Meskipun
adanya teks-teks di atas,
tetapi para fuqaha berbeda pendapat tentang sumpah. Jumhur ulama berpendapat
bahwa sumpah dianggap sebagai salah satu cara penetapan pada tindak pidana
pembunuhan. Jumhur ulama tersebut adalah ulama-ulama fikih mazhab yang empat,
mazhab azh-Zhahiri dan mazhab Syiah. Sebagian fuqaha mengingkari sumpah, di
antara mereka adalah Salim Ibn Abdullah, Abu Qalabah, Umar Ibn Abdul Aziz dan
Ibn 'Ulyah. Mereka berpendapat bahwa tidak boleh menghukum dengan dasar sumpah,
karena menyalahi dasar-dasar hukum Islam. Di dalam hukum Islam disebutkan bahwa
seseorang tidak boleh bersumpah kecuali terhadap sesuatu yang diketahuinya
secara pasti. Dengan dasar hal ini, bagaimana mungkin wali korban bersumpah
padahal mereka tidak melihat korban, bahkan mereka berada di suatu tempat dan
korban berada di tempat lain[1].
Di
antara alasan yang dikemukakan oleh mereka bahwa sumpah tidak mempunyai
pengaruh dalam menumpahkan darah adalah bahwa
bukti harus ditunjukkan oleh orang yang menuntut, sedang sumpah diucapkan oleh orang yang mengingkari. Yang
mberpendapat seperti ini tidak memperhatikan hadis-hadis yang dianut oleh orang
yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW menjatuhkan hukuman dengan berdasarkan
sumpah. Menjatuhkan hukuman dengan berdasarkan sumpah adalah merupakan praktik kaum jahiliah. Kemudian Rasulullah
berlaku lembut kepada mereka untuk memperlihatkan hukum yang tidak lazim namun
kemudian di dasarkan atas Islam. Rasulullah mengatakan kepada mereka, “Apakah
kamu mau bersumpah lima puluh kali, yakni bagi wali korban, yaitu kaum Ansar.
Mereka mengatakan, “Bagaimana kami akan bersumpah sedang kami tidak melihat.” Beliau berkata, “Orang Yahudi
bersumpah bagi kamu.”
Mereka
berkata, “Bagaimana kami menerima sumpah orang-orang kafir? Sekiranya sumpah
adalah sunnah sekalipun tidak melihat, niscaya Rasulullah SAW akan mengatakan bahwa
sumpah adalah sunah.” Jika hadis ini bukan merupakan teks yang mendasari
sumpah, maka dapat ditakwil, yaitu mentakwil dengan mengalihkannya kepada asal
yang lebih utama[2].
Pihak
yang lain menyangkal alasan ini dengan mengatakan bahwa sumpah adalah Sunah
yang ditetapkan dengan sendirinya dan khusus bagi yang asal seperti semua
sunah-sunah yang khusus, dan para wali korban tidak boleh bersumpah atas
pembunuh sekalipun ia menduga bahwa dia pembunuhnya, sementara mereka tidak
berada di tempat kejadian. Rasulullah SAW pernah bersabda kepada kaum
al-Anshar, "Kamu bersumpah, maka kamu akan mendapatkan darah sahabat
kamu." Kaum Anshar berada di Madinah, sementara korban berada di Khaibar.
Manusia berhak bersumpah berdasarkan praduganya, misalnya orang yang membeli
sesuatu dari sesorang kemudian datang orang ketiga mengaku bahwa barang itu
miliknya. Maka ia boleh bersumpah bahwa orang itu tidak berhak memiliki barang
yang sedang ditransaksikan itu, karena yang kasat mata, barang itu adalah milik
yang menjualnya. Demikian juga, jika ia menemukan sesuatu yang bertulisakan
tulisannya atau tulisan ayahnya, maka ia boleh bersumpah sekalipun ia tidak
mengetahuinya atau tidak mengingatnya. Demikian juga bila ia menjual sesuatu yang
tidak ia ketahui bahwa ada cacatnya, maka jika pembeli mendakwanya bahwa ada
cacatnya dan bermaksud mengembalikannya, maka penjual boleh bersumpah bahwa
ketika ia menjualnya tanpa cacat. Tetapi tidak boleh bersumpah kecuali setelah
membuktikan dan dugaannya mendekati kebenaran[3].
Tidak
ada yang menyangkal bahwa sumpah adalah salah satu cara untuk menumpahkan
darah, artinya menghalalkan darah. Dengan catatan sumpah itu dapat dijadikan
dasar penetapan pidana terhadap pelaku. Rasulullah SAW bersabda, ”Lima puluh
orang dari kelompokmu bersumpah atas seseorang dari kelompok lain, maka orang
tersebut diserahkan kepada kamu." Dalam riwayat Imam Maslim kalimat "Diserahkan
kepada kamu" dignti dengan kalimat "Kamu berhak atas darah
sahabat kamu", maksudnya adalah darah pembunuh, sebab darah korban
adalah menjadi hak pembunuh sebelum adanya sumpah. Jika sumpah adalah cara
untuk menetapkan perbuatan pidana yang disengaja, maka hukuman yang harus
dijatuhkan pelaku adalah qishash yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada
orang yang sengaja melakukan perbuatan pidana dan disertai bukti. Al-Atsram
meriwayatkan hadis dengan sanat dari 'Amir al-Ahwal, Nabi Muhammad SAW pernah
meng-qishash dengan berdasarkan sumpah di Thaif. Berdasarkan teks
ini maka hukum menjadikan perkataan penuntut bersama sumpahnya adalah untuk
menjaga darah. Jika qishash tidak wajib dijatuhkan makna ini akan gugur[4].
