Al-Auza'I dan az-Zuhri berpendapat bahwa pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash dapat ditetapkan seperti menetapkan masalah harta, maka dalam menetapkannya cukup dengan kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Imam Syaukani menyokong pendapat ini[40].
Yang mensyaratkan agar supaya perbuatan pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash dengan dua orang saksi tidak membedakan antara qishash pada jiwa dan qishash pada non jiwa. Dalam menetapkan pidana yang wajib dijatuhi qishash, maka saksinya dua orang laki-laki yang adil. Sedang Imam Malik tidak mewajibkan adanya kesaksian dua orang laki-laki yang adil kecuali dalam hal qishash terhadap jiwa saja. Sementara dalam hal qishash terhadap non jiwa, menurut Imam Malik, penetapannya bolehkan dengan kesaksian satu orang laki-laki dan sumpah korban. Imam Malik tidak menyamakan luka dengan harta, akan tetapi prinsip yang dianut sama, karena dianggap baik. Ibn al-Qasim pernah ditanya dalam masalah ini, “Kenapa Imam Malik mengatakan demikian pada luka sengaja dan bukan dengan harta?” Ia menjawab, “Saya telah membicarakan hal ini kepada Imam Malik, lalu Imam Malik menjawab itu sesuatu yang dianggap baik, dan saya tidak mendengar darinya sesuatu[41].”
Sebagian ulama fikih dalam mazhab Imam Malik berpendapat bahwa boleh memakai kesaksian dua orang perempuan dan sumpah korban dalam hal luka yang disengaja. Sebagian fuqaha yang lain tidak sependapat dengan ini[42].
Dua saksi dimana kesaksian keduanya adalah dalam  hal pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash, maka di antara kedua saksi itu tidak ada korban. Jika di antara dua saksi itu ada korban maka kesaksiannya tidak sempurna, karena korban dianggap sebagai penuntut bukan seorang saksi. Perkataan korban dianggap sebagai bukti yang lemah dan tidak pantas sebagai saksi.
Sementara penetapan terhadap pidana yang wajib dijatuhi qishash terhadap non jiwa adalah dengan seorang saksi dan sumpah korban dimana menurut pendapat Imam Malik pidana dapat ditetapkan dengan kesaksian seorang saksi dan korban tidak dianggap sebagai saksi kedua, sekalipun ia bersumpah, karena dia diminta sebagai saksi. Namun sumpah korban dianggap mengabsahkan kesaksian saksi, sebab tujuan sumpah adalah untuk memperkuat kesaksian saksi.
Di antara fuqaha ada yang tidak memberikan syarat kesaksian dengan ukuran tertentu, menurutnya untuk menetapkan pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash cukup dengan kesaksian satu orang saksi, jika hakim menguatkan kebenaran kesaksiannya[43]. Ulama yang memberikan syarat kesaksian dua orang laki-laki dalam penetapan pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash tidak membolehkan penetapan pidana kurang dari dua orang saksi sekalipun korban atau walinya memberikan pengampunan atas qishash dan mengalihkan kepada diyat yaitu harta. Dalam hal harta wajib ditetapkan dengan kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan, juga dengan kesaksian seorang laki-laki dan sumpah korban. Kami akan menjelaskannya dengan terperinci. Argumentasi mereka adalah bahwa pada dasarnya yang wajib dijatuhkan atas perbuatan pidana adalah qishash bukan diyat. Akan tetapi diyat diwajibkan apabila terjadi pengampunan atau perdamaian. Pengampunan dan perdamaian adalah hak korban atau walinya. Sedang cara penetapannya, bukan merupakan hak korban dan walinya, melainkan hak masyarakat. Pengampunan atau perdamaian dalam hal perbuatan pidana yang disengaja tidak mengakibatkan boleh menetapkan dengan cara penetapan harta, ditambah lagi bahwa wajib bagi korban untuk menetapkan hak qishash sebelum segala sesuatunya, sehingga korban tetap memiliki hak untuk mengampuni dan melakukan perdamaian[44].

