Peraturan daerah (perda) merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang muncul belakangan seiring dengan munculnya era otonomi daerah. Pasca reformasi konsep desentralisasi pemerintahan sangat terasa ketika muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian disusul dengan ditetapkannya TAP MPR No. III/MPR/2000 yang didalam mengatur tentang pengakuan peraturan daerah sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Kemudian peraturan diatas diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Table.1 Perubahan Hirarki Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966
|
TAP MPR No. III/MPR/2000
|
UU No. 10
TAHUN 2004
|
UU No. 12 TAHUN 2011
|
UUD 1945
|
UUD 1945
|
UUDNRI TH 1945
|
UUDNRI TH 1945
|
TAP MPR
|
TAP MPR
|
--
|
TAP MPR
|
UU/PERPU
|
UU
|
UU/PERPU
|
UU/PERPU
|
PP
|
PERPU
|
PP
|
PP
|
KEPPRES
|
PP
|
PERPRES
|
PERPRES
|
Peraturan Pelaksana lainnya: PERMEN, INMEN
|
KEPPRES
|
PERDA (Prov, kab/ kota dan Perdes)
|
PERDA PROVINSI
|
PERDA
|
PERDA KAB/KOTA
|
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1]
Dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat, salah satu kewajiban pemerintah daerah di era otda
adalah membentuk peraturan daerah sesuai ruang lingkup kewenangannya.
Kalau melihat perkembangan perda, perda
banyak bermunculan mulai tahun 2004, begitu juga dengan perda bernuansa syariat
islam. Secara historis-yuridis, landasan hukum yang dipakai dalam pembentukan
perda bernuansa syariat islam ini adalah UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, UU No. 32
tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2004 yang pada saat sudah diganti dengan UU
No.12 Tahun 2011. Pada tahun 2004 ada sekitar 17 perda bernuansa syariah yang
muncul di berbagai wilayah, NAD, Sumbar, Lampung, Banten, Jawa Barat,
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini merupakan sebuah
bukti nyata bahwa era otda memberikan ruang yang begitu luas bagi pemerintah
daerah dalam mengatur kehidupan wilayahnya, termasuk kehidupan beragama.
Secara konstitusional, Peraturan daerah bernuansa syariat islam
pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan. Mahkamah Konstitusi pada tahun
2008 juga menetapkan bahwa perda yang bernuansa syariat tidak inkonstitusional.
Akan tetapi yang menjadi persoalan dan perdebatan di berbagai kalangan adalah
dari segi teori hukum, materi muatan peraturan, system hirarki
perundang-undangan.
Teori
Hukum
Penerapan
hukum agama ke dalam hukum positif sebuah Negara sudah berlangsung lama sejak
dulu. Sejarah hukum pada abad IX menggolongkan beberapa aliran hukum, aliran hukum
kodrat dan aliran positivism hukum. aliran hukum kodrat menguji
validitas hukum buatan manusia dimana standar regulasinya adalah kitab suci
dari agama samawi, sedangkan positivisme hukum yang walaupun melakukan juga uji
validitas hukum akan tetapi standar regulasinya adalah juga undang-undang yang lebih
tinggi yang disebut konstitusi. Kemudian aliran
positivism hukum dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan staatsgurndnorm
dan Hans Nawiasky dengan staatsfundamentalnorm.
Perkembangan teori di atas sampai
di Indonesia pada abad XIX dalam bentuk teori receptie incomplexu oleh Van den Berg, teori receptive oleh van
Vollenhoven dan Snouck Hurgronje, dan teori receptie balik (receptie
a contrario) oleh Hazairin dan Sajuti Thalib. Ketiga teori inilah yang
mempengaruhi proses akulturasi dan asimilasi norma-norma hukum Islam menjadi
sebuah hukum positif atau hukum nasional dalam bentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Teori receptie
a contrario telah melahirkan produk UU bernuansa syariat Islam antara lain
UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Perbankan Syariah, UU Pelaksanaan Ibadah
Haji, UU Pengelolaan Zakat dan sebagainya. Puncaknya adalah lahirnya
Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh yang memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan Syariat Islam
sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur
pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan
kehidupan adat dan peran serta kedudukan ulama dalam penerapan kebijakan
daerah. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk
membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam.
Konsekwensi
logis dari teori receptie a contrario adalah adanya personalitas
keagamaan. Dengan kewajiban, dimana bagi penganut agama tertentu hanya berlaku
hukum agama mereka, tidak ada paksaan kepada penganut agama lain untuk
mengikuti hukum yang bukan hukum agama mereka. Dalam bahasa yang sederhana, hukum
Islam untuk umat Islam, hukum Budha untuk umat Budha dll. Dalam konteks ini,
seperti perda wajib bisa membaca al-Qur’an, menutup aurat dan membayar zakat
atau infaq, hanya wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang berdomisili di daerah
yang memberlakukannya, sementara umat agama lain tidak wajib untuk itu meskipun
bertempat tinggal di wilayah perda tersebut diberlakukan. Hal ini senada dengan
Perda di Bali yang mengatur tentang Perayaan Nyepi dan Perda tentang cara
Pembakaran Mayat di Toraja, dimana perda-perda ini hanya berlaku untuk umat
agama yang bersangkutan.
