Skip to main content

Pengertian Pembuktian

Menurut Hukum Pidana
Pembuktian merupakan hal yang sangat penting dan menjadi  titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan, memuat ketentuan-ketentuan yang berisi tata cara-cara yang dibenarkan menurut undang-undang untuk menentukan apakah perbuatan yang dilakukan itu dianggap melanggar hukum yang berlaku secara sah dan meyakinkan. Pembuktian juga mengatur ketentuan yang menyangkut alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang dipergunakan hakim untuk mengadili apakah terdakwa betul-betul bersalah dalam melakukan tindak pidana atau tidak. Dalam persidangan pengadilan, seorang hakim harus betul-betul tepat dan benar dan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena memvonis kesalahan terdakwa.
Suatu pembuktian menurut hukum merupakan suatu proses menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang dalam hubungannya di dalam perkara pidana. Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah "Meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan". Jadi pembuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan sehingga dalam hal perkara di muka pengadilan terhadap hal-hal yang tidak dapat dibantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan pembuktian.[1]
Sedangkan menurut Menurut Prodjohamidjojo bahwa membuktikan mengandung maksud lain dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran tersebut.[2]
Dari pemaparan di atas, arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana yaitu[3], Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik Hakim, Penuntut Umum, Terdakwa, Penasehat Hukum. Semua terikat pada ketentuan  tata cara dan penilaian yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menimbang dan menilai proses pembuktian.
                        Maka sehubungan dengan pengertian yang dijelaskan  di atas, majelis hakim dalam menimbang dan memutuskan sebuah kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 184 KUHAP.
Menurut Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam, bukti dikenal dengan istilah “al-bayyinah”, merupakan sinonim dari kata “al-Dalil wa al-Hujjah”, yang artinya petunjuk dari suatu argumentasi. Ada beberapa pandangan yang dikemukakan tentang arti pembuktian, antara lain. Pembuktian adalah segala hal yang menampakkan kebenaran, baik merupakan saksi atau sesuatu yang lain.[4] Menurut Subhi Mahmasani, pembuktian adalah mengajukan alasan dan memberikan dalil atau petunjuk sampai pada batas meyakinkan.[5]
Al-bayyinah (bukti) adalah semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti juga hujjah bagi orang-orang yang mendakwa atas dakwaanya.[6] Bukti juga penjelas untuk menguatkan  dakwaannya. Sesuatu tidak bisa menjadi bukti kecuali jika sesuatu itu bersifat pasti dan meyakinkan. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada ilmu pengetahuan tanpa persangkaan atau mereka-reka yaitu didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Kesaksian tidak dianggap sah jika dibangun atas keraguan. Bukti-bukti yang didapat dari jalan tertentu, atau jalan yang bisa mengantarkan kepada keyakinan, seperti diperoleh dari proses pengamatan dari alat-alat teknologi baik IT ataupun Balistik, kemudian dari hasil analisis ahli bisa dibuktikan kebenaran materilnya, maka bukti semacam itu termasuk bukti yang bisa meyakinkan.
                        Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa pembuktian adalah segala yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara kejadian, sehingga dengan adanya pembuktian tersebut, Hakim memutuskan perkara sesuai dengan fakta hukum di persidangan.




[1]R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pranadya Paramita, 1983), hal. 5.
[2]Martiman Projohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, cet.I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 11.
[3]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), cet.VIII, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 274.
[4]T.M Hasbi Ash Shidiqie, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hal. 139.
[5]Subhi Mahmashani, Filsafat Hukum dalam Islam, penerjemah Ahmad Sudjono, cet.X, (Bandung : PT. Al-Ma’arif), hal. 321.
[6]Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Daur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam, penerjemah Syamsuddin Ramadlan, dkk (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2004), hal. 303.

Comments

Populer Post

PEMBAHARUAN WARISAN HUKUM BELANDA DI INDONESIA

WARISAN HUKUM BELANDA Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa ( octrooi ) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.

Konsep Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Positif

Perbandingan Hukum sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya relatif masih muda, karena baru tumbuh secara pesat pada akhir abad XIX atau awal abad XX. Perbandingan adalah salah satu sumber pengetahuan yang sangat penting. Perbandingan dapat dikatakan sebagai suatu teknik, disiplin, pelaksanaan dan metode di mana nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan dan aktivitasnya dikenal dan dievaluasi. Pentingnya perbandingan telah mendapatkan penghargaan di setiap bagian oleh siapapun dalam bidang studi dan penelitian. Nilai penting tersebut direfleksikan pada pekerjaan dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para ahli ilmu pengetahuan, ahli sejarah, ahli ekonomi, para politisi, ahli hukum dan mereka yang terkait dengan kegiatan penyelidikan dan penelitian. Apapun gagasan, ide, prinsip dan teorinya, kesemuanya dapat diformulasikan dan dapat dikatakan sebagai hasil dari metode studi perbandingan. 

PENGHAPUSAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA

PENGHAPUSAN DAN PENGHILANGAN PERBUATAN PIDANA (Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP) Terdapat keadaan-keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana, kehilangan sifat tindak pidana, sehingga si pelaku bebas dari hukuman pidana. Pembahasan ini dalam KUHP diatur dalam title III dari buku I KUHP, yaitu pasal 44 – 51. akan tetapi dalam praktek hal ini tidak mudah, banyak kesulitan dalam mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini. Dalam teori hokum pidana alas an-alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi 3 : 1. Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1).

Sejarah Awal Pembentukan Hukum di Indonesia (Seri Kuliah)

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia paling tidak diawali pada masa pergerakan nasional yang diinisiasi oleh Budi Utomo pada tahun 1908, kemudian Serikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada masa menuju kemerdekaan inilah segenap komponen bangsa bersatu padu demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali Santri, maka sudah tepat pada tanggal 22 Oktober nanti diperingati hari santri. Kaum santri bukan hanya belajar mengaji akan tetapi juga mengangkat senjata demi mewujudkan kemerdekaan NKRI. Dengan diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti : -           menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; -           sejak saat itu berarti bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum) untuk ...