 

Pidana yang Wajib Dijatuhi Hukuman Takzir Jasmani

Jika perbuatan pidan wajib dijatuhi hukuman takzir jasmani bersama qishash, maka dalam penetapannya disyaratkan dengan penetapan pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash. Kami telah menjelaskan  syarat-syarat yang dikemukakan oleh fuqaha dan berbagai pendapat mereka yang berbeda-beda.
Sementara jika perbuatan pidana wajib dijatuhi hukuman takzir jasmani tanpa qishash, maka Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa perbuatan pidana tidak bisa ditetapkan kecuali dengan yang menetapkan pidana yang wajib dijatuhi qishash, artinya dengan kesaksian dua orang laki-laki yang adil. Karena hukuman-hukuman jasmani sangat berbahaya, maka harus hati-hati, sebab tidak mungkin ditetapkan dengan yang menetapkan harta, yaitu kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan atau kesaksian seorang laki-laki dan sumpah korban[45].
Pada dasarnya, menurut Imam Malik bahwa hukuman-hukuman jasmani tidak sah kecuali dengan kesaksian dua orang laki-laki, akan tetapi ia membolehkan dalam penetapan pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash terhadap non jiwa dengan kesaksian seorang laki-laki dan sumpah korban. Ketika itu juga ia mewajibkan dijatuhkannya hukuman takzir bersama hukuman qishash terhadap pelaku[46].
Artinya, bahwa hukuman takzir jasmani tetap dan perbuatan pidana yang wajib ditetapkan dengan seorang saksi dan sumpah korban. Dapat dikatakan bahwa qishash lebih besar dari takzir. Jika perbuatan pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash bisa ditetapkan dengan satu saksi dan sumpah maka hal ini tentu lebih bisa diterapkan dalam hal perbuatan pidan yang wajib dijatuhi hukuman takzir.  Sebagaimana juga bisa dikatakan bahwa jika pidana yang wajib dijatuhi hukuman takzir jasmani luka bisa ditetapkan dengan satu orang saksi dan sumpah maka setiap pidana lain yang wajib dijatuhi hukuman takzir jasmani boleh ditetapkan dengan satu orang saksi dan sumpah sebagai persamaan atas ini. Sebagian mazhab Imam Malik berpendapat takzir pada sebagian pidana-pidana dengan kesaksian satu orang saksi tanpa ada sumpah[47].
Mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bahwa hukuman-hukuman jasmani tidak bisa ditetapkan dengan kurang dari dua orang saksi yang adil, akan tetapi mereka membolehkan dalam hal takzir bahwa salah satu saksi adalah korban. Mereka menerima kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan, namun ada perbedaan antara Imam Abu Hanifah dan kedua sahabatnya, bahkan mereka berpendapat dalam hal takzir cukup dengan kesaksian satu orang yang adil[48] atau kesaksian korban sendiri dengan sanggahan pelaku atas sumpah.[49] Sanggahan ini hanyalah untuk menguatkan kesaksian pelaku yang pada dasarnya tidak dianggap sebagai kesaksian yang mengikuti kaidah-kaidah Islam. Demikian juga mereka membolehkan menetapkan pidana-pidana yang dijatuhi hukuman takzir dengan kesaksian diatas, akan tetapi mereka mencukupkan dalam takzir dengan sepengetahuan hakim[50].

 

