Sebelum berbicara
mengenai pengertian tindak pidana terlebih dahulu harus melihat lagi tentang
apa yang menjadi penggolongan dan persamaan dari tindak pidana, berbicara
mengenai penggolongan tindak-tindak pidana haruslah juga diawali dengan mencari
persamaan sifat semua tindak pidana, dan kemudian akan dapat dicari
ukuran-ukuran untuk membedakan suatu tindak pidana dari golongan lain dan dari
sinilah akan dibagi lagi ke dalam dua atau lebih sub golongan, ini adalah ciri
khas dari ilmu pengetahuan yang secara sistematis.
Tindak pidana
mempunyai dua sifat yaitu sifat formil dan sifat materiil, sifat formil dalam
tindak pidana dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah
melakukan perbuatan (dengan selesainya tindak pidana itu, tindak pidana
terlaksana), kemudian dalam sifat materiil, dalam jenis tindak pidana yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah timbulnya suatu
akibat (dengan timbulnya akibat, maka tindak pidana terlaksana).
Menurut Wirjono
Prodjodikoro dalam buku Azas-azas Hukum pidana di Indonesia memberikan suatu
pengertian mengenai tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga
bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata
Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu
hukum pidana, maka sifat-sifat yang ada dalam suatu tindak pidana adalah sifat
melanggar hukum, karena tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar
hukum.[1]
Istilah Tindak
Pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delik”. Menurut K. Wantjik Saleh, ada
enam istilah yang tercipta dalam bahasa Indonesia untuk menterjemahkan istilah
“strafbaar feit” atau” delik” ini; yaitu:
1. Perbuatan yang boleh dihukum
2. Peristiwa pidana
3. Pelanggaran pidana
4. Perbuatan pidana
5. Tindak pidana[2]
Dalam skripsi
ini, penulis memakai istilah tindak pidana sebab istilah inilah yang digunakan
dalam perundang-undangan di Indonesia .
Istilah delik kadang-kadang digunakan juga, sebab mempunyai persamaan bunyi
dengan istilah aslinya yaitu Delict,
maka selain menggunakan istilah tindak pidana juga menggunakan istilah delik
yang sama artinya dengan tindak pidana.
Ada beberapa
pengertian yang diberikan oleh para sarjana Barat dan sarjana Indonesia, yaitu
antara lain menurut Fletcher definisi pendek dari strafbaar feit adalah
sebagai yang ditentukan oleh undang-undang dapat dihukum; sedangkan definisi
panjangnya adalah sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja
atau karena kekhilafan oleh orang lain yang mampu dipertanggungjawabkan.[3]
Menurut H. J
van Schravendijk adalah perbuatan yang boleh dihukum, yaitu kelakuan yang
begitu bertentangan dengan keinsafan hukum asal dilakukan dengan seorang yang
karena itu dapat dipersalahkan.[4]
Starfbaar feit menurut VOS yang merumuskan bahwa strafbaar feit
adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh
undang-undang diancam dengan pidana.
Perumusan “Strafbaar
feit“ menurut Simons adalah: “Een strafbaar feit” adalah suatu hendeling
(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kemudian beliau membagikannya ke
dalam dua golongan unsur yaitu:[5]
1. Unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan,
akibat keadaan/masalah tertentu;
2. Unsur subjektif yang berupa kesalahan dan kemampuan bertanggung
jawab dari petindak dan atau strafbaar feit adalah perbuatan manusia
yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, mempunyai sifat melawan
hukum, yang dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat
dipersalahkan.
Menurut para
sarjana Indonesia, Menurut pendapat Satochid Kartanegara memberi pengertian
tentang tindak pidana yaitu kata tindak (tindakan) mencakup pengertian
melakukan atau berbuat (actieve handeling) atau pengertian tidak
melakukan perbuatan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve
handeling). Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat (passieve
handeling) tidak mencakup pengertian mengakibatkan atau tidak melakon
istilah peristiwa tidak menunjukkan kepada hanya tindakan manusia. Sedangkan
terjemahan pidana untuk strafbaar adalah sudah tepat.
