Menurut Hukum Positif
Tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan
menempatkan kebenaran materil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain.
Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan Hakim yang harus memutuskan perkara.
Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, dengan adanya
pembuktian itu, maka Hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepalanya
sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang
sebenarnya terjadi sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.
Adapun jenis-jenis sistem pembuktian menurut KUHP
adalah :
Teori pembuktian berdasarkan undang-undang positif (
Positif Wettwlijks theorie).
Hanya didasarkan pada Undang-undang melulu. Artinya
jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut
oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sistem ini
disebut juga teori pembuktian formal (Formele bewijstheorie). dan teori
pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi karena teori ini terlalu
banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang. [1]
Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu.
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim
melulu. Didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak
selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan kadang-kadang tidak menjamin terdakwa
benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Bertolak pengkal pada
pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan
kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah
melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan
tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.[2]
Teori
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconvivtion
Raisonnee).
Sistem atau
teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas
tertentu (la conviction raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat
memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang
didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori pembuktian
ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut
alasan-alasan keyakinannya (Vrije bewijs theorie ).[3]
Teori
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negative wettelijk ).
Menurut
teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya
alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan
keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.
Dalam pasal
183 KUHAP dinyatakan sebagai berikut :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.[4]
Maka menurut ketentuan pasal 183 KUHAP
ini, dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus
dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat
pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang ( minimal dua alat bukti )
dan kalau itu cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan
hakim akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut undang-undang
negatif tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini
berarti : wettelijk, berdasarkan undang-undang, sedangkan negative maksudnya
adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan
undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh
keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam sistem pembuktian negatif,
alat-alat bukti limitatif ditentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara
mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.[5]
Dasar
hukum pembuktian hukum acara pidana Indonesia adalah peraturan pembuktian yang
diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), undang-undang RI.
Nomor 8 tahun 1981 Pasal 183 Selain itu, peraturan pembuktian juga diatur dalam
HIR (Herziene lnlands Reglemen) Pasal 294, yang isinya : “Seseorang tidak
dapat dipidana kecuali bila hakim mendapat keyakinan alat-alat bukti yang sah”.
Dari
pemaparan di atas dapat di mengerti, bahwa pada hakikatnya seseorang tidak
dapat dipidana jika tidak terpenuhinya alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP,
yaitu minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim itu sendiri.
Menurut Hukum
Pidana Islam
Mengenai sistem pembuktian dalam hukum
pidana Islam, tidak berbeda dengan sistem dalam hukum positif. Imam lbnu al-Qayim
Al-Jauziah berpendapat dalam kitabnya I’lamAl-Muwaqqi’in bahwa :
ان الشارع لم يقف في حفظ الحقوق البتة على شهادة ذ
كرين لافي الدماء ولافى الاموال ولافى الفروج ولافى الحدود بل قد
حدالخلفاءالراشدون والصحابة رضي الله عنهم فى الزنا باالحبل وفى الخمر بالرائحة
والقيء.
Artinya : "Sesungguhnya syari' tidaklah
membatasi pengambilan keputusan untuk memelihara hak semata-mata berdasarkan
kesaksian dua orang saksi lelaki saja, baik mengenai darah,harta, paraj, dan
had, bahkan para khulafa’urrasyidin dan sahahat r.a telah menghukum had pada zina
dengan adanya bukti kehamilan dan pada minum khamr, dengan adanya bau dan
muntah”.[6]
Seorang
hakim dituntut untuk memutuskan suatu perkara dengan hujjah atau alasan yang
memihak kepada kebenaran apabila tidak ada tandingannya yang sama. Di samping
itu dituntut dari hakim dalam memutuskan perkara diantara dua orang, hendaklah
mengetahui apa yang terjadi kemudian ia memutuskan dengan apa yang wajib. Maka
bagi yang pertama tempat berpijaknya ialah kebenaran dan bagi hakim yang kedua
yang memutuskan antara dua orang tempat berpijaknya keadilan. Dibolehkan bagi seorang hakim memutuskan dengan kesaksian
lelaki bila ia mengetahui kebenarannya. Allah SWT tidaklah mewajibkan para
hakim agar tidak memutuskan kecuali dengan dua saksi. Hanya Allah SWT menyuruh
yang punya hak memelihara haknya dengan dua saksi atau satu orang saksi lelaki
dan dua orang saksi perempuan.[7]
Termasuk juga masalah pembuktian, dalam hukum pidana
Islam sudah diatur secara jelas dalam Al-Qur'an dan Hadits. Perihal pembuktian
dalam Al-Qur'an adalah sebagai berikut :
ôôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# c#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9tRr&ur yÏptø:$# ÏmÏù Ó¨ù't/ ÓÏx© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èuÏ9ur ª!$# `tB ¼çnçÝÇZt ¼ã&s#ßâur Í=øtóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;Èqs% ÖÌtã ÇËÎÈ )الحديد/ ٥۷:۲٥(
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama )Nya dan Rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Q.S.
Al-Hadid/ 57: 25)
Rasulullah bersabda :
عن ابن عبا س قا ل: قا ل رسول صلعم,
لويعطي الناس بدعواهم لادعى ناس دماء رجال واموالهم ولكن اليمين على المدعى عليه
(رواه مسلم)
Artinya : “Dari lbnu Abbas
berkata, bahwa Rasulallah SAW bersabda : Sekiranya diberikan kepada manusia apa
saja yang digugatnya, tentulah manusia akan menggugat apa yang dikehendakinya,
baik jiwa ataupun harta. Akan tetapi sumpah itu dihadapan orang yang tergugat”.
(H.R. Muslim)[8]
Kemudian Sabda Rasulullah SAW
yang lain:
البينة على من ادعى واليمين على من انكر (رواه
البيهقي)[9]
Artinya: “Bukti itu dibebankan
atas penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat (orang yang mengingkari
gugatan)” (H.R. Al-Baihaqi)
Kata
al-Bayyinah dalam kalam Allah SWT, Rasulullah SAW dan ucapan para
Sahabat adalah nama bagi setiap apa yang menerangkan Al-Haq (kebenaran).[10]
Atas
keterangan dari Al-Qur’an dan Hadist di atas, maka setiap perkara harus
dibuktikan. Pembuktian ini mencangkup semua perkara yang dihadirkan dalam
pengadilan, dan tidak akan mengabulkan dakwaan penggugat sebelum dapat
memastikan dan mendengarkan keterangan pihak yang tergugat.
[1]Andi Hamzah. Pelasanaan
Peradilan Pidana berdasar Teori dan Praktek. (Jakarta: PT Rineka Cipta, Mei 1994), hal. 259.
[6]Imam Ibnu al_Qoyim al-Jauziah, I’lam
al-Muwaqi’in, cet.II, (Beirut : dar al-Fikr,1977), Juz.I, hal.103.
[7]Hasyim dan Rachman, Teoti
Pembuktian menurut Fiqh Jinayah Islam, hal. xi-xii.
[8]Jalal al-Din Abd al_Rahman bin
Abu Bakar al-Suyuti, al-Jami’ al-Saghir, (Indonesia: Maktabah Dar al-Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyah), Juz. 2, hal. 32.
[9]Al-Maktabah al-Syamilah, Abi
Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi: sunan al-Baihaqi, (Yaman:Ridwana,2008),
Juz.2, hal.466, no. 21741.
[10]Usman Hasyim dan M. Ibnu Rachman,
Teori Pembuktian menurut fiqh Jinayah Islam, (Yogyakarta: Andi Offset,
1984), cet.1, hal. xiii.
Comments