Penetapan Perbuatan Pidana yang Wajib Dijatuhi Hukuman Harta

Pidana-pidana yang wajib dijatuhi hukuman harta seperti diyat dan denda dapat ditetapkan dengan kesaksian dua orang laki-laki atau kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan atau kesaksian seorang laki-laki dan sumpah korban. Setiap sesuatu yang dibolehkan ditetapkan dengan sumpah dan kesaksian dapat ditetapkan dengan kesaksian seorang saksi walau ada sanggahan terdakwa[51]. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Alasan keduanya bahwa kesaksian ini adalah seperti tujuan pada kesaksian pada harta. Sedangkan pada harta bisa ditetapkan dengan cara ini, maka wajib menerima kesaksian ini pada setiap pembunuhan atau luka yang wajib yang dijatuhi hukuman harta sebagaimana juga diterima dalam hal jual-beli dan sewaan. Tidak bisa disamakan antara kesaksian dalam hal pidana yang wajib dijatuhi hukuman harta dengan kesaksian dalam hal pidana yang wajib dijatuhi hukuman qishash[52].
Sebagian pengikut mazhab Hambali berpendapat bahwa pidana baik yang wajib dijatuhi qishash atau selain qishash tidak bisa ditetapkan dengan kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dan juga tidak bisa ditetapkan dengan kesaksian satu orang dan sumpah korban. Tetapi dapat ditetapkan dengan kesaksian dua orang laki-laki, sebagaimana penetapan pidana yang wajib dijatuhi qishash dan had. Karena itu, tidak ada artinya membedakan antara kedua pidana dengan jenis terjadinya terhadap manusia[53].
Pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa pidana-pidana yang wajib dihukum dengan harta bisa ditetapkan dengan kesaksian dua orang laki-laki, kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan, kesaksian seorang laki-laki dan sumpah korban dan atau kesaksian dua orang perempuan dan sumpah korban[54].
Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berbeda dari pendapat Imam Malik, yaitu Imam Malik membolehkan kesaksian dua orang perempuan dan sumpah korban. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak membolehkannya. Argumentasi Imam Malik bahwa dua orang perempuan menempati posisi satu orang laki-laki dalam hal harta, maka keduanya menempati posisi seorang laki-laki dalam hal pidana yang wajib dijatuhi dengan harta. Alasan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa sumpah atas pidana yang dijatuhi hukuman dengan harta jika tidak ada laki-laki tidak bisa diterima sekalipun ada empat orang perempuan yang memberikan kesaksian. Sebab kesaksian dua orang perempuan lemah kemudian diperkuat oleh kesaksian seorang laki-laki. Kesaksian dua orang perempuan dan sumpah juga lemah. Sekiranya dua orang perempuan bersaksi yang disertai dengan sumpah niscaya ia menggabungkan yang lemah dengan yang lemah[55].
Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat bahwa pidana yang wajib dijatuhi hukuman harta bisa ditetapkan dengan kesaksian dua orang laki-laki, dengan kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, tidak bisa ditetapkan dengan kesaksian seorang laki-laki dan sumpah korban dan juga tidak bisa ditetapkan dengan dua orang perempuan dan sumpah[56]. Alasan mereka adalah firman Allah SWT
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُُ وَامْرَأَتَانِ
"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki. Jika tak ada dua orang lelaki, maka  seorang lelaki dan dua orang perempuan" (QS. Al-Baqarah, 2:282)
Siapa yang menambah-nambahi, maka ia telah menambahi teks. Menambahi teks adalah batal. Rasulullah SAW. bersabda, "Kesaksian atau bukti bagi korban dan sumpah atas orang yang mengingkarinya".  Sumpah ditetapkan pada pihak terdakwa  sebagaimana bukti ditetapkan pada pihak korban. Pendapat mazhab Hanafi dibantah Rasulullah SAW yang pernah menghukum dengan satu orang saksi dan sumpah. Tambahan pada nas ini tidak batal akan tetapi untuk memperkuatnya. Menjatuhkan hukuman dengan seorang saksi dan sumpah tidak menghalangi hukum dengan dua saksi dan tidak menghapuskannya. Ayat tentang kesaksian pembebanan bukan pada kesaksian pelaksanaan, oleh karena itu Allah SWT berfirman:

أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى
"jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya" (QS. Al-Baqarah, 2:282)
Hadis yang dipegang oleh pengikut mazhab Hanafi adalah hadis dha'if dan bukan untuk membatasi. Dalil bahwa sumpah disyariatkan terhadap hak orang yang dititipi jika dia mengaku mengembalikan titipan dan merusaknya dan pada hak orang yang dipercaya jika nyata mereka khianat, dan pada hak sumpah dan lain-lain[57].
Sumpah disyariatkan terhadap pihak terdakwa dimana tidak ada kekuatan dari pihak korban (penuntut) kecuali dakwaan saja. Maka dalam keadaan ini pihak terdakwa lebih berhak bersumpah karena kekuatannya dengan dasar bebas dari tanggungan. Dengan dasar ini, terdakwa lebih kuat dari yang mendakwa. Jika ternyata pihak penuntut lebih kuat dengan bukti, misalnya dengan sanggahan atau kesaksian saksi maka ia lebih berhak dengan sumpah karena penuntut lebih kuat. Dengan demikian sumpah disyariatkan terhadap pihak yang lebih kuat di antara yang bersengketa[58].
Dapat diperhatikan bahwa pidana-pidana yang wajib dijatuhi hukuman takzir dengan harta dapat ditetapkan menurut imam Abu Hanifah dengan yang menetapkan pidana-pidana yang mewajibkan hukuman takzir jasmani. Sebab tidak ada perbedaan dalam menetapkan pidana-pidana takzir sekalipun hukumannya berbeda-beda dan bermacam-macam.
Dapat diperhatikan juga bahwa pengikut mazhab Hanafi menekankan dalam penetapan pidana-pidana yang mewajibkan had-had, qishash dan hukuman-hukuman harta non takzir. semantara mereka mempermudah dalam penetapan pidana-pidana yang wajib dijatuhi hukuman takzir bahkan mereka lebih banyak mempermudah dalam hal jenis pidana ini dari pada mempermudah pada penetapan akad-akad harta semata. Barangkali kemudahan ini kembali kepada pidana-pidana takzir yang merupakan pidana yang lebih sering terjadi. Hukuman-hukuman tazir adalah hukuman yang paling banyak diterapkan, maka haruslah mempermudah dalam menetapkan pidana-pidana ini untuk menjaga kepentingan masyarakat dan memperbaiki undang-undangnya.
Ibn Qayyim berpendapat bahwa pidana-pidana yang wajib dijatuhi hukuman dengan harta bisa ditetapkan dengan kesaksian seorang saksi tanpa disertai sumpah bilamana hakim mempercayainya[59].
Para fuqaha secara umum membolehkan kesaksian seorang laki-laki atau seorang perempuan karena darurat dan mereka menerima seperti kesaksian ini dalam menetapkan pidana itu sendiri, seperti kesaksian seorang guru terhadap perbuatan pidana yang terjadi di antara anak-anak dan seperti kesaksian seorang perempuan atas pidana yang terjadi di kamar mandi. Mereka menerima juga kesaksian seorang laki-laki atau seorang perempuan dalam penetapan pengaruh pidana dan akibatnya, seperti kesaksian seorang dokter bahwa pukulan mengakibatkan luka di dalam vagina. Juga seperti kesaksian seorang dokter bahwa pukulan atau luka mengakibatkan hilangnya satu manfaat anggota badan.
Para fuqaha menerima kesaksian seorang laki-laki dan kesaksian seorang perempuan karena darurat, baik dalam pidana yang wajib dijatuhi hukuman badan seperti qishash atau pidana yang wajib dijatuhi hukuman harta seperti diyat[60].
Pidana tidak bisa ditetapkan dengan kesaksian kecuali dengan lenyapnya keragu-raguan, maka kesaksian harus dapat menetapkan pidana secara pasti. Jika tidak demikian maka kesaksian tersebut batal selama sebagian kesaksian tidak meyakinkan. Orang yang menyaksikan bahwa ia melihat masyarakat memukul seseorang dan lengannya terpotong ketika terjadi kejadian akan tetapi ia tidak melihat siapa yang memotong lengan, maka tidak terbukti memotong lengan di antara mereka akan tetapi terbukti melakukan pemukulan.

Sumpah

Sumpah (al-qassamah) maknanya menurut etimologi adalah al-qasm artinya sumpah. Juga bermakna al-wasamah yaitu bagus. Fulan dikatakan bagus artinya ganteng. Ahli bahasa berpendapat bahwa orang yang bersumpah dinamakan dengan nama mashdar (asal kata) 
sebagaimana dikatakan laki-laki suka, laki-laki adil.

Pengertian sumpah menurut terminologi fuqaha adalah sumpah yang berulang-ulang pada dakwaan membunuh, yang disumpahkan oleh wali-wali korban untuk menetapkan pembunuhan atas pelaku atau pelaku bersumpah untuk menghilangkan tuduhan kepadanya[61].

