Hukum Islam Pada Masa Kerajaan/kesultanan
Islam di Nusantara
Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh
masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul),
mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan
warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang
digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika
dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum
yang positif di nusantara.
Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa
penjajahan Belanda dapat diklasifikasi kedalam dua bentuk, Pertama,
adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bagi
perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda
terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.
Pada fase kedua ini Belanda ingin menerapkan
politik hukum yang sadar terhadap Indonesia, yaitu Belanda ingin menata
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap
kebijakkan strategiknya yaitu:
Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian Van Den
Berg [1845-1927]), teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika
orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum
Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan
warisan.
Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh
C. Van Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam
baru diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum
adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum
Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya. di nusantara.
Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang
Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak
mengubah atau mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal
dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah resistensi,
perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol
pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang
terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begiti signifikan.
Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas
dari pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan,
walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan
pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie (Hazairin menyebutnya
sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD
1945.
Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan
al-Qur’an dan sunnah Rosul. Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan
teori Receptie a Contrario, yang menyatakan bahwa hukum adat baru
berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan
hukum Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar
yang diberikan umat Islam dalam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada
realitasnya keinginan ini menurut DR. Amiiur Nurudin bertubrukan denagn
strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan pembicaraan masalah-masalah
ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan.
Namun dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum
Perdata Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal,
walaupun didapat dengan perjuangan keras umat Islam. Diantaranya oleh Ismail
Sunny coba diskrisipsikan
secara kronologis berikut ini :
a) Undang- undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Politik hukum memberlakukan
hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde baru, dibuktikan oleh
UU ini, pada pasal 2 diundangkan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu” dan pada pasal 63
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan
Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi pemeluk agama
lainnya.
Dengan UU No. 1 tahun 1974
Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan
menegaskan bahwa Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
b) Undang- undang Nomor
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dengan disahkanya UU PA
tersebut, maka terjadi perubahan penting dan mendasar dalam lingkungan PA.
Diantaranya:
- PA telah menjadi
peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan
peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
- Nama, susunan, wewenang,
kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam diseluruh Indonesia. Dengan
univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan terjadinya ketertiban dan
kepastian hukum dalam lingkungan PA.
- Terlaksananya
ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
- Terlaksanya pembangunan
hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab Bhineka Tunggal ika dalam UU
PA.
c) Kompilasi Hukum Islam
Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI)
Seperti diuraikan di atas bahwa sejak masa kerajaan-kerajan Islam di
nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim
agama diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hokum khusus
sebagai pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi.
Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada
kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua
kasus serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi
kitabnya, keputusannya dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum.
Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985 Presiden
Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB)
Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek kompilasi
hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing tentang
Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum
Perwakafan (BUKU III.
Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan
luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni
1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar
hukum berlakunya KHI tersebut.
Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan
wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang
berlaku adalah hukum Islam.
Hukum Islam Pada Masa Reformasi
Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada
lagi kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya
keran-keran aspirasi politik umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya
partai-partai Islam dan munculnya tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah
politik nasional sehingga keterwakilan suara umat Islam bertambah di lembaga
legislatif maupun eksekutif.
Mereka giat memperjuangkan aspirasi umat Islam terrmasuk juga
memperjuangkan bagaimana hukum Islam ikut juga mewarnai proses pembanguanan
hukum nasional.
Diantara produk hukum yang positif diera reformasi sementara ini yang
sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain adalah
-
Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat.
-
Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
-
UU tentang Perbankan Syariah
-
UU Tentang Pengelolaan Haji
Comments