Organisasi
kemahasiswaan atau sering disebut Ormawa memiliki peran penting bagi
pengembangan perguruan tinggi. Akan tetapi peran tersebut belum diakomodir
secara komperhensif dalam berbagai aturan tentang kemahasiswaan, meski koridor
fungsi dan filosofinya sudah ditetapkan. Sehingga peran organisasi
kemahasiswaan saat ini belum terasa optimal. Akhirnya mahasiswa sebagai
penggerak Ormawa mengalami disorientasi.
Dalam
Undang-undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi Pasal
14 ayat 2 menjelaskan bahwa mahasiswa dalam menjalankan kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler
di perguruan tinggi melalui Ormawa. Diperkuat pasal 77 ayat 1 menjelaskan
mahasiswa dapat membentuk Ormawa. Dijelaskan selanjutnya pada aya 2 bahwa
Ormawa paling sedikit memiliki fungsi, yaitu Mewadahi
kegiatan mahasiswa,
Mengembangkan kreatifitas, Memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa, Mengembangkan tanggung jawab sosial.
Selanjutnya mengenai struktur ormawa, tata kelola, manajemen diserahkan kepada
perguruan tinggi, maka tidak heran apabila Ormawa di masing-masing perguruan
tinggi bermacam-macam bentuknya.
Peraturan
Menteri Pendidikan dan kebudayaan nomor No. 155/1998 juga hanya menaungi dasar
norma, peran dan fungsi ormawa saja. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan
Tinggi yang merupakan turunan UU No. 12 Tahun 2012, tidak mengatur lebih detail
tentang Ormawa. Apalagi sampai meletakkan Ormawa sebagai mitra Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Silahkan dilihat pasal 13
UU tersebut, dimana seharusnya mahasiswa diposisikan.
Beruntunglah
Ormawa dibawah naungan Kementerian Agama RI dengan terbitnya Surat Keputusan (SK)
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4961 tahun 2016. Ya, bentuk peraturan
ini adalah Surat Keputusan (beschikking) yang tentu dalam sebuah SK
tidak boleh mengatur, seharusnya berbentuk Peraturan (regeling) Menteri.
Akan tetapi setidaknya Ormawa dapat bernafas lega terdapat aturan yang lebih
detail mengenai tata kelola dan suksesi kepemimpinan Ormawa yang selama ini
masih diperselisihkan.
Perselisihan
mengenai aturan suksesi kepemimpinan Ormawa memang tidak terlepas dari gerak
sejarah Ormawa. Seperti diketahui Ormawa adalah organisasi intra kampus yang
terdiri dari beberapa bentuk organisasi. Apabila mengacu pada SK Dirjen Pendis,
setidaknya Ormawa terdiri dari 3 organisasi, yaitu Senat Mahasiswa (SEMA) yang
dulunya bernama Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Dewan Mahasiswa (DEMA) yang dulunya
bernama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)/Unit
kegiatan Khusus (UKK). Pada level dibawah Universitas, yaitu level fakultas ada DEMAF dan SEMAF, pada level Prodi/Jurusan terdapat HMPS/HMJ. Perselisihan yang dimaksud terjadi pada suksesi
kepemimpinan SEMA/DPM dan DEMA/BEM. Sedangkan dalam suksesi kepemimpinan
UKM/UKK cenderung berjalan baik.
Pasca
reformasi sampai sekarang kita sering mendengar istilah student government
(pemerintahan mahasiswa), dimana mahasiswa mengkontruksi sistem pemerintahan
tersendiri, meski masih dapat diperdebatkan. Struktur kelembagaan dibangun
hampir mirip dengan model sistem pemerintahan di Indonesia, terutama dengan
ciri adanya partai sebagai dinamisator suksesi kepemimpinan SEMA dan DEMA. Struktur
student government paling tidak terdiri dari Partai Mahasiswa, SEMA,
DEMA, KPU, BAWASLU dan MK. Tuntutan atas nama demokrasi, kebebasan memililih
mahasiswa “one man one vote” menjadi platform utama. Dan pesta demokrasi
mahasiswa terbesar disebut dengan istilah Pemilu Raya Mahasiswa (PEMIRA).
Model
student government seperti masih berjalan sampai saat ini tidak terlepas
dari eksistensi organisasi kemahasiswaan ekstra kampus (HMI, PMII, IMM, KAMMI, GMNI,
dll), seiring dengan tidak diperbolehkannya organ ekstra exists di
internal kampus. Maka HMI membuat PARMA Partai Reformasi Mahasiswa (PARMA),
PMII membuat Partai Persatuan Mahasiswa (PPM), IMM membuat Partai Progresif, KAMMI
membuat Partai Intelektual Mahasiswa (PIM), dan lain sebagainya. Nama-nama
partai pun beragam di berbagai kampus. Partai menjadi penting untuk
mengantarkan kader organisasi ekstra kampus menduduki jabatan di organisasi
intra kampus. Sistem ini sampai saat ini masih digunakan di banyak perguruan
tinggi.
Dengan
adanya unsur partai politik mahasiswa sebagai penggerak massa, maka tidak dapat
dihindari terjadi gesekan antar partai, afiliasi dengan partai politik
nasional, bahkan sampai mendatangkan preman ke dalam kampus. Di sisi lain
sistem student government ini membawa manfaat pendidikan politik bagi
mahasiswa, dimana mahasiswa belajar membuat regulasi, melaksanakan regulasi,
mengambil kebijakan politik, negosiasi, koalisi dan kompetisi. Tetapi dampak
yang terasa saat ini adalah mahasiswa yang diamanahkan oleh Undang-undang
sebagai civitas akademika berubah menjadi civitas politika, maka tidak heran
suksesi kepemimpinan yang menuai keributan, berakhir dengan pembekuan SEMA/DEMA
di beberapa perguruan tinggi.
Hal
terakhir inilah, paling tidak yang mendasari lahirnya SK Dirjen Pendis Nomor 4961 tahun 2016 tentang
ormawa yang mengatur tentang struktur ormawa, garis koordinasi dan intruksi
ormawa, persyaratan pimpinan ormawa dan suksesi kepemimpinan ormawa. Dalam keputusan
ini, arah suksesi kepemimpinan ormawa diatur menggunakan sistem perwakilan,
bukan lagi one man one vote! Sistem perwakilan ini dimaksudkan untuk
meminimalisir konflik yang selama ini terjadi. Apakah sistem one man one
vote memang menjadi prasyarat wajib bagi demokrasi mahasiswa, hal ini masih
dapat diperdebatkan, menarik bukan?
Comments