 

Sumber Hukum Sumpah

Sumpah adalah satu cara diantara beberapa cara penetapan pada masa Jahiliyah kemudian ditetapkan oleh Islam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Nasa`i dari Abu Salmah Ibn Abdurrahman dan Sulaiman Ibn Yassar, seorang laki-laki di antara sahabat Nabi SAW menetapkan dengan sumpah sebagaimana halnya pada masa jahiliyah.

Dari sahal Ibn Abu Humah berkata, Abdullah Ibn Sahal dan Muhaishah Ibn Mas'ud berangkat ke Khaibar, dan pada saat itu waktu perdamaian, lalu keduanya berpisah, kemudian Muhaishah mendatangi Abdullah Ibn Sahal dimana ia sudah mati dengan berlumuran darah, kemudian Muhaishah menguburkannya. Kemudian ia berangkat ke Madinah. Lalu Abdurrahman Ibn Sahal dan Muhaishah serta Huwaishash (keduanya adalah anak Mas'ud) pergi menjumpai Nabi, kemudian Abdurrahman berbicara, lalu nabi berkata, “Yang paling besar, yang paling besar”. Abdurrahman adalah yang paling kecil diantara mereka, sehingga dia diam. Kemudian keduanya (Muhaishah dan Huwaishah) berbicara lalu Nabi berkata, “Apakah kamu mau bersumpah dan kamu berhak mendapat diyat teman kamu?” Mereka menjawab, “Bagaimana kami bersumpah sedang kamu tidak menyaksikan dan tidak melihat?” Nabi berkata, “Sumpah lima puluh orang Yahudi akan membebaskan kamu dari sumpah”. Lalu mereka berkata, “Bagaimana kami mengambil sumpah dari kaum Kafir?” Lalu Nabi SAW memberikan diyat-nya dari sisinya. Dan pada satu riwayat yang disepakti oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi berkata, “Lima puluh orang bersumpah dari kamu atas satu orang laki-laki dari mereka, lalu menyerahkan semuanya.” Lalu mereka berkata, “Masalah yang tidak kami saksikan bagaimana kami bersumpah?” Lalu Nabi berkata, “Orang Yahudi akan membebaskan kamu dengan sumpah lima puluh orang dari mereka.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah mereka adalah orang-orang kafir, lalu menyebutkan Hadis dengan yang seumpamanya.” Inilah yang dijadikan alasan oleh orang yang mengatakan bahwa bersumpah tidak lebih dari satu.

Dalam satu riwayat yang disepakti Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi berkata, “Datangkanlah bukti atas orang yang membunuhnya.” Mereka berkata, “Kami tidak mempunyai bukti.” Nabi berkata, “Sumpah.” Mereka berkata, “Kami tidak menginginkan sumpah orang Yahudi.” Lalu Nabi SAW tidak menyukai untuk membatalkan darahnya, kemudian Nabi membayar diyat-nya dengan sedekan seratus ekor unta[62].




[1] Fath al-Qadîr vol. 4, hlm. 158. al-mughnî vol. 10, hlm. 168.
[2] Subul as-Salâm vol. 4, hlm. 7-8.
[3] Al-Mughnî vol. 5, hlm. 271 dan halaman berikutnya dan vol. 10, hlm. 170-171. Mawâhib al-Jalîl vol. 4, hlm. 34.
[4] Hâsyiah ath-Thahthâwî vol. 3, hlm. 328-346. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 4, hlm. 621.
[5] Asnâ al-Mathâlib wa Hâsyiah as-Syihâb ar-Ramlî vol. 3, hlm. 283-284.
[6] Badâ`I' ash-Shanâ`I' vol. 5, hlm. 118.
[7] QS. An-Nisâ`:43
[8] Al-Mughnî vol. 10, hlm. 335. Asnâ al-Mathâlib wa Hâsyiah as-Syihâb ar-Ramlî vol. 3, hlm. 284.
[9] Al-Bahr ar-Râ`iq vol. 8, hlm. 79.
[10] Mawâhib al-Jalîl vol. 4, hlm. 45.
[11] Al-Bahr ar-Râ`iq vol. 8, hlm. 80.
[12] Al-Mughnî vol. 8, hlm. 260. asy-Syarh al-Kabîr vol. 8, hlm. 243.
[13] Al-Mughnî vol. 8, hlm. 261. al-Bahr ar-Râ`iq vol. 8, hlm. 80. Asnâ al-Mathâlib vol. 3, hlm. 282-283. Mawâhib al-Jalîl vol. 3, hlm. 45-46.
[14] Mawâhib al-Jalîl vol. 4, hlm. 45.