Apakah
teori receptie a contrario akan terus digunakan dan berkembang atau
sebaliknya? Karena latar belakang adanya teori ini adalah respon dari teori receptive.
Selain itu, apakah teori ini akan terus bertahan seiring dengan
perkembangan teori hukum positif yang sesuai dengan system hukum Indonesia, eropa
continental.
Materi
Muatan Peraturan Daerah
Dalam
pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 menjelaskan bahwa Materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugaspembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundangundangan yang lebih tinggi. Berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2004, dalam
UU No. 12 Tahun 2011 pasal 15 menjelaskan bahwa materi muatan sebuah perda
dalam mencantumkan ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Menurut Dr. Rumadi, MA, perda
bernuansa syariat Islam dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu pertama,
perda yang terkait isu moralitas masyarakat secara umum. Kedua, perda
yang terkait fashion dan mode pakaian. Ketiga, perda yang terkait “keterampilan
beragama”. Keempat, perda yang terkait pemungutan dana
sosial dari masyarakat, yaitu perda zakat, infak dan shadaqah. Dari keempat
kategori di atas yang menjadi perdebatan dalam ranah system hukum di Indonesia
adalah perda yang terkait fashion dan mode pakaian. dan “keterampilan beragama”.
Persoalan yang menjadi pro-kontra terkait
materi muatan perda bernuansa syariat antara lain sebagai berikut, pertama,
materi muatan perda bernuansa syariat islam dinilai eksklusif dan
mengkikis nilai islam yang rahmatan lil ‘alamin serta tidak sejalan
dengan semangat ideology bangsa Indonesia. Kedua, materi muatan perda
bernuansa syariat Islam bertentangan dengan beberapa asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang tertuang dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, yaitu
kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
Pemerintahan. Ketiga, lahirnya sebuah perda yang bernuansa syariat Islam
dinilai sebagian kalangan sebagai eforia politik lebih parah lagi menjadi
komoditas politik, khususnya pencitraan.
Dengan bertambahnya materi muatan perda,
yaitu ancaman pidana dan denda, hal ini dapat memberikan peluang lebih besar
dalam intervensi pelaksanaan perda bernuansa syariat Islam kepada masyarakat.
Padahal selama ini, dalam pelaksanaannya perda bernuansa syariat Islam masih
menuai kontroversi, kurangnya pengawasan, munculnya diskriminasi, tidak
diakomodirnya kaum minoritas dan sebagainya. Hal ini dikhawatirkan akan
menimbulkan anomaly terhadap hukum Islam dan Islam itu sendiri.
Epilog
Peraturan Daerah sebagai bentuk peraturan
perundang-undangan paling bawah dalam hirarki peraturan perundang-undangan,
sudah sepatutnya menerapkan asas
hukum lex supperiori derogat lex inferiori (hukum yang ada di bawah
tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya). Sama halnya posisi
Ijma’ dalam hirarki hukum Islam, Ijma’ tidak boleh bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Hadits.
Apabila kita lihat dari sisi UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri, terbitnya perda syariat Islam justru telah
menabrak kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam pasal 10 ayat 3 huruf f menjelaskan
bahwa masalah agama menjadi otoritas pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah
daerah. Otonomi daerah perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan
aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang atau
peraturan sendiri yang tidak memiliki landasan peraturan lebih tinggi. Sebagai
contoh perda yang sesuai dengan peraturan di atasnya adalah perda tentang
pengelolaan zakat.
Paradigma pembaharuan hukum Islam harus disikapi
secara arif dan bijaksana, perda bernuansa syariat islam tidak dipungkiri akan
terus bermunculan, sebagai konsekwensi adanya Undang-undang bernuansa syariat
Islam, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan sebagainya. Proses
pengawasan perda dengan executive review dan judicial rivew harus
terus dilaksanakan. Meskipun perda bernuansa Islam ini berdampak positif bagi
sebuah daerah, tetapi juga menuai pro-kontra terlebih dalam tataran praktis dan
pelaksanaannya. Oleh karena itu penerapan perda bernuansa syariat Islam saat
ini di berbagai daerah perlu dikaji kembali dan eksistensi hukum islam tidak
harus melalui legislasi dalam peraturan perundang-undangan. Living law of
Islamic law better than legislation of Islamic law.
[1] Pasal 1 UU No.32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah
Comments