Menurut mayoritas ulama yang mengatakan bahwa sumpah tidak mengakibatkan
dijatuhkannya hukuman qishash, tetapi mewajibkan dijatuhkan diyat
saja, karena itu sumpah, menurut pendapat mereka, tidak mengakibatkan darah
menjadi halal.
Bukti
harus diajukan oleh penuntut, sementara sumpah bagi diucapkan oleh yang
mengingkari. Sebagian ulama mengatakan bahwa sumpah tidak keluar dari prinsip
ini. Pengikut mazhab Hanafi misalnya, berpendapat sumpah diucapkan oleh pihak
yang mengingkari, karena itu terdakwa berhak bersumpah. Sementara yang
mengatakan bahwa sumpah dikemukakan oleh pihak penuntut didasarkan kepada
kaidah bahwa sumpah disyariatkan kepada yang lebih kuat di antara pihak-pihak
yang bersengketa. Barang siapa di antara yang bersengketa lebih kuat ketimbang yang
lain, maka sumpah menjadi haknya. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menawarkan
sumpah yang pertama kepada para penuntut, tatkala mereka tidak mau beliau
menawarkannya kepada terdakwa. Sumpah menjadi hak para penuntut karena bukti
mereka lebih kuat[5],
dan sumpah menjadi hak terdakwa jika bukti penuntut tidak kuat. Karena itu,
terdakwa lebih utama untuk bersumpah dengan bara`ah adz-dzimmah. Jika
penuntut lebih kuat dengan bukti, sanggahan, dan saksi maka penuntut lebih
utama untuk bersumpah. Dengan demikian sumpah disyariatkan kepada pihak yang
lebih kuat. Barang siapa di antara kedua yang bersengketa lebih kuat ketimbang
yang lain, maka ia disyariatkan untuk bersumpah[6].
Sebagai
tambahan atas uraian di atas, dasar bahwa bukti diajukan oleh penuntut dan
sumpah diucapkan oleh yang mengingkari adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibn
Abdul Bar dengan sanad dari 'amr Ibn syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya dengan
kalimat, "Bukti diajukan oleh penuntut dan sumpah diucapkan oleh yang
mengingkari kecuali dalam hal perdamaian". Hadis ini mengecualikan
perdamaian. Pengecualian ini adalah tambahan atas hadis yang membatasi sumpah.
Tambahan dari orang yang dapat dipercaya dapat diterima[7].
[1] Dalam hal ini imam Bukhari
meriwayatkan dari Abu Qalabah bahwa Umar Ibn Abdul Aziz pada suatu hari
mengeluarkan ranjangnya bagi manusia kemudian mengizinkan mereka, lalu mereka
masuk dan Umar Ibn Abdul Aziz berkata, bagaimana pendapat kalian terhadap
sumpah (al-Qassamah) kaum? Mereka berkata, kami berpendapat bahwa al-Qassamah
qishash adalah hak, para khalifah telah melaksanakan qishash dengan al-Qassamah.
Umar Ibn Abdul Aziz kemudian berkata, bagaimana pendapatmu wahai Abu
Qalabah jika saya tegakkan kepada manusia? Maka saya mengatakan (Abu Qalabah)
wahai Amirul mukminin engkau adalah orang yang mempunyai pembesar-pembesar Arab
dan kepala-kepala tentara, bagaimana pendapatmu jika lima puluh orang memberi
kesaksian kepadamu bahwa seorang laki-laki berzina di Damaskus dan mereka tidak
melihatnya, apakah engkau akan merajamnya? Umar Ibn Abdul Aziz berkata, tidak.
Saya mengatakan, apakah pendapatmu jika lima puluh orang memberi kesaksian
kepadamu bahwa seorang laki-laki mencuri di Hamsh (nama kota di Syiria) dan
mereka tidak melihatnya, apakah engkau akan memotong tangannya? Umar Ibn Abdul
Aziz berkata, tidak. Pada sebagian riwayat-riwayat saya mengatakan, maka
bagaimana keadaan mereka jika pembunuhan terjadi di daerah sana sedang mereka
berada di sisimu, apakah engkau akan menjalankan hukuman qishash dengan
kesaksian mereka? ia berkata, lalu Umar Ibn Abdul Aziz menulis tentang sumpah,
bahwa mereka jika mendirikan dua saksi yang adil bahwa si fulan mambunuhnya,
maka Umar Ibn Abdul Aziz akan mengqishashnya dan tidak menjalankan hukuman mati
dengan kesaksian lima puluh orang yang bersumpah. Bidâyah al-Mujtahid vol.
2, hlm. 357. Thurûq al-Itsbât asy-Syar'iyah hlm. 490.
Comments