[15] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 110. Asnâ al-Mathâlib wa Hâsyiah as-Syihâb ar-Ramlî vol. 3, hlm. 283.
[16] al-Iqnâ' vol. 4, hlm. 4.
[17] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 120.
[18] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 112.
[19] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 120.

[20] Mawâhib al-Jalîl vol. 4, hlm. 45. Asnâ al-Mathâlib vol. 3, hlm. 283. al-Iqnâ' vol. 4, hlm. 4.
[21] Al-Bahr ar-Râ`iq vol. 8, hlm. 82. Badâ`I' ash-Shanâ`I' vol. 7, hlm. 176 dan halaman berikutnya. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 110 & 121.
[22] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 120. Asnâ al-Mathâlib vol. 3, hlm. 282. al-Mughnî vol. 8, hlm. 260.
[23] Asnâ al-Mathâlib vol. 3, hlm. 282. al-Mughnî vol. 8, hlm. 261. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 109.
[24] Asnâ al-Mathâlib vol. 3, hlm. 283. dan Hâsyiah asy-Syihâb ar-Ramlî.
[25] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 109. al-Mughnî vol. 8, hlm. 261. Asnâ al-Mathâlib vol. 3, hlm. 282.
[26] Asnâ al-Mathâlib vol. 3, hlm. 282. al-Mughnî vol. 8, hlm. 261. Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 109.
[27] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 120. al-Bahr ar-Râ`iq vol. 8, hlm. 80. al-Mughnî vol. 10, hlm. 172 dan vol. 5, hlm. 272-273. Asnâ al-Mathâlib vol. 2, hlm. 290 dan halaman berikutnya. Mawâhib al-Jalîl vol. 4, hlm. 44-45.
[28] Al-Mabsûd Li as-Sarkhasi vol. 9, hlm. 185.
[29] Al-Mughnî vol. 10, hlm. 172.
[30] Al-Mughnî vol. 5, hlm. 273.

[31] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 120. Badâ`I' ash-Shanâ`I' vol. 7, hlm. 189.
[32] Al-Mabsûd Li as-Sarkhasi vol. 9, hlm. 180.
[33] Asnâ al-Mathâlib vol. 2, hlm. 290-291.
[34] Asnâ al-Mathâlib vol. 2, hlm. 299. al-Mughnî vol. 5, hlm. 273.
[35] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 5, hlm. 120. Badâ`I' ash-Shanâ`I' vol. 7, hlm. 189-190.
[36] Syarh az-Zurqânî vol. 8, hlm. 107. Badâ`I' ash-Shanâ`I' vol. 7, hlm. 232-233. Hâsyiah ath-Thahthawî vol. 3, hlm. 346. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 150. al-Mughnî vol. 2, hlm. 288.