Wirjono
Prodjodikoro merumuskan, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana, dan pelaku tersebut dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak
pidana.[6]
Dari beberapa
pengertian tindak pidana tersebut, melihat adanya sesuatu yang dilarang oleh
hukum pidana dan ada orang yang melakukan perbuatan tersebut. maka, pengertian
tindak pidana ini dapat dilihat dari dua segi yaitu:[7]
1. Segi perbuatannya
Perbuatan
adalah perbuatan yang melawan hukum, dalam arti formil (suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; merupakan unsur
tertulis dalam suatu delik pidana) dalam arti materiil (tidak secara tegas
dilarang dan diancam dengan undang-undang; merupakan unsur tidak tertulis yang
didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang hidup dimasyarakat,
seperti asas-asas umum yang berlaku).
2. Segi orangnya
Orang harus
mempunyai kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua Tindak pidana
mempunyai persamaan sifat.
Istilah Tindak
dari tindak pidana adalah merupakan singkatan dari Tindakan atau Petindak,
artinya ada orang yang melakukan suatu Tindakan, sedangkan orang yang melakukan
itu dinamakan Petindak. Sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja tetapi
dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh
seseorang dari yang bekerja pada negara atau pemerintah,[8]
atau orang yang mempunyai suatu keahlian tertentu.
Sesuatu
tindakan yang dilakukan itu haruslah bersifat melawan hukum, dan tidak terdapat
dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan
tersebut. Setiap tindakan yang
bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, tidak disenangi oleh orang
atau masyarakat, yang baik langsung maupun yang tidak langsung terkena tindakan
tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang
merugikan kepentingan umum di samping kepentingan perseorangan, dikehendaki
turunnya penguasa, dan jika penguasa tidak turun tangan maka tindakan-tindakan
tersebut akan menjadi sumber kekacauan yang tidak akan habis-habisnya.
Suatu Tindak
Pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menurut kehendaknya dan merugikan
kepentingan umum atau masyarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih
lengkapnya harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat,
waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat,
tindakan itu harus terjadi pada suatu tempat dimana ketentuan pidana Indonesia
berlaku, dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu
tindakan yang yang perlu diancam dengan pidana, dan dari sudut keadaan,
tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang
sebagai tercela.
Secara ringkas
dapatlah disusun unsur-unsur dari tindak pidana, yaitu:
1. Subyek,
2. Kesalahan,
3. Bersikap melawan Hukum,
4. Suatu tindakan aktif/pasif yang dilarang atau diharuskan oleh
undang-undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana.
5. Waktu, tempat dan keadaan.[9]
Penerapan
unsur-unsur tindak pidana seperti yang telah dituliskan di atas maka
unsur-unsur tindak pidana atau delik sangatlah membantu dalam kebutuhan
praktek, perumusan seperti itu sangatlah memudahkan pekerjaan penegak hukum,
baik sebagai peserta-pemain (medespleger) maupun sebagai peninjau (toeschouwer).
Apakah suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam
pasal undang-undang, maka diadakanlah penyesuaian atau pencocokan
(bagian-bagian/kejadian-kejadian) dari peristiwa tersebut kepada unsur-unsur
dan delik yang didakwakan, dalam hal ini unsur-unsur dari delik tersebut
disusun terlebih dahulu seperti tersebut di atas.
Dengan
demikian sering didengar bahwa penggunaan istilah perbuatan pidana dengan
pengertiannya sebagai aliran/teori dualisme, sedangkan penggunaan istilah
tindak pidana dengan pengertiannya sebagai aliran/teori monisme[10]
[1]
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak
Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:
Refika Aditama, 2003), hlm. 1.
[2] Saleh, Wantjik K. Tindak Pidana Korupsi
dan Suap, (Jakarta: Paramestika, 1996), hlm. 15.
[3]
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit.,
hlm. 84-85.
[4]
Scharavendijk, van H.J, Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana di Indonesia,
(Jakarta, J.B. Wolters, 1996), hlm. 87.
[5]
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4,
(Jakarta: Percetakan BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 203
[6] S.R
Sianturi, Op Cit., hlm. 205.
[7]
Ibid., hlm. 215.
[8]Ibid.
[9] S.R
Sianturi, Op Cit., hlm. 207.
[10]
Ibid.
Comments