Hukum pidana Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan penjajahan atas Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagaibangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka selayaknya hukumpidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai berikut:
- Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 69 tahun lalu merupakan awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hukum yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum pidana positif (KUHP) Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Secara politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.[1] Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
- Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 96 tahun. Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian, perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.[2]
- Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda. KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.[3]
- KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right)[4]. Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Sudah semestinya ada rumusan yang tepat mengenai
pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pemerintah sepertinya
setengah hati dalam mengambil sikap. Semakin banyak produk undang-undang yang
telah dihasilkan Negara kita, sudah seharusnya produk hukum di Indonesia berasal
dari kultur dan Budaya Indonesia, tentu tanpa meninggalkan akar sejarah Bangsa
dan Negara Indonesia. Kejelasan dan kepastian hukum bagi sebuah Negara hukum
adalah mutlak adanya.
[1]
Sudarto,
Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), p. 70-71.
[2] Lihat The
Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth,(Colorado:
Fred B. Rothman, 1997). Perubahan dalam KUHP Belanda antara lain dalam principal
penalties (pidana pokok) yang menghilangkan pidana mati dan menambahkan pidana
kerja sosial serta denda yang dibuat dengan kategorisasi.
[3]
Dalam pandangan peneliti, kecuali KUHP terjemahan BPHN, KUHP terjemahan
Mulyatno, R. Susilo dan yang lain terkadang belum mencantumkan beberapa perubahan
parsial dalam KUHP, seperti jenis pidana ditambahkan pidana tutupan, pengkalian
15 kali untuk pidana denda, dan perluasan wilayah berlakunya hukum pidana menurut
tempat. Di samping itu, terdapat juga perbedaan dalam menerjemahkan suatu istilah,
seperti overspel yang diterjemahkan menjadi beberapa kata, seperti zina, mukah,
dan gendak. Yang lebih fatal lagi adalah ancaman pidana pada Pasal 386 tentang
pemerasan. Di dalam KUHP versi BPHN dan terjemahan dari Engelbrecht, ancaman
pidananya 9 bulan, sedangkan dalam KUHP versi Mulyatno dan R. Susilo ancaman
pidananya 9 tahun. KUHP aslinya (WvS) yang berbahasa Belanda menyebutnya dengan
"jaren" yang berarti "tahun". Bandingkan Mulyatno, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), Engelbrecht, Kitab
Undang Undang..., Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1988), dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, tth.).
[4] Rene
David, John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today, (London,
Stevens and Sons, 1978), p. 24.
Comments