[37] Al-Mughnî vol. 12, hlm. 2.
[38] Nail al-Authâr vol. 6, hlm. 310.
[39] Mawâhib al-Jalîl vol. 6, hlm. 275. Hâsyiah ath-Thahthawî vol. 3, hlm. 270. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 150. al-Mughnî vol. 10, hlm. 41.
[40] Nail al-Authâr vol. 6, hlm. 311.
[41] Mawâhib al-Jalîl vol. 6, hlm. 275. Syarh az-Zurqânî hlm. 59.
[42] Tabshirah al-Hukkâm vol. 1, hlm. 241.
[43] At-Thuruq al-Hukmiyah hlm. 66-78. Thuruq al-Itsbât asy-Syar'iyah hlm. 181.
[44] Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 105. al-Mughnî vol. 10, hlm. 42.
[45] Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 360. al-Iqnâ' vol. 4, hlm. 445.
[46] Mawâhib al-Jalîl vol. 6, hlm. 247.
[47] Tabshirah al-Hukkâm vol. 1, hlm. 260-261.
[48] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 3, hlm. 258-259.  
[49] Syarh al-Fath al-Qadîr vol. 3, hlm. 213.
[50] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 3, hlm. 258-260.
[51] ­al-Mughnî vol. 12, hlm. 12.
[52] ­al-Mughnî vol. 10, hlm. 42. Asnâ al-Mathâlib hlm. 105. al-Iqnâ' vol. 4, hlm. 246.
[53] ­al-Mughnî vol. 10, hlm. 42. ­al-Mughnî vol. 12, hlm. 9.
[54] Tabshirah al-Hukkâm vol. 1, hlm. 241.
[55] al-Mughnî vol. 12, hlm. 13.
[56] Hâsyiah Ibn 'Abidin vol. 4, hlm. 515-516. Hâsyiah ath-Thahthâwî vol. 3, hlm. 221.
[57] Al-Mughnî vol. 12, hlm. 10-11.
[58] Ath-Thurûq al-Hukmiyah hlm. 66-75.
[59] Ath-Thurûq al-Hukmiyah hlm. 66-88.

[60] Tabshirah al-Hukkâm vol. 1, hlm. 285-262. Hâsyiah ath-Thahthâwî vol. 3, hlm. 221. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 360-363. al-Mughnî vol. 10, hlm. 15-18.

[61] Badâ`I' ash-Shanâ`I' vol. 7, hlm. 286. Asnâ al-Mathâlib vol. 4, hlm. 98. al-Mughnî vol. 10, hlm. 2. Thurûq al-Itsbât asy-Syar'iyah hlm. 484. Nail al-Authâr vol. 6, hlm, 311.

[62] Nail al-Authâr vol. 6, hlm, 311-312.

Comments

Populer Post

PEMBAHARUAN WARISAN HUKUM BELANDA DI INDONESIA

WARISAN HUKUM BELANDA Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa ( octrooi ) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.

Konsep Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Positif

Perbandingan Hukum sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya relatif masih muda, karena baru tumbuh secara pesat pada akhir abad XIX atau awal abad XX. Perbandingan adalah salah satu sumber pengetahuan yang sangat penting. Perbandingan dapat dikatakan sebagai suatu teknik, disiplin, pelaksanaan dan metode di mana nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan dan aktivitasnya dikenal dan dievaluasi. Pentingnya perbandingan telah mendapatkan penghargaan di setiap bagian oleh siapapun dalam bidang studi dan penelitian. Nilai penting tersebut direfleksikan pada pekerjaan dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para ahli ilmu pengetahuan, ahli sejarah, ahli ekonomi, para politisi, ahli hukum dan mereka yang terkait dengan kegiatan penyelidikan dan penelitian. Apapun gagasan, ide, prinsip dan teorinya, kesemuanya dapat diformulasikan dan dapat dikatakan sebagai hasil dari metode studi perbandingan. 

PENGHAPUSAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA

PENGHAPUSAN DAN PENGHILANGAN PERBUATAN PIDANA (Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP) Terdapat keadaan-keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana, kehilangan sifat tindak pidana, sehingga si pelaku bebas dari hukuman pidana. Pembahasan ini dalam KUHP diatur dalam title III dari buku I KUHP, yaitu pasal 44 – 51. akan tetapi dalam praktek hal ini tidak mudah, banyak kesulitan dalam mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini. Dalam teori hokum pidana alas an-alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi 3 : 1. Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1).

Sejarah Awal Pembentukan Hukum di Indonesia (Seri Kuliah)

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia paling tidak diawali pada masa pergerakan nasional yang diinisiasi oleh Budi Utomo pada tahun 1908, kemudian Serikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada masa menuju kemerdekaan inilah segenap komponen bangsa bersatu padu demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali Santri, maka sudah tepat pada tanggal 22 Oktober nanti diperingati hari santri. Kaum santri bukan hanya belajar mengaji akan tetapi juga mengangkat senjata demi mewujudkan kemerdekaan NKRI. Dengan diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti : -           menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; -           sejak saat itu berarti bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum) untuk menetapkan tata hukum Indonesia. Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang menetapkan